IDI: Belum Ada Bukti Obat Ganja Lebih Baik, Termasuk Buat Kanker
Menurut IDI, penggunaan ganja untuk kesehatan tidak sepenuhnya aman.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) menanggapi dorongan legalisasi ganja untuk keperluan medis. Menurut IDI, penggunaan ganja untuk kesehatan tidak sepenuhnya aman.
"Jika penggunaan tidak ketat, bisa terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi penggunanya," kata Ketua Dewan Pertimbangan PB-IDI Zubairi Djoerban dikutip dari akun Twitternya @ProfesorZubairi, Kamis (30/6).
-
Dimana konsentrasi dokter spesialis di Indonesia? Dia mengatakan 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. "Rata-rata semuanya dokter spesialis pada di Jawa dan di kota. 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, 59 persen," ujarnya.
-
Kapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi terbentuk? Tepat pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.
-
Apa tujuan utama dibentuknya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat profesi dokter.
-
Kapan dokter Soebandi gugur? Mengutip situs Begandring, dokter tentara sekaligus wakil komandan Divisi Damarwulan ini gugur ditembak tentara Belanda dalam sebuah penyergapan di Desa Karang Kedawung, Jember pada 8 Februari 1949.
-
Apa saja layanan medis yang dilayani oleh Dokter Terawan? "Prof Terawan Hanya melayani Tindakan Digital Substraction Angiography (DSA), dan Immunotherapy Nusantara," kata Okta.
-
Di mana Dokter Lo dirawat? Ia membenarkan jika dokter Lo Siauw Ging MARS saat ini sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu (RSKI) Solo.
Dia mengatakan, sudah banyak studi tentang ganja. Hasil studi menunjukkan, beberapa ganja bisa menjadi obat. Namun, masih ada ganja yang belum diketahui, terutama ketika berinteraksi dengan obat lain serta tubuh manusia.
"Belum ada bukti obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi. Namun ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tapi bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja," jelasnya.
Apakah ganja medis itu aman?
— Zubairi Djoerban (@ProfesorZubairi) June 29, 2022
Merupakan fakta bahwa ganja medis itu legal di sejumlah negara, bahkan untuk nonmedis. Namun tidak berarti sepenuhnya aman. Jika penggunaan tidak ketat, bisa terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi penggunanya.
Zubairi menyebut, sejumlah negara melegalkan ganja untuk medis. Di Amerika Serikat misalnya, Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui satu obat ganja nabati (Epidiolex), yang mengandung cannabidiol murni (CBD) dari tanaman ganja. Obat ini digunakan untuk mengobati kejang serta kelainan genetik langka.
FDA juga telah menyetujui dua obat sintetis tetrahydrocannabinol (THC). Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati mual pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi (antimuntah), dan untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS.
Menurut Zubairi, bisa saja ganja digunakan untuk pengobatan. Namun harus disertai pengawasan dan dosis tidak berlebihan. "Itulah sebabnya penggunaan ganja medis harus sangat ketat oleh dokter yang meresepkannya," ujarnya.
Apakah ada temuan kalau obat ganja lebih baik?
— Zubairi Djoerban (@ProfesorZubairi) June 29, 2022
Belum ada bukti obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi. Namun ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tapi bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja.
Dia menambahkan, dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya jauh lebih rendah daripada untuk rekreasi. Yang jelas, lanjut Zubairi, saat pengobatan pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian THC & CBD ini tidak boleh dipakai sama sekali perempuan hamil dan menyusui.
"Yang terang, setiap obat itu memiliki potensi efek samping, beberapa serius, termasuk ganja medis yang harus diminimalkan. Ketepatan dosis ini krusial untuk menjaga kondisi pasien sehingga mendapatkan efek obat yang dituju," tutupnya.
