Kementerian PPPA bersama JalaStoria Tingkatkan Upaya Kesadaran Seksual dan Perlindungan Hak Perempuan
Salah satu langkah konkret yang diambil adalah menegaskan bahwa pernikahan dini tidak boleh terjadi di bawah usia 21 tahun.
Hal itu dilakukan dalam rangka implementasi jalannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Kementerian PPPA bersama JalaStoria Tingkatkan Upaya Kesadaran Seksual dan Perlindungan Hak Perempuan
Kementerian PPPA bersama JalaStoria Tingkatkan Upaya Kesadaran Seksual dan Perlindungan Hak Perempuan
Dalam rangka implementasi jalannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), perkumpulan JalaStoria Indonesia bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyelenggarakan seminar Peta Jalan Kerangka Kerja UU TPKS, pada Kamis (16/11).
Bermacam upaya digagaskan berbagai pihak, guna membina wanita terkait dengan aspek seksualitas, hak ibu hamil, dan pencegahan pernikahan dini.
- Kronologi Lengkap Penetapan Tersangka Ketua KPK Firli Bahuri
- Kondisi Terkini Rumah Mentan Syahrul Yasin Limpo yang Digeledah KPK
- Kementerian PPPA: Dalam 18 Bulan Terjadi 15.000 Lebih Kekerasan Terhadap Perempuan
- Kronologi Pelecehan Seksual Anggota Polisi terhadap Tahanan Perempuan di Rutan Polda Sulsel
Salah satu langkah konkret yang diambil adalah pernikahan dini tidak boleh terjadi di bawah usia 21 tahun. Walaupun dalam Undang-Undang yang mengatur usia minimal perempuan untuk menikah adalah 19 tahun. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi angka pernikahan usia muda yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan ibu dan anak.
"Remaja harus diedukasi tentang seksualitas. Pernikahan dini juga itu tidak boleh menikah dibawah 21 tahun,"
ungkap Marinus secara virtual, Kamis (16/11).
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menyoroti pentingnya terhindar dari penyalahgunaan zat adiktif (napza/narkoba) sebagai bagian dari upaya melindungi hak-hak perempuan, terutama dalam konteks kehamilan.Selain itu, istilah "tuna" diganti dengan "disabilitas" untuk menciptakan pemahaman yang lebih inklusif terhadap individu dengan berbagai tantangan fisik maupun kognitif.
Terkait dengan kekerasan seksual, khususnya terhadap teman-teman tuli selama pelaksanaan TPKS, diperlukan pendekatan edukatif dari berbagai instansi, serta integrasi teknologi untuk memastikan keamanan dan perlindungan.
Dalam upaya menyediakan dukungan sosial, hukum, dan psikologi, terdapat rencana pada tahun 2024 untuk memperluas layanan sosial. Layanan konseling juga akan menjadi fokus penting, memberikan dukungan emosional dan psikologis kepada individu yang membutuhkan.“Rencana kami memiliki layanan sosial hukum dan psikologi, menyediakan pekerjaan sosial sebanyak 34 orang, konseling," ujar Dika.
Kementerian Dalam Negeri juga turut menyampaikan komitmennya dalam mendukung program-program tersebut, pertama melalui Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) untuk melindungi hak-hak perempuan, membangun masyarakat yang lebih sadar dan terlindungi secara holistik.