Kejati Jatim Usut Penyimpangan Proyek Pengadaan Tanah Politeknik Negeri Malang Rp42,6 Miliar
Atas transaksi tersebut, penyidik Kejati Jatim pun menemukan beberapa indikasi penyimpangan.
Negoisasi harga tanah dilakukan sendiri oleh Direktur Polinema.
Kejati Jatim Usut Penyimpangan Proyek Pengadaan Tanah Politeknik Negeri Malang Rp42,6 Miliar
- Sempat Ditolak, Kini Pemerintah Jadikan APBN Sebagai Jaminan Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
- Emak-Emak Ini Tega Tipu Banyak Orang dengan Janji Bisa Kerja di Jepang
- Terjerat Korupsi DAK Rp8,2 miliar, Mantan Kadis Pendidikan Jatim Ditahan Kejaksaan
- Membongkar Kejanggalan Proyek BTS 4G Bakti Kominfo di Meja Hijau
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati) Jatim diam-diam melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi penyimpangan pengadaan tanah Politeknik Negeri Malang (Polinema). Tak tanggung-tanggung, proyek yang tengah disidik Kejaksaan ini bernilai Rp42,6 miliar lebih.
Penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah Polinema ini diketahui berjalan berdasarkan surat perintah Penyelidikan Nomor: Print 1929/M.5.1/Fd.1/11/2022 tertanggal 2 November 2022 naik ke tahap Penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Print1793/M.5/Fd.1/12/2023 tertanggal 5 Desember 2023.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim Mia Amiati pun membenarkan adanya penyidikan kasus dugaan korupsi di Polinema tersebut. Ia menyatakan, jika penyidikan kasus itu terkait tentang penyimpangan pengadaan tanah Polinema.
"Terkait tentang penyimpangan pengadaan tanah Polinema tahun 2020 dan Pemanfaatan Aset Politeknik Negeri Malang," ujarnya, Rabu (6/12).
Hal senada disampaikan oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim Windhu Sugiarto. Ia menjelaskan, bahwa Polinema hendak melakukan perluasan kampus. Oleh karenanya, Direktur Polinema periode 2017-2021, membentuk panitia pengadaan tanah.
Namun, panitia pengadaan sebagian besar tidak bekerja dan berita acara rapat panitia pengadaan, dibuat formalitas dan ditandatangi secara sekaligus. Bahkan, negoisasi harga tanah dilakukan sendiri oleh Direktur Polinema dengan pemilik tanah.
"Berita acara rapat panitia pengadaan, dibuat formalitas dan ditandatangi secara sekaligus dengan tanggal dibuat back date (mundur)," tegasnya.
Dalam transaksinya dengan pemilik tanah, harga disepakati Rp6 juta permeternya dengan luasan tanah mencapai 7.104 m2. Bila dirupiahkan, total harga tanah mencapai Rp42.624.000.000 atau Rp42,6 miliar.
"Atas transaksi tersebut sudah dibayarkan sebesar Rp22.624.000.000 atau Rp22,6 miliar. Namun tidak diikuti dengan perolehan hak atas tanah," pungkasnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan Perda No.RDTR dan PZ No.5 Tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR dan PZ) bagian Malang Utara, bidang tanah yang dibeli oleh Polinema (SHM No. 08917, SHM No. 08918 dan SHM No. 09055) tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk perumahan. Hal itu karena sebagian besar merupakan zona ruang manfaat jalan dan badan air. Mengingat ada bidang tanah yang berbatasan langsung dengan sungai.
Namun, dalam perkara ini Direktur Polinema memerintahkan pembayaran tanah kepada HS (selaku pemilik tanah) tanpa melalui penetapan nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian jasa penilai (appraisal) dan hanya mendasarkan pada surat keterangan harga tanah dari Camat Lowokwaru, untuk lokasi yang berbeda dengan tanah yang akan dibeli Polinema.
"Sebetulnya permintaan appraisal sudah diajukan oleh Polinema dan sudah dilakukan pembayaran uang muka. Namun sebelum hasil appraisal keluar, pembayaran sudah dilakukan sehingga KJPP tidak melanjutkan pekerjaannya. Namun KJPP sudah menghasilkan draft hasil appraisal dengan nilai lebih rendah dari harga yang ditetapkan oleh Polinema," tambahnya.
Atas transaksi tersebut, penyidik Kejati Jatim pun menemukan beberapa indikasi penyimpangan. Diantaranya, pertama penetapan harga tanah tidak berdasarkan penilaian dari Jasa Penilai Publik (appraiser) atas kewajaran harga tanah.
Kedua Polinema melalui Panitia Pengadaan Tanah sudah menunjuk jasa penilai KJPP Satria Iskandar Setiawan dan rekan untuk melakukan penilaian ganti kerugian 28 Desember 2020. Namun pada 30 Desember 2020 telah dilakukan pembayaran berupa uang muka atas tanah sebesar Rp3.873.500.000 atas perintah Direktur Polinema periode 2017-2021 kepada PPK Sdr. Luchis Rubiyanto.
Pembayarannya sendiri dilakukan sebelum penilaian oleh KJPP dan tanpa adanya akta kuasa menjual serta akta
perjanjian pengikatan jual beli dengan notaris. Akta kuasa menjual baru terbit 4 Januari 2021 dan akta perjanjian pengikatan jual beli baru terbit 7 Januari 2021.
Dugaan penyimpangan ketiga yakni, terdapat akta pelepasan hak No.06, 09, dan 12 dengan akta Notaris dari Awan Setiawan selaku kuasa penjual (pihak pertama) kepada Awan Setiawan selaku Direktur Polinema periode 2017-2021 (pihak kedua);
"Keempat, bahwa pelaksanaan pembayaran menggunakan kontrak tahun Jamak (multiyears) tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Kelima, total pembayaran yang telah dilakukan sebesar Rp22.624.000.000 tanpa diikuti denganperalihan hak atas tanah kepada Politeknik Negeri Malang," tegasnya.
Terakhir, Direktur Polinema periode 2017-2021 telah menandatangani akta perjanjian perikatan jual-beli tanah yang memuat klausul pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran oleh Polinema sebesar Rp5 juta per hari keterlambatan sesuai dengan akta perjanjian pengikatan jual beli.
Terkait dengan temuan dugaan penyimpangan itu, penyidik berkesimpulan bahwa pengadaan tanah dalam rangka perluasan kampus polinema tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. 2 Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Umum Pasal 121 ayat 4.