7 Profesor Kesehatan Kirim Surat Terbuka ke Prabowo, Singgung Konflik Menkes dan Organisasi Profesi
Dalam surat tersebut, ada lima catatan penting tentang kondisi dunia kesehatan yang perlu perhatian segera dari Prabowo.
Aliansi Ketahanan Kesehatan Bangsa mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. Surat itu menyoroti kondisi dunia kesehatan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Perwakilan Aliansi Ketahanan Kesehatan Bangsa, Djohansjah Marzoeki mengatakan, ada lima catatan penting tentang kondisi dunia kesehatan yang perlu perhatian segera dari Prabowo.
Pertama, profil kesehatan masyarakat yang belum memuaskan. Dia mengatakan, di dalam negeri, Indonesia masih menghadapi penyakit menular yang belum terkendali baik, seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria dan demam berdarah.
Penanganannya belum menunjukkan hasil dan perbaikan signifikan. Di sisi lain, prevalensi faktor risiko kardiovaskular dan penyakit metabolik seperti penyakit jantung dan diabetes terus meningkat dan belum menunjukkan hasil memuaskan.
Pada level regional, profil kesehatan Indonesia jauh tertinggal di tingkat ASEAN. Indonesia masih berada di empat negara terbelakang di ASEAN dalam hal angka kematian bayi, angka kematian ibu dan angka harapan hidup.
“Profil kesehatan yang lemah ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan kesehatan bangsa,” kata Djohansjah dalam suratnya, Rabu (1/1).
Kedua, fokus pada proyek mercu suar daripada program pro-rakyat. Menurut dokter senior ini, Kementerian Kesehatan terlalu fokus melaksanakan proyek-proyek mercu suar, seperti pengadaan ratusan laboratorium kateterisasi (Cath-lab) dan proyek genomik, yang menggunakan dana pinjaman luar negeri.
Proyek ini dianggap lebih berorientasi pada domain kuratif dan mengabaikan domain promotif dan preventif yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan kesehatan nasional. Selain itu, proyek-proyek ini tidak mencerminkan keberpihakan pada persoalan kesehatan rakyat banyak dan lebih berorientasi dan menguntungkan kelompok tertentu.
“Jika proyek-proyek yang tidak pro-rakyat ini terus dilanjutkan, akan terjadi inefisiensi dan pemborosan sumber daya dengan target hasil yang tidak adekuat,” sambungnya.
Singgung Konflik Menkes dan Organisasi Kesehatan
Ketiga, ada ketidakharmonisan antara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan profesi kesehatan. Djohansjah menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi disharmoni serius antara Budi Gunadi dengan organisasi profesi kesehatan, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta organisasi lainnya.
Menurutnya, banyak penyebab disharmoni ini. Ketidakharmonisan ini mengakibatkan kurangnya komunikasi, kerja sama dan inklusifitas antara kedua pihak, yang pada akhirnya menciptakan kondisi tidak kondusif bagi dunia kesehatan Indonesia.
Ketidakharmonisan dalam komunikasi antara Budi Gunadi dan para profesi kesehatan di Indonesia kerap menjadi sorotan. Narasi yang terbangun di media sosial sering kali terkesan kurang mendukung dan menyudutkan profesi kesehatan.
“Hal ini menciptakan kesan seolah-olah terdapat jarak signifikan antara Menteri dengan profesi kesehatan. Ibarat seorang panglima perang yang tidak berkomunikasi dengan pasukannya sendiri,” ucap dia.
Jika situasi ini terus berlanjut, kata Djohansjah, program-program kesehatan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan sukses, mengingatorganisasi profesi adalah pemangku kepentingan utama dalam pembangunan kesehatan Indonesia.
Tanpa keterlibatan optimal organisasi profesi, program kesehatan yang direncanakan akan sulit memperoleh hasil maksimal. Keempat, campur tangan dalam ranah profesi.
Djohansjah menyebut, Kementerian Kesehatan mencampuri terlalu jauh urusan yang seharusnya menjadi ranah organisasi profesi.Dia menyinggung Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Menurut Djohansjah, UU itu dibuat tanpa melibatkan organisasi profesi yang sah.
Dalam undang-undang tersebut, Kementerian Kesehatan mengambil alih program pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan, konsil, kolegium, dan perangkat lain yang seharusnya menjadi ranah keprofesian. Karena sikap ini, lanjut dia, Kementerian Kesehatan telah berkali-kali disomasi oleh tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan juga telah mengajukan berbagai judicial review terhadap kebijakan-kebijakan Kementerian Kesehatan tersebut. Baru-baru ini, pembentukan kolegium secara sepihak oleh Kementerian kembali memicu somasi.
“Kondisi kekisruhan ini akan terus terjadi jika tidak ada perbaikan dan kesepakatan. Dan ini akan mengganggu program pembangunan kesehatan yang digaungkan oleh Bapak Presiden,” jelas Djohansjah.
Krisis Kepemimpinan Berbasis Keahlian
Terakhir, krisis kepemimpinan berbasis keahlian. Dia menyebut, ada carut-marut isu kesehatan serta belum memuaskannya pencapaian bidang kesehatan disebabkan adanya krisis kepemimpinan profesional kesehatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata Djohansjah, kepemimpinan bidang kesehatan dipegang oleh pejabat yang tidak memiliki wawasan maupun pengalaman adekuat di bidang kesehatan.
Hal ini berdampak pada pola komunikasi yang kurang efektif serta kebijakan yang tidak menyentuh substansi utama persoalan kesehatan.
“Seperti halnya bidang pendidikan, sektor kesehatan sepantasnya dipimpin oleh seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang kesehatan,” kata dia.
Untuk memastikan kebijakan yang komprehensif dan berbasis kebutuhan nyata, menurut Djohansjah, seorang Menteri Kesehatan idealnya adalah sosok dengan pengetahuan, pendidikan, dan pengalaman yang mendalam di bidang kesehatan.
“Dengan keahlian ini, dia mampu memahami persoalan kesehatan secara mendalam serta memberikan solusi relevan dan sesuai dengan kebutuhan,” ucap Djohansjah.
Berdasarkan berbagai masalah tersebut, Djohansjah menilai progres pembangunan kesehatan masih jauh dari kata memuaskan. Dengan kondisi ini, sulit bagi negera ini mempersiapkan masyarakat Indonesia berkualitas dalam menyongsong Indonesia Emas.
Djohansjah mengusulkan kepada Prabowo untuk meninjau dan merevisi program-program serta kebijakan yang tidak pro-rakyat ini. Dia juga mendorong Prabowo mempertimbangkan kepemimpinan berbasis profesionalisme dan keahlian.
“Dengan ini, kita berharap bidang kesehatan dapat menjadi penyejuk dan penyelesai berbagai tantangan bidang kesehatan dan bangsa, bukan menjadi bahan toksik bagi masyarakat,” ujarnya.
Surat terbuka ini dikirimkan tujuh tokoh. Mereka adalah Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., Sp.B., Sp.B.P.R.E., Subsp.E.L. (K), Prof. Dr. dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A (K) FACC, FESC, Prof. dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), Prof. dr. Muchtaruddin Mansyur, M.S., PKK., PGDRM., Sp.Ok., Ph.D, Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D, Sp.BS, Prof. DR. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS (K), dan Prof. DR. dr. Hardyanto Soebono, Sp.DV&E (K).