OPINI: Kanker di Indonesia: Pemahaman yang Salah, Data Amburadul, Kebijakan Sekadar Beli Alat Mahal
Kanker di Indonesia: Pemahaman yang Salah, Data Amburadul, Kebijakan Sekadar Beli Alat Mahal
Oleh: Zainal Muttaqin
Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip, dan Praktisi Pendidikan Dokter
OPINI: Kanker di Indonesia:
Pemahaman yang Salah, Data Amburadul, Kebijakan Sekadar Beli Alat Mahal
Kanker di Indonesia: Pemahaman yang Salah, Data Amburadul, Kebijakan Sekadar Beli Alat Mahal
Dalam rangka memperingati Hari Kanker Dunia tanggal 4 Februari, tulisan ini didedikasikan untuk para pejuang kanker yang belum memperoleh hak-hak kesehatannya.
-
Kenapa kasus kanker di Indonesia meningkat? Meningkatnya Jumlah Kanker di Indonesia Terjadi Akibat Gaya Hidup Kebaratan Menurut Yayasan Kanker Indonesia (YKI), penerapan gaya hidup yang tidak sehat dan cenderung mengikuti negara barat menjadi penyebab meningkatnya kasus kanker.
-
Apa itu Kanker Usus? Kanker usus, juga dikenal sebagai kanker kolorektal merupakan jenis tumor ganas yang menyerang usus besar atau rektum.
-
Apa yang menyebabkan kanker? Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel abnormal yang tidak terkendali di dalam tubuh.
-
Kenapa angka kesembuhan kanker anak di Indonesia rendah? Salah satu dampak serius dari keterlambatan diagnosis adalah rendahnya angka kesembuhan bagi anak-anak penderita kanker di Indonesia. Dr. Yaulia menyebutkan bahwa prevalensi kesembuhan kanker anak di Indonesia hanya berkisar antara 20-35 persen.
-
Bagaimana kanker kandung kemih bisa berkembang? Ketika sel-sel di kandung kemih mulai tumbuh secara tidak terkendali, kanker ini dapat berkembang menjadi ancaman serius, seperti yang diungkapkan oleh National Cancer Institute.
-
Apa arti dari kata "kajian"? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengkaji artinya belajar, mempelajari, memeriksa, memikirkan, menguji, atau menelaah.
Sebanyak 18,1 juta orang di dunia akan terkena kanker (2018), dan lebih dari 50% (9,8 juta) mati karena kanker-nya. Data Riskesdas th 2019 memperlihatkan bahwa di Indonesia 136/ 100.000 orang akan terkena kanker dalam hidupnya.
Menurut Globocan (Global Burden of Cancer) dari WHO, kasus kanker di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 396.914 kasus dengan angka kematian mencapai 234.511 atau 59,08%.
Jenis kanker tersering adalah kanker payudara sebesar 65.858 atau 16,6%, diikuti oleh kanker leher Rahim (serviks) sebanyak 36.633 kasus (9,23%), lalu kanker Paru sebanyak 34.783 kasus (8,76%).
Dari segi pembiayaan, pada laporan BPJS tahun 2018, kanker menempati urutan ke 5 yang menghabiskan dana BPJS, dan tahun 2020 urutan ini melonjak menjadi kedua setelah penyakit jantung, yaitu sebesar 2,1 Trilliun (16% dari total defisit BPJS).
Lonjakan ini tentu bukan karena jumlah penderita kanker yang bertambah, melainkan kehadiran BPJS yang telah membuka keran bagi banyak pejuang kanker untuk bisa memperoleh hak-hak kesehatannya dan menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan.
Kalau mau bicara tentang pengelolaan kanker secara komprehensif, kita harus mulai dengan data (Cancer Registry) yang akurat dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Sebagai hasil dari KMK ini, data kanker dalam Riskesdas 2018 memperlihatkan keanehan. Yaitu angka kanker tertinggi di Indonesia ada di Yogyakarta (DIY), provinsi di Jawa dengan jumlah penduduk paling kecil.
