Jaksa Agung Ungkap Alasan Ingin Hukum Mati Koruptor: Memiskinkan Tak Cukup!
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkap alasannya semangat dalam menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia. Menurut dia, seringkali upaya penegakkan hukum yang dilakukan sekarang tak cukup untuk memberantas kejahatan korupsi.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkap alasannya semangat dalam menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia. Menurut dia, seringkali upaya penegakkan hukum yang dilakukan sekarang tak cukup untuk memberantas kejahatan korupsi.
Dia beranggapan, saat ini banyak upaya penegakkan hukum, seperti memiskinkan pelaku hingga tindakan represif lain. Tapi tindakant tersebut justru tak memberikan efek jera bagi pelaku.
-
Siapa yang mengapresiasi langkah Jaksa Agung? Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengapresiasi langkah Jaksa Agung yang tidak memberikan toleransi terhadap jaksa yang diduga terlibat korupsi.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Kapan Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung? Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung pada periode 2007-2010.
-
Siapa Brigadir Jenderal Sahirdjan? Bapak Itu Brigadir Jenderal Sahirdjan, Guru Besar Akademi Militer!
-
Kapan Ujung Kulon Janggan buka? Ujung Kulon Janggan dibuka mulai pukul 07.00 hingga 18.00.
-
Kapan Djamaluddin Adinegoro lahir? Gunakan Nama Samaran Djamaluddin Adinegoro lahir di Talawi, sebuah kecamatan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada 14 Agustus 1904.
"Upaya tersebut ternyata belum cukup memberantas kejahatan korupsi. Karena itu kejaksaan merasa perlu melakukan terobosan hukum, dengan menerapkan hukuman mati," kata Burhanuddin saat hadir dalam diskusi yang digelar Fakultas Hukum Unsoed, Kamis (18/11).
Burhanuddin mengatakan, selama ini pihaknya telah mencoba memberikan efek jera dengan memberikan tuntutan maksimal sesuai dengan tingkat kejahatannya. Kemudian, kata dia, pihaknya juga mengubah pola pendekatan follow the suspect (tersangka) menjadi follow the money dan follow the asset untuk mendalami perkara. Hal itu kemudian yang akan berujung pada perampasan aset.
"Memiskinkan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset recovery. Sehingga, penegakkan hukum tidak hanya pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan secara maksimal," ucap dia lagi.
Jaksa, kata dia, juga telah berupaya menyeleksi pemberian justice collaborator (JC) bagi para koruptor yang terjerat. Lalu, upaya hukum lain melalui sistem keperdataan juga sempat diupayakan kepada koruptor yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun ditemukan ada kerugian keuangan negara dalam peristiwa tersebut.
Namun demikian, kata dia, semua upaya tersebut masih belum dapat memberantas kejahatan korupsi di Indonesia. Sehingga, pendakatan yang lebih ekstrem untuk mengupayakan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa korupsi tengah dikaji dan diupayakan oleh Kejaksaan.
"Terkait penerapan hukuman mati bagi koruptor ini yang pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, tentunya akan menimbulkan pro kontra," jelas dia.
"Keberadaan sanski pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting di dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera," tambah dia.
Boleh dalam UU
Apalagi, kata dia, jalan untuk menerapkan hukuman mati tersebut diperbolehkan dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, terobosan hukum dinilainya dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara masalah korupsi di Indonesia.
Dia mencontohkan, sanksi itu termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor merumuskan bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman pidana mati.
Misalnya, kata dia, dana-dana yang diperuntukkan untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, hingga penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
Kemudian, ia juga mengatakan bahwa frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang. Burhanuddin merujuk pada konsep residivis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memaknai pengulangan sebagai perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.
Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai, konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera. Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.
"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," jelasnya.
Contoh Kasus
Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana tersebut berkaca dari dua kasus korupsi kelas kakap yang digarap oleh Kejagung, yakni pengelolaan dana keuangan dan investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero).
Kasus Jiwasraya berdampak pada banyak masyarakat luas ataupun para pegawai yang mendapat jaminan sosial tak terpenuhi haknya. Diketahui, kasus itu merugikan negara hingga Rp16,8 triliun.
Hal serupa juga kembali terjadi pada kasus korupsi Asabri yang turut merugikan hak-hak prajurit di Indonesia. Dimana, mereka memiliki harapan untuk masa pensiun dan masa depan keluarganya lewat asuransi yang dikelola perusahaan pelat merah itu.
Dalam kasus Asabri, total ada delapan terdakwa yang telah diseret ke meja hijau. Mereka didakwa Jaksa merugikan keuangan negara Rp22,7 triliun akibat kasus mega korupsi yang terjadi pada perusahaan pelat merah itu.
(mdk/rnd)