Kejagung Siapkan Banding Vonis Nihil Heru Hidayat Terkait Korupsi Asabri
Menurutnya, alasan pengajuan banding tersebut antara lain karena putusan Majelis Hakim dinilai tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat. Praktik rasuah yang dilakukan Heru Hidayat telah merugikan negara hingga Rp 39,5 triliun.
Kejaksaan Agung (Kejagung) akan melakukan banding atas putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis nihil terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi PT Asabri.
"Terhadap Putusan Majelis Hakim tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah memerintahkan Penuntut Umum untuk segera melakukan upaya perlawanan banding," kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Rabu (19/1).
-
Kapan Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung? Hendarman Supandji menjabat sebagai Jaksa Agung pada periode 2007-2010.
-
Siapa Aero Aswar? Aero Aswar bukanlah individu biasa; ia merupakan seorang atlet jet ski yang telah meraih banyak prestasi.
-
Kapan kejadian asusila tersebut terjadi? Peristiwa itu terjadi dalam rentang 3-7 Oktober 2023. Saat itu, Hasyim Asyari tengah melakukan kunjungan kerja ke Belanda pada tanggal 03 Oktober – 7 Oktober 2023.
-
Bagaimana Ketua KPU Hasyim Asy'ari diberhentikan? DKPP juga mengabulkan pengaduan pengadu seluruhnya. Hasyim Asy'ari sebelumnya dilaporkan seorang wanita anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda berinisial CAT ke DKPP.
-
Siapa Ki Arsantaka? Ki Arsantaka merupakan putra dari Bupati Onje II, pemimpin Kadipaten Onje (cikal bakal Kabupaten Purbalingga).
-
Kenapa Ketua KPU Hasyim Asy'ari diberhentikan? Dalam sidang digelar oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI pada hari ini, Rabu (3/7), Hasyim Asy'ari dijatuhi sanksi pemberhentian tetap sebagai Ketua KPU RI."Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy'ari selaku ketua merangkap anggota Komisi Pemilihan Umum RI terhitung putusan ini dibacakan," kata Ketua DKPP RI Heddy Lugito dalam sidang pembacaan putusan di kantor DKPP RI, Jakarta Pusat.
Menurutnya, alasan pengajuan banding tersebut antara lain karena putusan Majelis Hakim dinilai tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat. Praktik rasuah yang dilakukan Heru Hidayat telah merugikan negara hingga Rp 39,5 triliun, dengan rincian dalam kasus PT. Asuransi Jiwasraya sebesar Rp16,7 triliun dan PT. Asabri Rp22,78 triliun.
"Yang seharusnya bisa dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa dan negara, di mana putusan sebelumnya pada PT. Asuransi Jiwasraya, terdakwa divonis pidana penjara seumur hidup sementara dalam perkara PT. Asabri yang menimbulkan kerugian negara yang lebih besar, terdakwa tidak divonis pidana penjara," jelas dia.
Lebih lanjut, jika Heru Hidayat dalam perkara PT. Asuransi Jiwasraya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan mendapatkan potongan hukuman, maka terdakwa bisa menerima hukuman yang sangat ringan dan putusan tersebut melukai hati masyarakat Indonesia.
"Bahwa pertimbangan hakim dalam perkara PT. Asuransi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp16,7 triliun dihukum seumur hidup sedangkan dalam perkara PT. Asabri yang merugikan keuangan negara sebesar Rp22,78 triliun tidak dihukum, artinya Majelis Hakim tidak konsisten dalam pertimbangan hakim terhadap terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi namun tidak diikuti dengan menjatuhkan pidana penjara," Leonard menandaskan.
Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memutuskan menjatuhkan vonis nihil atau tidak ada hukuman kurungan penjara, terhadap terdakwa Mantan Komisaris PT Trada Alam Sejahtera, Heru Hidayat atas perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri.
"Pidana yang dijatuhi dalam perkara a quo adalah nihil," kata Hakim Ketua IG Eko Purwanto saat bacakan amar putusan saat sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (18/1).
Vonis hukuman nihil itu diberikan majelis hakim, karena Heru telah mendapat vonis maksimal dalam perkara sebelumnya, yakni perkara dugaan korupsi PT Jiwasraya dengan hukuman pidana seumur hidup.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut meski bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup," ujar Eko.
Meski demikian, hakim tetap menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp12,6 triliun, karena tetap dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah.
Sementara karena hukuman pidana yang diterima Heru dalam perkara sebelumnya telah maksimal. Maka kewajiban uang pengganti yang harus dibayarkan Heru tidak ada pergantian dengan hukuman kurungan apabila tidak mampu membayar.
Kemudian, dalam pertimbangannya majelis hakim turut mempertimbangkan hal yang memberatkan yakni, perbuatan terdakwa merupakan kejahatan extraordinary crime yang artinya korupsi dapat berdampak pada bangsa dan negara.
Kemudian, perbuatan Heru tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan kerugian sebesar Rp22 triliun.
"Sedangkan penyitaan aset hanya Rp2 triliun tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa. Terdakwa merupakan terpidana kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya," kata Hakim Anggota.
Sementara hal yang meringankan, meski dalam persidangan terungkap hal-hal yang meringankan. Namun perbuatan tersebut tidak sebanding dng perbuatan terdakwa, keadaan meringankan patut dikesampingkan.
Dengan demikian karena tuntutan hukuman mati tidak dijatuhi, maka Heru dikenakan vonis berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang -Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Lalu, Heru juga dikenakan melanggar Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Menyatakan terdakwa terdakwa Heru Hidayat terbukti secara bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan satu primer dan TPPU dakwaan kedua primer," ujar hakim.
Reporter: Nanda Perdana Putra/Liputan6.com
(mdk/fik)