Sepertinya data ini bermasalah. Masalahnya karena DIY satu-satunya yang paling rajin memasukkan data kanker, dan satu-satunya yang memasukkan data dengan benar.
Ini menggambarkan betapa Cancer Registry kita masih amburadul. Kemkes menjadi institusi negara yang paling bertanggung jawab untuk membenahi persoalan ini.
Baru-baru ini dalam sebuah unggahan di media online, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan salah satu masalah terbesar penanganan kanker di Indonesia adalah skrining kanker yang masih tergolong rendah.
Sehingga banyak pasien yang diketahui mengidap kanker setelah stadium lanjut. Pernyataan ini 100% benar dan tidak salah.
Yang tidak nyambung adalah ketika Menkes tiba-tiba loncat membicarakan ketersediaan alat PET (Positron Emission Tomography) scan sebagai alat deteksi kanker yang hanya ada 3 dan semuanya di Jakarta.
Kelanjutan dari pembicaraan ini sudah bisa ditebak, yaitu rencana pengadaan 13 alat PET scan dalam 2-3 tahun, dan ke depannya akan ada 21 Unit PET scan di Indonesia.
Mari kita bahas persoalan ini secara utuh, berdasarkan sains dan data klinis yang benar dan tentu saja mengikuti saran dan pendapat dari Organisasi Profesi para dokter yang memang menangani pengobatan pasien kanker.
Skrining dan deteksi dini kanker
Kalau kita bicara tentang skrining dan deteksi dini, tentu harus dimulai dengan edukasi masyarakat dan peran dari Faskes tingkat 1 (faskes primer) dan faskes rujukan sekunder.
Contohnya, terkait kanker payudara, ada pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), yg kemudian ditindak lanjuti dengan foto Rontgen Mammografi.
Faskes tersier (RS rujukan regional/ provinsi dan RS rujukan nasional) bukanlah tempat untuk skrining maupun deteksi dini kanker.
Dalam Detik Health Kamis 1 Februari 2024 jelas tertulis “Menkes juga menyoroti masih kurangnya alat deteksi kanker di Indonesia, untuk di Jakarta alat PET scan hanya tersedia 3 Unit. Kita sudah siapkan anggarannya agar dalam waktu 2-3 tahun akan datang 13 PET scan, ke depan targetnya bisa menjadi 21 alat PET scan”.
Jadi kalau bicara peran PET Scan yang hanya tersedia di Faskes Tersier, tentu bukan untuk deteksi dini tapi lebih pada menilai perluasan dari kanker nya (staging dan grading), yaitu mendeteksi penyebaran sel kanker untuk penentuan stadium dan bentuk terapi yang dibutuhkan.
Saat ini pemeriksaan PET scan berbiaya minimal Rp15 juta dan tidak ditanggung oleh BPJS, jadi jelas sekali alat ini bukan buat skrining.
Logikanya, kalau ada dugaan patah tulang lengan atau tungkai akibat KLL, pasien hanya memerlukan foto Rontgen sederhana yang tersedia di RS terkecil, bahkan di klinik swasta, tanpa harus dirujuk ke RS regional apalagi ke RS vertikal untuk foto MRI. Lagi-lagi di sini ada logika berfikir sesat (Logical Fallacy) sehingga tiba-tiba berujung pada kebijakan pengadaan 21 Unit PET scan, di RS rujukan tersier, untuk deteksi dini kanker.
Pengobatan Pasien Kanker
Ada 3 rangkaian pengobatan utama kanker. Mulai dari operasi pengangkatan kanker atau hanya biopsi, diikuti terapi sinar pengion (Radioterapi), dan Kemoterapi. Ketiga bentuk pengobatan ini bukan alternatif yang bisa dipilih oleh pasien.
Dokter akan memutuskan melakukan ketiganya, atau salah satu, atau dua dari tiga pengobatan tsb.berdasar pertimbangan keilmuan setelah memastikan jenis tumor dan tingkat penyebaran/ perluasannya (staging dan grading).
