Ketua MKMK Ingin Batalkan Putusan MK Tambah Syarat Capres dan Cawapres, Tapi Apa Bisa?
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengaku belum yakin dapat membatalkan putusan MK.
Jimly mengakui ingin membatalkan putusan tersebut
Ketua MKMK Ingin Batalkan Putusan MK Tambah Syarat Capres dan Cawapres, Tapi Apa Bisa?
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengaku belum yakin dapat membatalkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres dan cawapres.
Menurutnya, MKMK hanya bertugas untuk menegakkan kode etik hakim konstitusi. Maka dari itu, ia merasa heran jika dirinya diminta untuk menilai putusan MK.
"Kalau Anda tanya apakah saya sudah yakin, saya belum yakin. Kita ini ditugasi menegakkan kode etik perilaku hakim. Kok kita disuruh menilai putusan MK, itu bagaimana?" kata Jimly kepada wartawan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/11).
Meski demikian, Jimly mengakui ingin membatalkan putusan tersebut.
Namun, ia meminta para Pelapor dugaan pelanggaran etik untuk meyakinkan dirinya saat sidang dengan argumen-argumen yang logis.
"Intinya pertama, bagaimana Anda meyakinkan lembaga penegak kode etik, mengurusi perilaku para hakim, lalu membatalkan putusan," ujar Jimly.
"Saya sih mau saja tapi kalau ngawur-ngawur, sekadar emosi, sekadar ini kan nggak bisa. Harus dipertanggungjawabkan secara benar, secara hukum," sambung Jimly.
Bukti Lengkap
Meski demikian, terkait laporan dugaan pelanggaran etik, Jimly menyebut bukti-buktinya sudah lengkap.
Namun, ia masih akan terus melakukan sidang guna menemukan fakta-fakta baru.
"Kami sebenarnya sudah lengkap, bukti-bukti sudah lengkap. Cuma kan kita tidak bisa menghindar dari memeriksa mengadakan sidang untuk pelapor yang belum kita dengar. Siapa tahu ada hal-hal baru," ucap Jimly
Di sisi lain, Jimly mengatakan, hakim konstitusi dilarang untuk membocorkan hal-hal yang terjadi selama Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Menurutnya, hal ini juga bisa menjadi salah satu pelanggaran etik hakim MK.
"Itu termasuk masalah, nggak boleh itu. Ini kan harus kolektif kolegial, bersembilan dan masing-masing adalah tiang keadilan, tiang kebenaran konstitusional," kata Jimly.
Jimly menilai, seharusnya para hakim berdebat secara dewasa saat RPH berlangsung. Jadi, ketika hasil putusna sudah final, para hakim bisa menerimanya secara lapang dada dan tak ada yang merasa dirugikan hingga berani membocorkan isi RPH.
"Itu sembilan hakim ini sendiri-sendiri ya ngotot silakan atas nama aspirasi pendapat rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat. Tapi kalau sudah putus, Anda harus bersatu. Jadi tidak boleh sembarangan, jangan baperan," ujar Jimly.