Jejak JAD di Merauke
Tim Densus 88 Anti Teror masih menyelidiki kelompok JAD ini.
Serangkaian penangkapan dilakukan aparat terhadap jaringan Jamaah Anshor Daulah (JAD) tak lantas membuat kelompok teroris tersebut meredup. Sel-sel organisasi yang dibekukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam sidang pada 2018 silam itu masih aktif dan menyebar hampir merata di Indonesia.
Eksistensi JAD teranyar terendus aparat di Merauke, Papua. 13 terduga teroris ditangkap tim Densus 88 Anti Teror. Dari 13 terduga teroris yang diamankan, baru 11 orang yang identitasnya terungkap. Mereka adalah AK, SB, ZR, UAT, DS, SD, SR, YK dan SW serta pasangan suami istri AP dan IK.
-
Dimana serangan teroris terjadi? Serangan tersebut terjadi di gedung teater Crocus City Hall yang berlokasi di Krasnogorsk, sebuah kota yang terletak di barat ibu kota Rusia, Moskow.
-
Apa yang ditemukan Densus 88 saat menangkap ketujuh pelaku ancaman terhadap Paus Fransiskus? "Kita temukan barang barang yang terkait propaganda saja seperti penggunaan logo logo, foto-foto, kemudian kata-kata. Logo ISIS misalnya, logo-logo yang merujuk pada tanda tertentu yang biasa digunakan kelompok teror, salah satu misalnya bendera bendera itu ya," kata dia di GBK, Jumat (6/9).
-
Dimana Densus 88 menemukan bukti ancaman terhadap Paus Fransiskus? Kita temukan barang barang yang terkait propaganda saja seperti penggunaan logo logo, foto-foto, kemudian kata-kata.
-
Mengapa Densus 88 menangkap ketujuh pelaku ancaman terhadap Paus Fransiskus? Dijelaskan, Densus 88 Antiteror diberikan mandat untuk melakukan pencegahan sedini mungkin setiap ancaman, setiap serangan teror yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok.
-
Bagaimana Densus 88 menemukan ancaman terhadap Paus Fransiskus? Hasil pemantauan, ditemukan postingan-postingan bermuatan ancaman dan provokasi yang ditujukan kepada Paus Fransiskus saat melakukan kunjungan ke Indonesia.
-
Di mana kejadian teror suara ketuk pintu ini terjadi? Belum lama ini, sebuah kejadian yang tak biasa terjadi di Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Banten.
Kapolres Merauke, AKBP Untung Sangaji menyebut belasan terduga teroris itu bukan warga asli Papua. Mereka terendus datang sebelum tahun 2010. Aktivitas kelompok ini dikenal tertutup sejak tiba di bumi cendrawasih. Belakangan hasil penyelidikan tim Densus 88 Anti Teror, jejak teror mereka tergabung dalam kelompok menggunakan grup WhatsApp atau Telegram yang isinya mengandung unsur radikal.
Keberadaan kelompok ini kemudian diawasi aparat setelah sebelumnya terdeteksi hendak melakukan pengeboman, namun gagal. Menurut dia, karena saat itu belum cukup bukti, sehingga tak dilakukan penangkapan.
"Kemudian dari situlah urut kasus itu. Jangan-jangan akan terjadi ketika mau natal dan sebagainya dan itu emang ingin terjadi, bersamaan dengan itu pelaku makar bintang kejora dan lain sebagainya ingin mengumandangkan referendum anti otsus jilid 2 dan referendum tapi tiba-tiba dari sana membuka kasus lain yang ada kaitannya dengan kasus ini," kata Untung saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (5/6).
Pengawasan terhadap kelompok ini semakin diperketat setelah insiden bom bunuh diri dilakukan pasutri di Gereja Katedral, Makassar, awal tahun lalu. 10 orang terduga teroris kemudian ditangkap tim Densus 88 Anti Teror setelah merencanakan aksi teror di Gereja Merauke, Polres Merauke dan Satlantas Merauke.
Mereka ditangkap di pelbagai titik seperti di Distrik Kurik, Tanah Miring, Jagebob, Marauke sejak Jumat (28/5) hingga Minggu (30/5). Pengungkapan kasus ini merupakan rentetan dari pada penangkapan terduga teroris dilakukan di Sulawesi Selatan. Anggota kelompok ini juga merupakan pelarian dari aksi teror Thamrin pada Januari 2016 dan jaringan Poso.
"Itu kan nama-nama target operasi, sudah ada cuma siapa yang mau mulai aja. Kita enggak mau kecolongan kan seperti ya di Thamrin sebelum bom besar meledak ditangkap," kata Untung.
Sejumlah barang bukti seperti senapan angin, senjata tajam, peralatan panah, beberapa cairan dan peralatan serta bahan kimia disita tim Densus 88 Anti Teror saat melakukan penangkapan. Semua barang bukti tersebut masih dalam pendalaman mencari tahu isi kandungannya.
