Kisah-kisah para menteri & politikus yang hidup sederhana
Mereka tak merasa istimewa meski namanya disebut dan dipilih secara pribadi oleh Presiden Soekarno.
Tertangkapnya politikus PDIP Adriansyah saat akan menerima uang suap membuat publik tersentak. Bagaimana tidak, penangkapan itu berlangsung di tengah Kongres yang masih berlangsung. Pimpinan hingga pengurus pun menolak memberikan bantuan hukum.
Tak berselang lama, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus kuota Haji pada 2013 lalu. Rentetan peristiwa itu menambah daftar panjang pejabat dan politikus yang tersangkut kasus korupsi. Sebelumnya, KPK telah menangkap Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, Emir Moeis dan lain-lain.
Kondisi ini jauh berbeda ketika Indonesia baru mengumandangkan kemerdekaannya dari Belanda. Ketika itu, para menteri dan politikus enggan memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi. Jika perlu, mereka tetap tinggal di rumah reyot atau kontrakan.
Para pejabat dan politikus ini benar-benar berjuang untuk rakyat. Mereka tak merasa istimewa meski namanya disebut dan dipilih secara pribadi oleh Presiden Soekarno. Alhasil, seluruh hidupnya benar-benar didedikasikan bagi negara dan bangsanya.
Berikut kisah-kisah para menteri & politikus yang hidup sederhana yang dirangkum merdeka.com:
-
Apa yang menjadi salah satu solusi untuk kemacetan di Jakarta? Wacana Pembagian Jam Kerja Salah satu ide yang diusulkan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono adalah pembagian jam masuk kerja para pekerja di Jakarta. Menurutnya, cara itu bisa mengurangi kemacetan hingga 30 persen.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kapan Kota Tua Jakarta didirikan? Sejarah Kota Tua Jakarta berawal pada 1526, ketika Fatahillah, seorang komandan dari Kesultanan Demak, menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan milik dari Kerajaan Pajajaran.
-
Kapan Kota Tua Jakarta dibangun? Kota ini hanya seluas 15 hektare dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Kemudian di tahun 1619, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, Jayakarta pun dihancurkan. Setahun kemudian, kota baru bernama Batavia dibangun oleh VOC untuk menghormati Batavieren, yaitu leluhur bangsa Belanda.
-
Apa fungsi utama Gedung Kesenian Jakarta saat ini? Saat ini, gedung tersebut masih aktif digunakan sebagai lokasi pertunjukkan seni khas nusantara maupun luar negara.
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
Dagang beras di Glodok
KH Saifuddin Zuhri yang dikenal sebagai pejuang, pemuka agama sekaligus pendidik terkemuka. Di era Bung Karno, Saifuddin Zuhri sempat diangkat sebagai Menteri Agama, namun hidupnya tetap sederhana meski memiliki diberikan jabatan tinggi.
Sejak kecil Saifuddin telah diajarkan hidup bersahaja dalam kesederhanaan. Bagaimana tidak, ibunya hanya seorang perajin batik sedang bapaknya seorang petani. Padahal kedua orang tuanya, Muhammad Zuhri dan Siti Saudatun, adalah anak dari pemuka agama yang terkenal di Banyumas, Jawa Tengah.
Latar belakang kedua orang tuanya juga membuat Saifuddin banyak menerima ilmu agama. Sejak kecil dirinya sudah disuapi pendidikan agama hingga besar. Hingga kemudian di umurnya yang ke-17 tahun, Saifuddin meninggalkan Banyumas dan hijrah ke Solo.
Di Solo dirinya sempat berpindah-pindah sekolah karena mulai aktif di dunia jurnalistik. Dari pengalamannya menulis ini, berbagai artikel, berita dan buku sudah dia terbitkan. Bukan hanya aktif menulis, pemuda dari Gerakan Pemuda Anshor tersebut juga ikut angkat senjata dengan pasukan Hizbulllah bersama Jenderal Sudirman di pertempuran Ambarawa. Negara pun memberikan Tanda Kehormatan Bintang Gerilya kepadanya.
Jabatan di lembaga Islam dan pendidikan hingga jurnalis membuat namanya semakin dikenal orang. Puncaknya, Bung Karno memintanya menjadi Menteri Agama menggantikan KH Wahib Wahab yang mengundurkan diri.
"Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama," ujar Bung Karno ketika itu.
Di jabatan strategis ini dirinya diuji, suatu kali adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) dari Departemen Agama. Meski sebenarnya lazim menghajikan orang yang potensial apalagi pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan adiknya.
"Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tetapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.
Tak hanya itu, selepas menjadi Menteri, Saifuddin tetapa berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang halal dan bersahaja. Dikutip dari buku "Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU" karangan Saifullah Ma'shum, jika banyak mantan menteri bergelut dalam bisnis yang prestise, justru Saifuddin memilih menjalani profesi sebagai pedagang beras di Glodok.
Sehabis shalat Dhuha, tanpa pengetahuan keluarganya, Saifuddin ke pasar Glodok berdagang beras. Selepas Zuhur, baru dirinya pulang. Kebiasaan menghilang ini dicurigai anak-anak Saifuddin. Sampai akhirnya salah satu anaknya mengelus dada karena ayahnya ketahuan berdagang beras di Pasar Glodok.
Jahit lubang baju sebelum ke istana
Akibat berniat memiliki gaya hidup mewah, korupsi di kalangan politisi pun merebak. Korupsi menyergap politisi baik dari partai berhaluan nasionalis maupun berhaluan agama. Ironi yang sungguh memprihatinkan.
Adalah Prawoto Mangkoesasmito, profil politisi dan pejuang yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan negara dan kesejahteraan rakyatnya. Prawoto tak pernah menjadikan politik sebagai alat mengeruk uang demi kepentingan pribadi maupun partai politik.
Dalam sebuah tulisan untuk mengenang Prawoto, rekannya di Masyumi, M Roem menyebut sejawatnya itu sebagai 'orang yang selamanya hidup sederhana, orang yang tak pernah meminta, orang yang hanya belajar memberi dan mengasih,' demikian dikutip dari buku M Roem, Bunga Rampai dari Sejarah.
Prawoto yang lahir di Grabag, Magelang pada 1910 memberikan baktinya pada negara dalam berbagai posisi dan kedudukan di legislatif maupun eksekutif. Prawoto pernah menjabat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP, Wakil Perdana Menteri di era Mr Assaat sebagai Perdana Menteri. Dia juga pernah menduduki anggota DPR dan wakil ketua I Konstituante. pAda masa perang mempertahankan kemerdekaan, Prawoto tak lupa turun ikut bergerilya.
Pergolakan politik pada akhir 1950-an memaksa Prawoto menduduki posisi sebagai ketua umum Partai Masyumi. Saat itu, tokoh tokoh Masyumi termasuk M Natsir banyak yang bergerak di luar Jakarta akibat pertentangan dengan Presiden Soekarno.
Konflik politik itu pula yang membuat Presiden Soekarno membubarkan Masyumi dan menahan tokoh tokohnya termasuk Natsir dan Prawoto.
Sebuah cerita tentang kesederhanaan Prawoto dituturkan putrinya Sri Sjamsiar Prawoto Issom seperti dikutip dari buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito karangan SU Basajut.
Saat itu menjelang pembubaran Masyumi, Prawoto dan tokoh tokoh partai politik lain Subadio Sastrosatomo dan Sutan Sjahrir dipanggil ke Istana oleh Presiden Soekarno. Malam harinya, Prawoto meminta putrinya untuk menisik (menambal lubang) di kerah baju koko putih miliknya. Keesokan harinya di istana, para undangan lain mengenakan setelan jas, dasi dan bersepatu, tetapi Prawoto hanya mengenakan sarung, baju koko tua, peci dan sandal kulit. Terbayangkah hal seperti itu terjadi sekarang?
Prawoto meninggal dunia saat tengah berkunjung menemui umatnya di Banyuwangi. Dia tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, melainkan di pemakaman Blok P Jakarta Selatan di sisi makam sahabatnya KH Faqih Usman. Pemakaman itu digusur untuk gedung wali kota Jakarta Selatan pada pertengahan 1990-an sehingga makam Prawoto dipindahkan ke TMP Kalibata.