Jadi tidak tepat bila seorang pasien mencari dokter yang bisa mengobati kanker tanpa operasi. Menurut IROS (Indonesian Radiation Onkology Society) setidaknya 50% pejuang kanker memerlukan radioterapi dan di tahun 2018, radioterapi dibutuhkan untuk 174 ribu pejuang kanker.
Menurut IROS, idealnya dibutuhkan 1 unit mesin/alat Radioterapi Eksternal (Teleterapi) untuk setiap 1 juta penduduk. Jadi Indonesia membutuhkan setidaknya 270 unit alat Teleterapi ini. Sampai akhir 2020, di Indonesia cuma ada 80 unit alat ini dengan distribusi yang tidak merata, yang hanya bisa melayani sebanyak 29,82% pasien.
Sejak 2010, IROS telah menyusun roadmap pengembangan layanan radioterapi di Indonesia, dengan target 189 Unit Mesin Teleterapi (70% dari kebutuhan) pada tahun 2035.
Roadmap ini telah diintegrasikan dalam Program Pengendalian Kanker Nasional 2015-2020. Artinya Menkes seharusnya sudah tahu kebutuhan utama terkait pengobatan kanker ini).
Selain itu ada sebuah tulisan ilmiah berjudul “Treatment Delay of Cancer Patient in Indonesia: A Reflection from a National Referral Hospital” yang ditulis oleh S Gondhowihardjo dkk. (Med J.Indonesia, 2021; 30: 129-137).
Studi pada pasien kanker yang dirujuk ke Poli Rawat Jalan Departemen Onkologi Radiasi RSCM ini membuktikan bahwa 86% pasien kanker mengalami keterlambatan penanganan, dan sebagian besar keterlambatan terjadi di Rumah Sakit Rujukan.
Bentuk keterlambatan tersering adalah waktu pemberian radioterapi setelah jenis kanker-nya dipastikan (terjadi pada 80% kasus), disusul oleh terlambat memastikan jenis kanker setelah pasien diperiksa dokter spesialis (36%).
Sedang keterlambatan rujukan dari dokter (Faskes 1) ke RS Rujukan porsinya terkecil, hanya 9%. Keterlambatan dalam memastikan diagnosa jenis kanker antara lain disebabkan oleh waktu tunggu untuk di foto (X ray, CT, dan MRI, bukan PET Scan), waktu tunggu untuk tindakan biopsi (pengambilan sampel jaringan tumor), dan waktu tunggu untuk memperoleh hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).
Menurut data UICC ( Union for International Cancer Control ), 30% kanker bisa disembuhkan bila pengobatan dimulai saat stadium dini. Analisa atas 87 penelitian yang melibatkan 101.954 pasien kanker payudara ( Richards dkk. Lancet 1999 ) membuktikan bahwa keterlambatan pengobatan lebih dari 3 bulan berakibat pada angka 5-Year Survival yang jauh lebih rendah.
Banyak studi membuktikan apabila keterlambatan pengelolaan kanker ini bisa diatasi, maka dampak ekonominya akan bermakna.
Artinya, pihak Kemkes dengan seluruh jajarannya harus bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang berujung pada terlambatnya layanan pengobatan kanker.
Simpulan dari berbagai studi dan hasil penelitian di atas, yang benar-benar terpercaya (reliable), dan bukan sekedar testimoni pasien apalagi kehendak pemilik modal, jelas menggambarkan problematika yang harus diprioritaskan dalam rangka pemenuhan hak-hak kesehatan para pejuang kanker.
Keterlambatan pengobatan pasien kanker jelas tidak ada kaitannya sama-sekali dengan ketersediaan alat PET Scan yang hanya 3 Unit yang semua ada di Jakarta. Alat PET scan, yang setiap unit bernilai sekitar Rp100 Miliar ini, memang harus ditambah.
Tetapi hak dari 70% lebih pasien kanker untuk memperoleh radioterapi dengan alat Teleterapi yang nilainya kurang dari Rp25 Miliar(bila tanpa mark-up) jelas harus lebih diprioritaskan.