Kemendes bantah perekrutan pendamping dana desa tak transparan
'Kami melakukan proses secara transparan dan sesuai aturan'
Sejumlah perwakilan dari Aliansi Pendamping Profesional Desa Jawa Barat melakukan aksi demonstrasi di depan Istana Kepresidenan. Mereka menuntut transparansi dalam melakukan rekrutmen petugas pendamping desa yang dianggap terjadi politisasi oleh kelompok tertentu.
Selain melakukan aksi unjuk rasa dalam kesempatan itu, perwakilan massa pendamping dana desa juga diterima oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Pihak Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) membantah tudingan tersebut. Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa PDTT, Ahmad Erani Yustika mengatakan, proses rekrutmen selama ini dilakukan secara transparan dan sesuai aturan.
Menurutnya, selama ini seleksi dilakukan dengan benar dan profesional tanpak ada tebang pilih dalam perekrutan tersebut. "Kami melakukan proses rekrutmen secara transparan. Dengan transparansi itu, kami berharap seluruh proses itu bisa dikawal, bisa dimonitor dengan bagus pada masing-masing jenjang," ucap melalui keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (23/3)
Dia juga menegaskan jika ada petugas yang 'bermain' dalam proses seleksi tersebut, pihaknya akan diberi sanksi tegas. "Kami mengatakan siapapun pihak yang bersalah dalam proses seleksi itu harus dikenai sanksi atau pinalti karena tidak mengikuti aturan main," ujar Erani.
Terkait dengan adanya tudingan yang menyebut bahwa rekrutmen pendamping desa diutamakan berasal dari partai atau ormas tertentu, Erani juga membantahnya. Pasalnya, dalam aturan, seorang pendamping desa harus bebas dari kegiatan politik apapun. Bila ada yang terlibat dalam kegiatan politik, maka pihaknya tidak segan untuk melakukan pemecatan.
"Di dalam kode etik pendamping desa, kalau terbukti dia berafiliasi dan terlibat dalam aktivitas politik maka dia akan langsung dipecat. Jadi kalau dia masuk struktur partai dia akan langsung dipecat. Jadi aturan mainnya tidak diperbolehkan aktif di politik," kata Erani.
Menurutnya kabar adanya politisasi dalam proses rekrutmen petugas pendamping dana sudah ada sejak lama, sebelum massa dari Aliansi Pendamping Profesional
Desa Jawa Barat menyampaikan tuntutanya ke Istana. Kabar itu pun juga pertama kali di akui berasal dari wilayah Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Sukabumi.
"Pada bulan Oktober tahun lalu, di Sukabumi ada muncul surat seseorang yang mendaftar proses seleksi diminta untuk menandatangani surat kontrak dengan DPC Sukabumi salah satu parpol. Kami saat itu langsung komunikasi. Saat itu responsnya orang yang bersangkutan tidak pernah melakukan kontrak itu. Karena tidak pernah kita minta DPC yang dicatut namanya melaporkan ke polisi. Itu kan mudah sekali dianggap kebenarannya di lapangan," kata dia.
Dia mengklaim semua tahapan seleksi berlangsung transparan dan akuntabel. "Penyelenggara seleksi provinsi harus mengumumkan selama 7 hari di media massa lokal di website. Banyak aturan main kita buat termasuk nanti ketika seleksi untuk masing-masing pendamping," katanya.
"Nah proses seleksi dibagi tiga tahapan, seleksi administrasi, tulis, wawancara. Semua bisa dilacak sehingga masing-masing pihak hasil proses seleksi bisa ketahuan. Untuk yang dilaporkan Ombudsman akan mudah ketahuan, ada yang misalnya lolos dikontrak padahal umur lebih ketentuan, dengan mudah dicoret dan ditelisik siapa melakukan kesalahan," kata Erina