Dalam kenangannya tentang Prawoto, M Roem menulis kalimat yang menyentuh. "Kita kehilangan seorang pemimpin besar. Dapatkah kita mengisi tempat yang ditinggalkannya itu?"
Tolak pakai mobil meski istri mau melahirkan
Meski Siauw Giok Tjhan merupakan pria keturunan Tionghoa, kondisi itu tak membuat Bung Karno berpikir dua kali untuk mengangkatnya menjadi seorang menteri. Apalagi, sejak muda, Giok Tjhan ikut berjuang untuk Indonesia seperti warga pribumi lainnya.
Giok Tjhan sangat menentang diskriminasi. Berbekal keahlian kungfu dari kakeknya, dia nekat berkelahi dengan anak-anak Belanda, Indo dan Ambon karena sering menghinanya. Keteguhan itulah membuatnya terus memperjuangkan keadilan ketika tumbuh di dalam lingkungan hidup yang keras.
Giok Tjhan berpendapat, bangsa Indonesia atau ras Indonesia tidak ada. Baginya, yang ada hanyalah 'Nation' Indonesia. Tjhan berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari 'Nation' Indonesia.
Meski berasal dari bangsa Tionghoa, Tjhan dikenal hidup sederhana. Kondisi ini nampak jelas saat dia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Minoritas di masa kabinet Amir Syarifudin.
Sebagai negara yang belum lama merdeka dan masih mendapat rongrongan balatentara Belanda, Tjhan belum mendapatkan mobil dinas sebagai mana layaknya pejabat negara. Untuk menjalani tugasnya, dia selalu naik andong (kereta kuda) setiap menuju Istana.
Sayang, andong yang digunakannya dilarang masuk ke dalam Istana. Dia pun terpaksa berjalan kaki dari jalanan ke dalam Keraton Yogyakarta.
Tak cuma mobil dinas, dia pun tidak mendapatkan rumah dinas sebagai tempat tinggalnya selama menjabat. Pemerintah pun mempersilakan para menterinya untuk tinggal di Hotel Merdeka. Demi menghemat keuangan negara, Tjhan menolaknya.
Kepada Amir, Tjhan memilih tinggal di gedung kementerian negara di Jalan Jetis, Yogyakarta. Meski pilihannya itu membuat dia tidur di atas meja tulis. Setiap menjalani kerjaannya, sehari-hari Tjhan hanya mengenakan kemeja lengan pendek, biasanya berwarna putih, di sambungkan dengan celana drill pentalun serta sepatu sandal.
September 1947, istrinya Tan Gien Hwa gendak melahirkan anak ke-4 di Malang. Adik satu-satunya, Siauw Giok Bie berniat memakai mobil untuk mengantarkan Tan ke rumah sakit. Dengan tegas, Tjhan menolak permintaan itu.
Penolakan itu bukan tanpa sebab, apalagi Mobil Palang Biru merupakan organisasi Angkatan Muda Tionghoa yang berdiri untuk menolong para pejuang yang terluka saat melawan agresi militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik becak, Tan Gien Hwa bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat.
Tidur di rumah kontrakan hingga akhir hayat
Satu pahlawan dengan teladan kesederhanaan yang tak bisa dilupakan dalam perjuangan bangsa ini adalah SK Trimurti atau lengkapnya Surastri Karma Trimurti. Istri dari Sayuti Melik ini mengawali pengabdiannya menjadi pengajar, tetapi dirinya lebih terkenal sebagai jurnalis di Indonesia.
Sebelum era kemerdekaan, dia adalah jurnalis dengan pena yang tajam. Tak jarang dia sering keluar masuk bui. Meskipun kerap bolak-balik masuk penjara dan mengalami siksa sampai harus melahirkan anak pertamanya di balik jeruji besi, tangan Trimurti tidak pernah berhenti menulis.
Pada saat aktif di Partai Buruh Indonesia, 18 bulan setelah merdeka Trimurti mendapat tawaran menjadi menteri. Trimurti ditawari untuk masuk ke dalam kabinet dan menjadi menteri tenaga kerja pada era 1947-1948. Trimurti saat itu ditawari sebagai menteri oleh Setiajid, salah satu anggota formatur kabinet yang juga rekan separtai. Pertama, ajakan menjadi menteri dijawab spontan, tidak!