Kapolda Papua Irjen Pol Mathius Fakhiri mengatakan, kelompok terduga teroris di Merauke ini direkrut empat orang, termasuk pasangan suami istri AP dan IK. Empat orang menjadi perekrut terduga teroris yang tergabung dalam JAD Papua itu yakni YK dan SW serta pasutri AP dan IK.
Dia menambahkan hingga kini belum dipastikan kapan ke 11 terduga teroris dibawa ke Jayapura, termasuk dua balita anak dari pasutri AP dan IK. Para terduga teroris itu akan ditahan di tahanan Brimob Kotaraja, sedangkan IK ditahan terpisah di luar Mako Brimob.
"Densus 88 dan anggota Polda Papua masih terus melakukan penyelidikan agar Papua bebas dari terorisme," kata Fakhiri di Jayapura, Rabu (2/6).
JAD Ingin Kembangkan Konflik di Papua
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid berbicara mengenai tujuan kelompok diduga teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang ditangkap di Merauke, Papua. Dia menyebut kelompok ini ingin mengembangkan konflik di Papua.
Meski begitu, menurut dia, kelompok JAD tidak berkaitan dengan teroris KKB Papua. Sebab, pemahaman keduanya berbeda.
"Tidak mungkin JAD bersatu dengan KKB, karena JAD itu kan Takfiri, mengkafirkan yang tidak sepaham, apalagi yang beda agama, tetapi ingin memanfaatkan konflik supaya lebih besar di sana, kan tujuan teroris kan ingin membuat teror," kata Ahmad Nurwakhid saat dihubungi merdeka.com, Jumat (4/6).
Ahmad Nurwakhid mengatakan, kelompok JAD Merauke terafiliasi dengan kelompok JAD Makassar. Mereka ingin mengembangkan sel-selnya di seluruh Indonesia.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan kelompok terduga teroris di Merauke akan melakukan bom bunuh diri, seperti aksi pasangan suami istri di Makassar. Di antara terduga teroris yang diamankan di Merauke terdapat pasangan suami istri berinisial AP dan IK.
"Semuanya dimungkinkan, artinya semua segala kemungkinan, karena mereka namanya kelompok radikal teroris itu di samping dia ingin memantik, membuat, dan mengembangkan konflik, juga dia melakukan teror," ujar dia.
Sementara itu, pengamat Intelijen Universitas Indonesia Ridlwan Habib melihat ada dua alasan JAD memilih Papua sebagai tempat pelarian atau basis baru. Pertama basis tradisional mereka di Jawa kemudian di Makassar sudah dibongkar Densus 88 Anti Teror.
"Kedua itu mereka juga ingin memancing di air keruh. Dengan membuat teror di Papua, situasi semakin kacau, kan ada KKB di situ harapannya kemudian Papua menjadi kisruh, rusuh di situ, nah makin rusuh itu makin menguntungkan mereka karena mereka ini mempunyai startegi miftahul syiro. Miftah itu adalah kunci. Syiro itu konflik, membuka kunci konflik jadi makin konflik makin baik buat mereka," kata Ridlwan saat berbincang dengan merdeka.com.
Menurut dia, sebelum memilih Papua, pelbagai wilayah pernah dicoba kelompok JAD untuk dijadikan basis kekuatan. Seperti di Kepulauan Halmahera, tetapi digagalkan Densus 88 Anti Teror. Kemudian di Poso, Sulawesi Tengah, juga gagal setelah aparat melakukan operasi besar-besaran.
Pada 2019, kata Ridlwan, kelompok JAD dari Lampung dan Medan juga pernah melarikan diri ke Jayapura, namun tertangkap. Dugaan dia, Papua khususnya di Merauke ini bakal dibikin basis permanen. Faktor kondisi alam yang masih banyak lahan lahan kosong, kemudian daerah-daerah yang sulit dipantau aparat menjadi pertimbangan kelompok ini.
Selain kondisi wilayah yang sulit dijangkau aparat, Ridlwan mengatakan, para pendatang di Merauke menjadi faktor tambahan kelompok ini untuk bersembunyi. Penyamaran mereka terbilang cukup aman meski kader yang direkrut bukan warga Papua asli.
"Papua itu hanya digunakan sebagai wilayah basis sembunyi dan dia mesti nyari tempat-tempat yang banyak pendatangnya di wilayah itu. Jadi mungkin basis yang rahasia. Kalau Poso kan basis sekaligus daerah operasi, mereka menyerang juga. Kayaknya kalau yang Merauke ini atau Papua tempat bersembunyi ya sembari mencari kader baru dan memindahkan kader-kader mereka ke situ tapi setelah dibongkar akan membatalkan rencana itu," tandasnya.
(mdk/gil)