Menghindari Radikalisasi di Media Sosial dengan Berpikir Kritis
Berpikir kiritis dan logis mutlak dalam mencerna dan menyimpulkan konten yang tersebar luas di media sosial.
Radikalisasi terjadi ketika seseorang telah merasa sesuatu hal benar tanpa mencari tahu betul latar belakang informasi tersebut.
Menghindari Radikalisasi di Media Sosial dengan Berpikir Kritis
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengingatkan warga menghindari radikalisasi di media sosial dengan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kiritis dan logis mutlak dalam mencerna dan menyimpulkan konten yang tersebar luas di tengah derasnya arus informasi. "Seharusnya kalau orang mengakses media sosial, akses informasi menjadi tidak terbatas, dan pada akhirnya bisa memiliki wawasan luas dan mampu melihat dari berbagai perspektif, tetapi faktanya tidak demikian, justru malah sebaliknya," kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, dikutip Jumat (4/8).
Pentingnya Mencari Tahu Latar Belakang Informasi
Septiaji mengatakan, ketika seseorang telah merasa sesuatu hal benar tanpa mencari tahu betul latar belakang informasi tersebut, cenderung menutup diri dari informasi lain di luar yang dia anggap benar itu. Menurut dia, pada kondisi itulah, radikalisasi terjadi.
Orang Fanatik Terhadap Informasi Cenderung Mudah Terpapar
Seseorang yang telah fanatik terhadap suatu informasi, kemungkinan besar akan percaya dengan apapun yang disajikan oleh pemasok informasi itu. "Orang yang terpapar akan cenderung menolak berita dari kelompok lain. Itulah yang disebut dengan echo chamber effect," kata Alumnus Technische Universitaet Muenchen ini.
Tips Mengindari Radikalisasi
Sebagai solusinya, Septiaji mendorong tiga hal. Pertama adalah berperilaku pintar dalam menelaah informasi, yakni selalu seleksi informasi yang diterima: fakta atau fiktif, serius atau tidak, serta bersumber otoritatif dan kredibel atau justru sumbernya tidak jelas.
Kedua adalah guyub. Menurut Septiaji, apabila masyarakat bisa guyub dengan orang lain, maka dia akan sering berinteraksi dengan berbagai kalangan. "Meskipun dia punya keyakinan yang sangat kuat, dia juga terlatih untuk menghargai perbedaan terhadap orang lain," tambah dia. Sementara itu, solusi ketiga menurut Septiaji adalah guyon. Menurutnya, seseorang senang berkelakar cenderung memiliki imunitas kuat dan kebal dari upaya radikalisasi. "Kalau misalnya dia terbiasa berkumpul dengan orang lain dan juga bercanda, maka upaya radikalisasi itu akan sering bertemu dengan jalan buntu," ujar Septiaji.
Kaum Muda Harus Bersikap Rasional
Kepada kaum muda, Septiaji berharap agar mereka bisa bersikap rasional dalam menanggapi sebuah informasi. Rasionalitas, ucapnya, ditandai dengan bagaimana seseorang sadar diri untuk melakukan pengecekan pada sumber informasi pembanding. Selain itu, dia juga mendorong generasi muda Indonesia untuk memperbanyak produksi konten media sosial yang moderat. Hal itu bertujuan menekan masifnya konten radikal di internet.
Berpikir Kritis Kaum Muda Perlu Ditingkatkan
Dia menambahkan kemampuan berlogika dan berpikir kritis kaum muda Indonesia perlu ditingkatkan agar tidak terjebak dalam ruang gema (echo chamber) media sosial yang membahayakan. "Saya rasa kemampuan berlogika dan berpikir kritis masih sangat kurang di generasi muda kita. Perlu rasanya kita bisa memahami kesalahan-kesalahan dalam berlogika, sehingga dapat meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis," kata Septiaji.