Mahfud: Putusan MK Inkrah dan Harus Diikuti walau Ada Pelanggaran Etik Hakim
"Putusannya bersifat final dan mengikat, selesai, tidak ada bandingnya. Nah pak hakimnya korupsi? Hakimnya melanggar etik? Adili," kata Mahfud.
Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah menggelar sidang dugaan pelanggaran etik hakim MK. Namun, putusan yang telah dibuat para hakim yang tengah disidang itu sudah final dan mengikat serta harus diikuti.
Mahfud: Putusan MK Inkrah dan Harus Diikuti walau Ada Pelanggaran Etik Hakim
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md seusai Ngopi Bareng Menko Polhukam di The Rinra Hotel, Rabu (1/11) malam.
Mahfud meminta semua pihak menahan diri sembari menunggu sidang etik MKMK terkait putusan batas usia calon presiden dan wakil presiden. Sidang etik dipimpin Jimly Asshiddiqie. "Itu kan sedang diperiksa oleh mahkamah kehormatan. Jadi biar saja MKMK nanti yang memberi tahu kepada kita," ujar bakal cawapres pendamping Ganjar Pranowo itu.
Mantan Ketua MK ini menyebut jika ditemukan pelanggaran etik dalam proses pengambilan putusan maka perlu diberikan hukuman. Hal sebaliknya, kata Mahfud, juga perlu dibuktikan.
"Apa yang terjadi dan apa hukumannya kalau perlu ada hukuman," tuturnya.
Pada kesempatan itu, Mahfud menegaskan putusan MK adalah mengikat dan harus diikuti. Ia menjelaskan jika ke depan ada dugaan pelanggaran dilakukan hakim MK, maka jalurnya adalah pengadilan etik.
"Putusan MK itu mengikat, putusannya begitu, mengikat harus diikuti. Kalau proses membuat putusan itu melanggar etika, itu ada pengadilan etikanya," tutur Mahfud.
Mahfud menjelaskan soal Pasal 24C Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan MK adalah lembaga yang mengadili sengketa dan putusannya adalah inkrah atau final. Ia menegaskan tidak ada lagi putusan di atas putusan MK.
"Putusannya bersifat final dan mengikat, selesai, tidak ada bandingnya. Nah pak hakimnya korupsi? Hakimnya melanggar etik? Adili," kata Mahfud.
Mahfud pun mencontohkan adanya hakim MK yang terjerat kasus suap. Setidaknya ada dua hakim MK yang pernah tersandung masalah suap yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.
"Dulu ada hakim sekarang sedang dipenjara, Ketua MK, putusannya salah semua karena suap dari bupati, wali kota, banyak sekali. Dari Kalimantan, Lampung, Banten pakai suap rupanya, tapi putusannya itu mengikat. Terus hakimnya yang melanggar hukum itu masuk penjara. Putusan hakim itu harus dianggap benar kalau sudah diputuskan inkrah," sebutnya.
Mahfud kembali menegaskan putusan MK adalah final dan menyelesaikan perdebatan. Jika ada putusan hakim dianggap curang atau dianggap tidak berlaku maka tidak akan pernah ada putusan final.
"Oleh sebab itu, putusan itu mengikat, hakimnya tangkap, hakimnya adili. Nah seperti sekarang ada pengadilan etik, kita lihat saja seperti apa hukumnya kalau saudara anggap itu politik dinasti, anggap karena ada intervensi, kita tidak tahu benar tidaknya karena sedang diperiksa oleh Pak Jimly," pungkasnya