Kelompok Intoleransi Getol Mainkan Isu Sensitif Pecah Belah Bangsa
Penyebaran paham radikalisme hingga perekrutan terorisme beberapa kali terjadi di media sosial.
Masyarakat jangan sumbu pendek gampang terpancing emosi ketika mendapat informasi di media sosial.
Kelompok Intoleransi Getol Mainkan Isu Sensitif Pecah Belah Bangsa, Jangan Sumbu Pendek!
Sebaran konten negatif berupa hoaks dan intoleransi bertebaran di media sosial. Konten seperti itu seringkali menunggangi isu-isu menarik perhatian publik seperti serangan Palestina ke Israel hingga Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rully Nasrullah menjelaskan beberapa penelitian mengungkapkan penyebaran paham radikalisme hingga perekrutan terorisme beberapa kali terjadi di media sosial.
Kelompok ini, kata Ruly, melakukan profiling untuk menggaet simpatisan baru dengan menunggu momen yang tepat untuk melempar sebuah isu yang dibungkus dengan kebohongan.
- Lawan Radikalisme dan Terorisme, Anak Muda Harus Kreatif Galang Perdamaian di Indonesia
- Kasus Terduga Teroris Karyawan BUMN, Waspadai Jaringan Sosial untuk Cegah Radikalisme
- Ditjen Polpum Kemendagri Gelar FGD Penanganan Radikalisme dan Terorisme
- Pentingnya Menangkal Konten Radikalisme di Media Sosial
Menurutnya, baik Pemerintah maupun berbagai lembaga non-pemerintah selalu menyuarakan agar masyarakat berhati-hati dengan berita bohong. Persoalannya penerimaan berita bohong yang sampai pada seseorang akan sangat bergantung pada orang itu sendiri.
"Menurut saya, mudah saja kalau kita mau mencari studi tentang bagaimana agar kita bisa resisten dengan berita bohong dan intoleransi. Materi-materi tersebut saat ini sudah semakin mudah kita dapat melalui internet."
Akademisi Rully Nasrullah
merdekacom
Pada beberapa kasus, lanjut Rully, generasi muda menjadi lebih mudah meyakini berita bohong dan intoleransi karena konten negatif itu masuk melalui lingkaran pergaulan.
Terlebih lagi, hoaks atau berita bohong itu lebih sering menyentuh hal-hal yang sensitif, seperti isu SARA (Suku, Agama, dan Ras).
Hal ini memang ditujukan karena dengan hal-hal sensitif tadi, seseorang atau suatu kelompok dari latar belakang tertentu akan lebih mudah dipancing sisi emosionalnya.
Penulis buku berjudul Manajemen Komunikasi Digital ini menerangkan, jika sudah seperti ini maka akan semakin sulit melakukan pendekatan logis untuk mendinginkan suasana. Walaupun demikian, harus ada upaya mencegah orang atau kelompok tertentu yang telah termotivasi melakukan tindakan melawan hukum.
"Kalau saya melihatnya, sejahat-jahatnya orang, kalau agamanya disinggung atau di-framing secara negatif pasti sisi emosionalnya akan muncul. Mudahnya menelan mentah-mentah isu sensitif yang dimainkan kelompok tertentu membuat banyak orang jadi sumbu pendek atau mudah marah dan seolah merasa perlu untuk memberikan reaksi secara cepat."
Rully menambahkan
Dia menambahkan, sebenarnya dari sisi Pemerintah sudah banyak melancarkan upaya penangkalan penyebaran konten hoaks. Di Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), mereka juga merancang etika bermedia sosial yang telah disosialisasikan baik secara online maupun offline.
"Bahkan di banyak media massa skala nasional sudah ikut pelatihan langsung dari Google bagaimana memverifikasi informasi. Jadi fact checker itu sudah dilakukan oleh banyak pihak"
tandas Rully yang gencar mengingatkan generasi muda tak mudah termakan informasi bohong.