Kejaksaan Endus Mafia Tanah pada Proyek Bendungan Paselloreng Wajo, Negara Rugi Rp75,6 Miliar
Kejati Sulsel menemukan dugaan mafia tanah dalam pembangunan Bendungan Passeloreng di Kabupaten Wajo yang merugikan negara hingga Rp75,6 miliar.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menemukan adanya dugaan mafia tanah dalam proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo. Mereka diduga telah merugikan negara hingga Rp75,6 miliar.
Kejaksaan Endus Mafia Tanah pada Proyek Bendungan Paselloreng Wajo, Negara Rugi Rp75,6 Miliar
Kepala Kejati Sulsel Leonard Simanjuntak mengatakan, setelah melakukan penyelidikan dalam beberapa tahun terakhir, akhirnya pihaknya menaikkan status kasus pembebasan lahan proyek Bendungan Passeloreng menjadi penyidikan. Meski telah menaikkan status, tetapi penyidik belum menetapkan tersangka.
"Perkara ini ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tim penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana. Selanjutnya pada tahap penyidikan akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana."
Kepala Kejati Sulsel Leonard Simanjuntak seusai peringatan Hari Bakti Adhyaksa di Kantor Kejati Sulsel, Sabtu (22/7).
- Kejati Sulsel Geledah BPN Sulsel dan Rumah Pribadi Tersangka, Diduga Korupsi Mafia Tanah
- Mafia Tanah Bikin Resah, 100 Hektare Lahan Warga Jambi Diserobot sampai Pondok Dibakar
- Mantan Mendag M. Lutfi Mangkir Pemanggilan Kejagung Terkait Perkara Mafia Migor
- Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Jadi Tersangka Mafia Tanah Kas Desa, Kerugian Capai Rp2,9 M
Leonard menjelaskan, dugaan tindak pidana korupsi ini berawal pada tahun 2015 saat Balai Besar wilayah sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) melaksanakan pembangunan Fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo. Untuk kepentingan pembangunan Bendungan tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Passeloreng Kabupaten Wajo.
"Bahwa lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo memerlukan lahan/tanah terdiri Lahan yang masih masuk dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Passeloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan hutan HPT," urainya.
Leonard menjelaskan setelah melalui proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan, salah satunya untuk kepentingan pembangunan Bendungan Passelloreng di Kabupaten Wajo, pada tanggal 28 Mei 2019 terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang Perubahan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Hutan Kawasan Hutan seluas kurang lebih 91.337 hektare. "Perubahan fungsi kawasan hutan seluas kurang lebih 84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas kurang lebih 1.838 Ha di Provinsi Sulsel," sebutnya.
Setelah dikeluarkan sebagai kawasan hutan, oknum mafia tanah mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng.
"Ada oknum yang memerintahkan beberapa honorer di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah atau sporadik kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021. Sporadik tersebut diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Pasellorang dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani."
Kepala Kejati Sulsel Leonard Simanjuntak.
"Sehingga dengan sporadik tersebut tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut adalah kawasan hutan," bebernya.
Setelah sporadik tersebut dianggap memenuhi syarat. Selanjutnya dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh Satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut. "Padahal berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2015, terlihat bahwa eks kawasan hutan tersebut merupakan masih kawasan hutan dan bukan merupakan tanah garapan yang di klaim oleh masyarakat," tegasnya "Berdasarkan hal tersebut, lahan itu tidaklah termasuk dalam kategori sebagai lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan," imbuhnya.
Bahwa setelah dinyatakan memenuhi syarat oleh Satgas A dan Satgas B untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian terhadap 246 bidang tanah tersebut, kata Leonard, kemudian dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paseloreng. Selanjutnya diserahkan kepada konsultan jasa penilai publik untuk menilai harga tanah dan tanaman serta jenis dan jumlahnya.
"Namun dalam pelaksanaannya KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel. Kemudian berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut BBWS Pompengan meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai Lembaga yang membiayai pengadaan tanah tersebut," tuturnya.
Setelahnya, LMAN melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seluas kurang lebih 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623. Oleh karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan. "Maka pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75,6 miliar karena pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan, instansi yang memerlukan tanah cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui Gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ucapnya.