ICW khawatir hakim Pengadilan Tipikor 'masuk angin' di kasus e-KTP
Perjalanan kasus e-KTP masih panjang. Merujuk ke dakwaan Jaksa KPK, setidaknya ada 52 anggota dan mantan anggota DPR yang diduga memperoleh keuntungan dari mega proyek ini. Jumlah itu belum termasuk pihak birokrat, swasta serta korporasi yang juga diuntungkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan dua anggota orang tersangka baru dalam kasus korupsi proyek e-KTP yakni Setya Novanto dan Markus Nari. Hal ini menambah daftar panjang pihak-pihak yang terlibat dalam kasus yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu.
"Sejauh ini komisi antirasuah sudah menetapkan lima orang tersangka. Mulai dari kalangan birokrat, swasta serta politisi turut serta dijerat oleh KPK. Lepas dari itu juga telah ada dua tersangka lain yang masih ada kaitan dengan perkara korupsi e-KTP, yakni Miryam S Haryani dengan dugaan memberikan keterangan tidak benar di persidangan dan Markus Nari dengan dugaan menghalang-halangi proses hukum," kata peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana, di kantornya, Minggu (30/7).
Kurnia menilai, perjalanan kasus e-KTP masih panjang. Merujuk ke dakwaan Jaksa KPK, setidaknya ada 52 anggota dan mantan anggota DPR yang diduga memperoleh keuntungan dari mega proyek ini. Jumlah itu belum termasuk pihak birokrat, swasta serta korporasi yang juga diuntungkan.
Sampai pada saat ini KPK baru saja menyelesaikan persidangan untuk dua terdakwa, yakni lrman dan Sugiharto. Masing-masing terdakwa dihukum 7 tahun dan 5 tahun pidana penjara.
"Namun ada hal yang janggal dalam putusan tersebut, nama ketua DPR RI, Setya Novanto, tidak disebut sebagai pihak yang bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek e-KTP oleh hakim. Saat itu, majelis hakim hanya menyebut nama Novanto di bagian pertimbangan putusan. Padahal dalam surat dakwaan Jaksa KPK, Novanto disebutkan ikut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Tentu hal seperti ini menjadikan publik khawatir dalam penuntasan perkara e-KTP," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari ICW, Lola Easter menyebutkan hilangnya sejumlah nama-nama besar yang terlibat dalam kasus korupsi e-KTP dalam putusan dengan terdakwa lrman dan Sugihaito memunculkan kekhawatiran mengenai objektivitas dan independensi dari hakim-hakim di Pengadilan Tipikor. Muncul keraguan terhadap hakim-hakim Pengadilan Tipikor dalam terdakwa yang lain (selain lrman dan Sugiharto) apakah juga akan menghilangkan nama-nama pelaku yang lainnya.
"Disebutkan dalam Pasal tersebut (Pasal l I UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK) bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Tentu muara dari penanganan yang dilakukan KPK berada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mulai dari pembacaan dakwaan, kesaksian-kesaksian, barang bukti yang diajukan, sampai ke surat tuntutan menjadi tidak berarti jika majelis hakim membatalkan atau mungkin meniadakan fakta-fakta yang telah muncul di persidangan," ujarnya.
Atas dasar itu, kata dia, yang harus menjadi fokus bersama saat ini adalah menjaga independensi dan imparsialitas hakim agar putusan-putusan yang dikeluarkan oleh majelis mengedepankan kebenaran dan fakta-fakta yang ada.
"Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim hanya bertanggung jawab kepada hukum dari hati nuraninya. Artinya hakim wajib tidak memihak kepada pihak-pihak yang sedang berpekara. Lalu imparsialitas ini menjadi dasar bagi hubungan antara hakim dan pencari keadilan. Jika dikaitkan dengan kejahatan korupsi, maka pihak pencari keadilan harus diposisikan kepada masyarakat luas. Maka konsekuensi logis yang dapat diterima lembaga pengadilan jika tidak berpihak kepada masyarakat adalah turunnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini. lni juga sebagai perwujudan dari konsep persamaan di hadapan hukum (equality before the law)," tegasnya.
Lora menekankan, menjamin independensi dan imparsialitas hakim ini menjadi penting saat ini mengingat KPK sedang menangani kasus-kasus besar seperti e-KTP dan BLBI. Bukan tidak mungkin dengan kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki pelaku-pelaku korupsi tersebut dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mencoba mempengaruhi atau bahkan mengintervensi secara langsung lembaga pengadilan.
Kekhawatiran soal independensi pengadilan dan adanya intervensi dari pihak tertentu khususnya dari Senayan, lanjutnya, sangat beralasan karena saat ini DPR sedang membahas Rancangan Undang-undang jabatan Hakim. Dalam rancangan regulasi tersebut diatur antara lain mengenai fungsi pengawasan, seleksi dan masa pensiun hakim dimana Mahkamah Agung dan jajaran hakim memberikan perhatian serius soal ini dan memiliki kepentingan tertentu.
"Intinya kami mengingatkan jangan sampai ada tawar menawar (bargaining) antara Pengadilan dengan Pihak di Parlemen terkait dengan penanganan kasus korupsi e-KTP," katanya.
"Selain proses persidangan di Pengadilan Tipikor, hal lain yang juga harus mendapatkan sorotan tajam saat ini adalah upaya pra peradilan yang mungkin akan diajukan oleh tersangka korupsi. Sudah menjadi rahasia umum, mekanisme pra peradilan seringkali ditempuh oleh tersangka korupsi (menjadi pengadilan alternative) agar lolos dari proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum," ungkapnya.