"Saya merasa tidak mampu, saya belum pernah menjadi menteri," kata Trimurti dikutip dari buku SK Trimurti, wanita pengabdi bangsa karya Soebagijo IN terbitan PT Gunung Agung. Mendengar jawaban Trimurti, Setiajid menukas. "Bung Karno juga belum pernah menjadi presiden." Semalaman Trimurti berpikir sebelum menerima jabatan sebagai menteri. Bagi Trimurti, jabatan adalah harus bisa dipertanggungjawabkan, tidak bisa asal diambil karena menjanjikan kedudukan. Posisi sebagai menteri dijalani Trimurti dengan penuh pengabdian meskipun kondisi bangsa yang semrawut dalam bidang politik dan ekonomi akibat rongrongan Belanda.
Selepas berhenti dari jabatannya, Trimurti kembali ke bangku kuliah. Tetapi, di saat mereguk nikmatnya kebebasan pendidikan Soekarno menawari Trimurti untuk menjadi menteri sosial pada tahun 1959. Tak tergiur dan tak ingin dianggap haus kekuasaan, Trimurti menolak. Dia lebih memilih tetap menjalani kehidupan sebagai mahasiswa ekonomi di UI.
Berbeda dengan kehidupan mantan menteri di zaman sekarang ini, Trimurti selama sisa hidupnya terang-terangan menolak semua pemberian dan fasilitas negara. Padahal itu adalah haknya.
Jika ada mantan menteri yang merasakan berbagai macam penderitaan demi kemajuan bangsa dan negaranya, salah satunya adalah SK Trimurti. Suka duka silih berganti, keluar masuk penjara, hidup melarat, dikejar-kejar musuh, berpisah dengan keluarga menebalkan semangat pengabdian SK Trimurti pada bangsa dan negaranya.
Trimurti adalah sosok pejuang yang tidak pernah setuju dengan ungkapan: tujuan menghalalkan setiap sarana (Het doel, heilight de midellen). Sebab kalau begini, orang bisa menyiksa, mengkhianati orang lain, mencelakakan orang lain demi tujuan pribadi atau golongan.
Dengan kesederhanaan dan keterbatasan ekonomi Trimurti menjalani hidupnya hingga berhenti di ujung umur yang ke 96. Penyakit tekanan darah tinggi dan gangguan hemoglobin merenggut nyawanya. Trimurti meninggal di RSPAD Gatot Soebroto. Sebelum meninggal, Trimurti tinggal di rumah kontrakan yang sempit di Bekasi.
Di rumah kontrakannya, di antara deretan foto-fotonya bersama keluarga, terdapat sebuah lukisan yang paling besar bergambar Bung Karno menyematkan Bintang Mahaputra tingkat V padanya.
Kepada Trimurti, Soebagijo IN mengutipkan terjemahan syair dari Henriette Roland Horst. "Bukanlah kami pembina bangunan candi, kami hanyalah pengangkut batu. Kami adalah angkatan yang harus punah, agar dari kubur kami tumbuh angkatan yang lebih megah." Trimurti juga tidak pernah mengaku sebagai pembina bangunan candi, tetapi tak bisa dipungkiri sejarah, dia dan pejuang lainnya ikut mendirikan dan membangun perumahan yang kini bernama Republik Indonesia.
Lebih suka ndeso daripada pakai pakaian mewah
Kedudukannya di masyarakat sangat tinggi. Dia sahabat dekat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Dia adalah pemimpin organisasi Islam besar Muhammadiyah. Meskipun memiliki kedudukan tinggi, KH Mas Mansur tetap lekat dengan kesederhanaan yang mengagumkan.
Gaya berpakaian Mas Mansur memang berbeda dengan pemimpin lain. Jika pemimpin lainnya mengenakan jas mewah, Mas Mansur lebih suka pakaian sederhana dan sarung. Sabuknya juga memiliki kantong. Suatu ketika, wartawan Jepang Kanzo Tsutsumi bertanya kepada Mas Mansur mengapa suka berpakaian gaya ndeso, meskipun kedudukannya sudah tinggi.
