Kasus Terduga Teroris Karyawan BUMN, Waspadai Jaringan Sosial untuk Cegah Radikalisme
Noor Huda berpesan agar masyarakat tidak terpaku pada stereotipe atau subjektivitas yang berlaku di masyarakat.
Jaringan sosial berpengaruh terhadap penanaman ideologi tertentu
Kasus Terduga Teroris Karyawan BUMN, Waspadai Jaringan Sosial untuk Cegah Radikalisme
Densus 88 mengungkap kasus dugaan tindak pidana teroris dengan tersangka DE, Senin (14/8). DE yang dikenal aktif dalam kegiatan di lingkungan rumahnya itu terafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengatakan bahwa jaringan sosial penting ditelusuri untuk mencegah masuknya pemahaman ideologi radikalisme.
Menurut Noor Huda, jaringan sosial berpengaruh terhadap penanaman ideologi tertentu. Jaringan sosial, kata dia, akan dapat mendefinisikan secara kuat afiliasi seseorang yang diduga terlibat kelompok teror.
"Memang jaringan sosial ini yang perlu kita pahami bersama. Lingkup pertemanan, keluarga, saudara, ataupun sekolah seringkali menjadi awal masuk ideologi radikal," ujar Noor Huda.
- Lawan Radikalisme dan Terorisme, Anak Muda Harus Kreatif Galang Perdamaian di Indonesia
- Ditjen Polpum Kemendagri Gelar FGD Penanganan Radikalisme dan Terorisme
- Anak dan Istri Tersangka Terorisme yang Hamil Tua di Bekasi Kini Dibantu Tetangga
- Sebelum Ditangkap, Karyawan KAI Diduga Teroris Berencana Serang Mako Brimob dan Markas TNI
Noor Huda menjelaskan ideologi yang telah tertanam akan bekerja dengan baik apabila seseorang sudah masuk ke dalam jaringan tertentu. Menurutnya, alasan seseorang bergabung dengan kelompok teror adalah karena adanya hubungan kekeluargaan atau pertemanan yang telah terbangun sejak lama.
Pada kasus DE, selain karena adanya jaringan sosial yang kuat, Noor Huda menilai ada keinginan DE untuk memperkuat kehidupannya melalui kajian ilmu agama. Namun, permasalahan yang muncul adalah menimba ilmu agama tersebut dilakukan dengan guru dan jaringan yang salah.
Noor Huda berpesan agar masyarakat tidak terpaku pada stereotipe atau subjektivitas yang berlaku di masyarakat. Tersangka DE, ujarnya, justru dikenal sebagai pribadi yang ramah di lingkungan tempat tinggal.
"Makanya kalau kita fokusnya ke stereotipe, itu akan sering meleset dalam melakukan deteksi karena memang tidak ada stereotip atau ciri-ciri teroris itu yang seperti apa," kata akademisi yang juga aktif sebagai pengamat terorisme itu.
merdeka.com
Anggota JI itu, ucap Noor, membantu masyarakat dengan sukarela mengajar anak-anak. Menurut dia, kemampuan para anggota jaringan teror makin meningkat untuk semakin berbaur dengan masyarakat.
"Berdasarkan hasil wawancara saya dengan beberapa anggota JI, justru mereka malah menjadi tokoh masyarakat di lingkungan tinggalnya," kata Noor Huda.
Dia berpesan agar masyarakat jangan melihat penyebab paham radikal dan teror masuk hanya dari satu dimensi. Sejumlah faktor lain mendasari hal itu terjadi, seperti ekonomi, kedekatan emosional, hingga kekeliruan dalam memperdalam ilmu agama.
"Ke depannya diharapkan masing-masing kita bisa lebih teliti dalam berguru untuk memperdalam agama. Jangan hanya mengambil keterangan dari satu guru saja dan harus curiga jika ada kajian-kajian yang isinya menyalahkan atau mengkafirkan orang yang berbeda dengannya, bahkan sampai ada narasi untuk melawan negara dengan pemerintahan yang sah," pesan Noor.