Ini peran NU dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia
Akibat fatwa jihad, meledaklah perang di Surabaya pada 10 November 1945.
Tulisan ini merupakan sepenggal kisah tentang Hasyim Asyari, pahlawan nasional dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Kiai karismatik berjuluk Hadratus Syaikh yang berarti Maha Guru, ini dikenal sebagai ahli ilmu agama, khususnya tafsir, hadits dan fiqih.
Dia mengabdi kepada umat dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Hasyim juga berdakwah ke daerah-daerah pada masanya.
Sedangkan gelar pahlawan dia dapat karena pada masa penjajahan belanda, Hasyim Asyari ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945. Akibat fatwa itu, meledaklah perang di Surabaya pada 10 November 1945.
Menurut Ishom Hadzik (2000) dalam buku yang ditulis Zuhairi Misrawi berjudul "Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan", pada masa penjajahan Belanda, Hasyim senantiasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh muslim dari berbagai penjuru dunia untuk melawan penjajahan.
Misalnya dengan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko), Sultan Pasha Al-Athrasi (Suriah), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Dhiyauddin al-Syairazi, Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah (Pakistan).
Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jatim mengeluarkan resolusi jihad itu. Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap Belanda. Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah.
Bahkan ketika Bung Tomo meminta Kiai Hasyim mengungsi dari Jombang, Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan. Hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional; hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq berjudul "Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari" yang diterbitkan LKiS pada 2000 lalu, butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.
Butir ke dua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ke tiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.
Ke empat; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. Ke lima; kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang.
Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diri Hasyim sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. Menurut Muhammad Asad Syihab (1994), Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan.
Semangat itu dia bawa tatkala kembali ke Indonesia dan dia tularkan kepada anaknya, Wahid Hasyim. Kelak, Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama pertama pada era Presiden Soekarno.
Sikap anti penjajahan juga sempat membawa Hasyim masuk bui ketika masa penjajahan Jepang. Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan 'Saikerei' yaitu menghormati Kaisar Jepang "Tenno Heika" dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB.
Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Bisa ditebak, Hasyim Asyari menentang karena dia menganggapnya 'haram' dan dosa besar.
Membungkukkan badan semacam itu menyerupai 'ruku' dalam sholat, hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Menurut Hasyim, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit.
Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, Hasyim Asyari yang sudah berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan, Surabaya. Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa hingga jari-jari kedua tangannya remuk tak lagi bisa digerakkan.
Hasyim Asyari lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 dengan nama lengkap Mohammad Hasyim Asyari. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng dan organisasi NU. Kakek almarhum Gus Dur ini meninggal di Jombang, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun.
Dalam buku lain, 'Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949)' yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie ingin menunjukkan bahwa sejarah seharusnya mengkaji dengan jernih adanya kepentingan politik yang terdapat dalam relasi kuasa (power relation), atau yang dikenal dengan politik pengetahuan (politic of knowledge). Dengan kata lain, perlunya kesadaran akan saling berkelindannya atau berjalan seiring antara penulisan sejarah dengan kekuasaan.
Bagian pertama buku ini mengungkapkan kajian mistifikasi yang dibangun secara simbolik sebagai dasar perjuangan ulama-santri. Bagi santri dan masyarakat, seorang ulama atau Kyai dianggap sebagai pengawal agama dan penunjuk jalan kebaikan. Posisi ulama atau Kyai sangat penting menjadi symbol perlawanan atau perjuangan. Kemampuannya dan kesaktiannya yang luar biasa akan memperteguh daya kohesi dan motivasi bagi santri dan masyarakat untuk memposisikan ulama sebagai panutan (hal.17), seperti ditulis nu.or.id 24 Februari 2014.
Dari bagian pertama hingga keenam, nampak bahwa ulama-santrilah yang mampu secara konsisten mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama dan pesantren menjadi simbol perlawanan kolonial. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa satu-satunya elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial adalah ulama-santri dan pesantren, bahkan menjadi garda depan dalam menumpas kolonialisme.
Baca juga:
'Kembalikan NU ke Timur, agar tak hilang'
Sosok-sosok kiai NU yang melegenda
Muktamar NU, pesantren sampai hotel di Jombang penuh
Guyonan tokoh NU dan Muhammadiyah tentang 'membaca niat'
Benarkah posisi menteri agama RI jatah Nahdlatul Ulama?
-
Bagaimana prajurit Mataram akhirnya berjualan di Jakarta? Meskipun kalah perang, para prajurit yang kalah justru mulai berjualan di Jakarta dengan dua menu yaitu telur asin dan orek tempe.
-
Apa yang dibahas Indonesia di Sidang Umum ke-44 AIPA di Jakarta? “AIPA ke-44 nanti juga akan membahas persoalan kesejahteraan, masyarakat, dan planet (prosperity, people, and planet),” kata Putu, Rabu (26/7/2023).
-
Kapan Ammar Zoni tiba di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat? Mantan suami Irish Bella ini tiba di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat menggunakan mobil tahanan sekitar pukul 10.50 WIB.
-
Kapan Kota Tua Jakarta didirikan? Sejarah Kota Tua Jakarta berawal pada 1526, ketika Fatahillah, seorang komandan dari Kesultanan Demak, menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan milik dari Kerajaan Pajajaran.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Siapa yang menyerahkan kekuasaan atas wilayah Jakarta Raya kepada Pemerintah Republik Indonesia? Hal tersebut diawali dengan penandatanganan dokumen-dokumen peralihan kekuasaan atas wilayah Jakarta Raya dari tangan Co Batavia en Ommenlenden kepada Basis Co Jakarta Raya.