Mas Mansur tertawa dan menjawab: "Memang pakaian saya ini selalu menjadi soal hingga kawan-kawan saya akan memberi uang 180 rupiah dan disuruhnya saya membuat jas dan celana yang bagus-bagus. Mungkin kiranya saya mau berpakaian jas dan celana jika terus menerus saya didesak-desak. Cuma saja saya yakin, kalau saya beli celana modern, niscaya saya tak sanggup menjelaskan hitungan 5 dan 5 karena tentu otak dan pikiran saya tidak tenang lagi. Biarpun saya disebut kepala batu atau berbau desa, sudahlah biarkan."
Begitu sederhananya, orang tak mengenal Mas Mansur sebagai sosok penting. Pernah ada kejadian menarik soal ini seperti diceritakan Soebagijo IN dalam bukunya Mas Mansur, Pembaharu Islam di Indonesia. Suatu kali dalam Kongres Muhammadiyah di Medan, ada orang gemuk hitam berdiri di luar arena kongres. Seorang anggota komite menghampiri orang tersebut dan menanyakan identitasnya. Jika belum punya, diminta mengurus ke kepanitiaan. Anggota komite menunjuk suatu tempat untuk mengurusnya. Orang itu diam saja dan menurut pernyataan dari anggota komite tanpa membantah.
Dia menuju tempat yang ditunjuk dengan tenang. Belakangan diketahui, orang yang ditegur itu adalah Mas Mansur. Anggota komite itu mukanya biru hitam lantaran malu. Bagaimana tak malu, Mas Mansur adalah salah satu pimpinan Muhammadiyah yang sangat diperhitungkan.
Jejak perjuangan Mas Mansur makin menggelora setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asyari dan Wahab Hasbullah, keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga ikut mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat pimpinan yang menonjol sehingga disebut Empat Serangkai bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.
Mas Mansur mundur dari empat serangkai karena hati nuraninya tidak bisa menerima penindasan Jepang. Terutama juga karena banyak saudaranya yang menjadi korban penindasan Jepang. Saat Indonesia diproklamasikan, KH Mas Mansur tidak bisa hadir di Pegangsaan Timur karena sakit.
Namun demikian api perjuangan tidak pernah dia padamkan. Dalam kondisi fisik yang tidak lagi tangguh, dia terus menyemangati arek-arek Suroboyo pada pertempuran melawan Sekutu. Di Surabaya, Mas Mansur rajin menjadi khotib dan Imam dalam salat Jumat dengan tak henti-hentinya memberi semangat kepada para pejuang.
Tak menghiraukan ancaman lawan dan desing peluru, Mas Mansur rajin mendatangi kelompok muda mudi yang bertugas di Palang Merah untuk memberi semangat perjuangan.
Dengan tuduhan sebagai kolaborator karena pernah duduk di pimpinan Poetera, Mas Mansur ditangkap Sekutu dan ditahan di penjara Kalisosok dalam kondisi sakit. Mansur sempat dilepas tetapi kembali ditangkap Sekutu karena perjuangannya yang sangat gigih. Kondisi sakit membuat Mas Mansur kemudian dirawat di sebuah rumah sakit di Darmo.
Mas Mansur meninggal dalam sepi tanpa ada orang lain yang menemani. Saat-saat terakhirnya 24 April 1946 tidak ada anak, istri, atau saudara yang mendampinginya. Indonesia kehilangan salah satu pemimpin besarnya yang penuh teladan.
Atas meninggalnya KH Mas Mansur, Panglima Besar Sudirman mengirimkan surat tanda duka cita mendalam. "Saya merasa kehilangan seorang ayah, seorang pembimbing dan seorang pemimpin. Saya merasa berhutang budi. Hutang budi yang saya bayar dengan suatu janji serta tekad: kami keluarga tentara semua akan meneruskan perjuangan kita melaksanakan tuntutan pemerintah dan rakyatnya, yaitu: Kemerdekaan penuh," demikian surat dari Panglima Besar Sudirman.
Jenazah KH Mas Mansur dimakamkan di kuburan Gipo dekat Masjid Ampel. Dengan SK Presiden No 162 Tahun 1964, KH Mas Mansur ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu jalan penting di Jakarta dan banyak kota lain.