Ini Dua Calon Pimpinan KPK yang Pro dan Kontra OTT Dihapus
Mekanisme OTT yang selama ini dilakukan KPK, menjadi salah satu pembahasan menarik selama fit and proper test Capim.
Mekanisme operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjadi salah satu pembahasan menarik selama fit and proper test calon pimpinan (Capim) yang digelar di Komisi III DPR.
Diketahui ada dua Capim KPK yang memiliki perbedaan pendapat. Ada yang pro OTT dihapus, ada juga yang tidak setuju dihapus.
Capim KPK yang setuju OTT dihapus adalah Johanis Tanak. Dia beralasan OTT tidak sesuai dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Menurut dia, OTT tidak tepat karena kata operasi adalah sesuatu hal yang telah dipersiapkan dan direncanakan. Lalu pengertian tangkap tangan berdasarkan KUHAP adalah peristiwa penindakan hukum yang pelakunya seketika langsung ditetapkan sebagai tersangka.
"Kalau ada satu perencanaan, operasi itu terencana, peristiwa yang terjadi suatu ketika itu tertangkap, ini suatu tumpang tindih yang tidak tepat," kata Johanis, Selasa (19/11).
Selaku Wakil Ketua KPK periode ini, dia pun mengaku sudah menyampaikan ketidaksetujuan terhadap kegiatan OTT. Namun, lanjut dia, mayoritas di KPK mengatakan bahwa OTT merupakan sebuah tradisi.
"Tapi seandainya saya bisa jadi (Pimpinan KPK), mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close, karena itu tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," kata pria yang berlatar belakang jaksa tersebut.
Ketika menyampaikan rencananya untuk meniadakan OTT, Johanis pun langsung disambut dengan tepuk tangan oleh orang-orang yang berada di ruangan rapat Komisi III DPR RI.
Sementara Capim KPK yang tetap menginginkan OTT dilakukan adalah Agus Joko Pramono. Dia menginginkan agar KPK mengedepankan pengembangan kasus dan melakukan OTT hanya jika diperlukan.
Sedangkan untuk pencegahan korupsi, Agus Joko Pramono bakal membuat serangkaian strategi sesuai visi Astacita yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut dia, strategi itu merupakan jangka pendek guna menjaga program-program yang sedang dijalankan pemerintah tidak mengalami korupsi. Pasalnya, menurut dia, program-program Astacita itu bersifat quick wins dan prestisius.
"Sebagaimana pengalaman sebagai auditor juga, akan saya terapkan di sini," kata Agus.
Senada dengan Agus, calon Dewan Pengawas (Dewas) KPK Benny Jozua Mamoto juga berpendapat OTT masih diperlukan. Namun dia memberi masukan agar OTT memiliki payung hukum yang khusus.
Dia mengatakan OTT yang dilakukan KPK mirip dengan yang dilakukan dalam penindakan kasus narkotika. Namun, penindakan narkotika dengan metode khusus itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"OTT KPK mirip-mirip dengan teknik penyidikan penyerahan di bawah pengawasan, karena ketika penyadapan dilakukan kemudian terjadi rencana transaksi," kata Benny, Rabu (20/11).
Dia menjelaskan bahwa ada teknik penyelidikan dalam penindakan kasus narkotika dengan menyamar sebagai pembeli, kemudian penjualnya ditangkap.
Kemudian ada juga, kata dia, teknik penyerahan di bawah pengawasan yang membuntuti kurir narkoba hingga menyerahkan narkotika kepada penerimanya.
Menurut dia, hal itu serupa dengan penyelidikan yang dilakukan KPK ketika ada penyerahan uang suap atau korupsi.
Dengan payung hukum yang khusus, menurutnya kegiatan OTT oleh KPK tidak akan dipermasalahkan. Namun, menurut dia, hal itu menarik untuk didiskusikan lebih lanjut terkait pengertian pemberantasan pada KPK, yang diawali dari pencegahan.
Walaupun begitu, dia menilai bahwa kekalahan KPK dalam sejumlah praperadilan justru bukan dari kasus hasil OTT. Menurutnya hal itu tergantung pada kecermatan penyidik.
Sedangkan, kata dia, OTT yang dilakukan KPK biasanya sudah lengkap, mulai dari saksi, pelaku, hingga barang bukti.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menilai para Calon Pimpinan (Capim) KPK memiliki skenario masing-masing soal OTT.
Walaupun begitu, dia mengharapkan agar OTT tidak dilakukan secara main-main yang hanya untuk publikasi ke ruang publik. Menurut dia, OTT harus dilakukan secara lengkap beserta barang buktinya.
"Jangan sampai nanti uang-nya di mana, orangnya di mana, gitu," kata Sahroni.
Pada saat uji kelayakan dan kepatutan, sejumlah Capim KPK memiliki pandangan yang berbeda terkait OTT. Di antaranya, Capim KPK Setyo Budiyanto menilai bahwa OTT masih diperlukan untuk mengungkap kasus yang lebih besar.