Awal Mula Dorongan Legalisasi Ganja
Usulan legalisasi ganja untuk medis diusulkan oleh Santi Warastuti. Santi adalah seorang ibu yang berjuang demi kesembuhan anaknya, Pika yang mengidap penyakit Cerebral Palsy. Untuk mengobati penyakit tersebut dibutuhkan ganja medis atau Minyak Biji Ganja (CBD Oil).
Santi membuat aksi simpatik membawa poster bertuliskan 'Tolong Anakku Butuh Ganja Medis' di hari bebas kendaraan atau CFD di Bundaran HI, Minggu (26/6).
Santi juga akan mengirim surat kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Surat tersebut berisi tentang permintaan untuk mendapatkan izin penggunaan ganja medis untuk pengobatan.
Rencananya, Santi mengirim surat permintaan tersebut bersamaan dengan Hari Anti Narkotika pada tanggal 26 Juni 2022. Surat tersebut pun sudah dibingkai dan selalu dibawa ketika Santi menyuarakan permintaannya di muka umum.
Tak hanya itu, Santi juga telah mengadu ke DPR terkait usulannya tersebut pada Selasa (28/6). Santi diterima Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Menanggapi aspirasi Santi, Dasco mendorong agar komisi III dan komisi IX menggelar rapat dengar pendapat (RDP) membahas usulan ganja untuk medis tersebut.
Menkes Izinkan Penelitian Ganja untuk Medis
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin segera menerbitkan regulasi yang mengatur pelaksanaan riset tanaman ganja untuk kebutuhan medis. Upaya ini menyusul desakan ganja digunakan untuk kesehatan.
"Kita sudah melakukan kajian, nanti sebentar lagi akan keluar regulasinya untuk kebutuhan medis," ujar Budi dalam agenda diskusi media di Gedung Kemenkes RI, Jakarta Selatan, Rabu (29/6) kemarin.
Budi mengatakan tujuan dari regulasi tersebut untuk mengontrol seluruh fungsi proses penelitian yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan di dunia medis. Dasar dari keputusan Kemenkes untuk menerbitkan regulasi penelitian tanaman ganja adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pada Pasal 12 ayat 3 dan Pasal 13 aturan itu disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diatur dengan peraturan menteri.
Budi meyakini, semua tanaman dan binatang yang diciptakan Tuhan pasti memiliki manfaat untuk kehidupan. Salah satunya morfin, sebagai alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium.
"Morfin lebih keras dari ganja, tapi dipakai untuk medis. Ganja itu sebenarnya sama seperti morfin, morfin lebih keras dari ganja, itu kan ada dipakai untuk yang bermanfaat," katanya.
Budi mengatakan manfaat tanaman ganja tergantung pada penggunanya. Jika disalahgunakan, dapat memicu dampak negatif, tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga masyarakat.
Seperti halnya morfin pada dunia medis yang berfungsi meredam rasa sakit pada luka di tubuh manusia, tanaman ganja pun akan diteliti untuk melihat manfaatnya lewat riset, data serta fakta ilmiah, kata Budi menambahkan.
"Penelitian morfin itu bagus, untuk gak sakit kalau ada apa-apa, seperti kita tertembak," katanya dikutip dari Antara.
Budi mengatakan kegiatan penelitian tanaman ganja akan melibatkan kalangan perguruan tinggi untuk menghasilkan kajian secara ilmiah untuk kebutuhan medis.
"Kalau sudah lulus penelitian produksinya, harusnya kita jaga sesuai dengan fungsi medisnya," katanya.
Saya harus benar-benar menimbang, apakah ganja lebih aman daripada obat lain yang akan saya resepkan. Bagaimana kemungkinan interaksi obat, apakah justru memperburuk kecemasan, atau berpotensi menyebabkan gangguan psikotik. Banyak hal.
Yang terang, setiap obat itu memiliki potensi efek samping, beberapa serius, termasuk ganja medis—yang harus diminimalkan. Ketepatan dosis ini krusial untuk menjaga kondisi pasien—sehingga mendapatkan efek obat yang dituju.
(mdk/rnd)