Ini 11 poin perhatian pemerintah dalam revisi UU Terorisme
Jaksa Agung berharap revisi UU Terorisme segera dilaksanakan.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengungkapkan bahwa undang-undang di Indonesia terbilang masih belum terakomodir. Menurutnya selama ini hanya delik material saja, seperti salah satunya Undang-Undang Terorisme yang perlu direvisi.
"Saya mau sampaikan, MK pernah keluarkan satu keputusan nomor 65 pada 8 Agustus 2011, mengenai saksi adalah orang kasih keterangan dalam penuntutan yang tidak selalu ia dengar dan alami sendiri. Ini berbeda pasal 32 ayat 1 UU Terorisme, dalam pemeriksaan saksi memberikan keterangan apa yang ia lihat dan dengar dan alami sendiri. Ini kalau masih dipakai susah untuk ungkap kasus terorisme," kata Prasetyo di Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Selasa (15/2).
"Fakta program deradikalisasi belum optimal. Karena biayanya mahal, 15 persen dari 600 narapidana terorisme. Setelah lakukan hukuman mereka balik jadi teroris lagi. Atas dasar itu, UU Terorisme jadi sangat penting dan mendesak," tambahnya.
Selain kategorisme, delik formil penindakan jadi bisa dilakukan. Prasetyo menambahkan, pembuktian tindak pidana terorisme, tenggat waktu, penahanan hanya 20 hari diperpanjang 40 hari sangat pelik dan susah. "Tenggat waktu perlu lebih longgar. Apalagi meneliti berkas perkara," ungkapnya.
Lanjut Prasetyo, dirinya pun ingin menyampaikan hasil resolusi dewan keamanan PBB yang mengimbau untuk meningkatkan perhatian mobilitas terorisme internasional. Yang beberapa hal resolusi itu yakni, efektivitas pengawasan lintas batas, pemeriksaan ekstra dokumen perjalanan, meningkatkan kerjasama informasi dan sistem keuangan dan semua sistem.
"Membuat peraturan yang dipatuhi oleh maskapai penerbangan, pelayaran dan lain sebagainya agar bersama-sama pemerintah untuk membuat early warning system. Revisi UU Terorisme bisa segera kita selesaikan. Jadi kita gak kecolongan," tutupnya.
Prasetyo pun mengungkapkan adapun pemerintah memberikan perhatian penyusunan revisi antara lain berikut:
1. Ada kategorisasi terorisme baru atau memperdagangkan senjata kimia, tenaga nuklir dan zat radioaktif untuk tindak pidana.
2. Larangan melakukan hubungan organisasi radikal di luar negeri. Selama ini mereka yang ngirim orang ke luar negeri belum bisa dijangkau oleh UU kita.
3. Latihan militer di luar negeri dan organisasi radikal baik di Indonesia maupun luar ngeri.
4. Melakukan hubungan langsung atau tidak dengan teroris.
5. Mengembangkan dan menyebarkan paham terorisme ke orang lain.
6. Mengajak orang bergabung.
7. Melakukan pengiriman orang lain ke terorisme.
8. Membantu dan menyumbangkan harta untuk keperluan kelompok radikal.
9. Membantu mempersiapkan kegiatan terorisme.
10. Mengancam orang untuk masuk terorisme.
11. Memperdagangkan senjata kimia dan lain-lain untuk terorisme.