Kisah menyentuh hati para pencari jenazah AirAsia QZ8501
Kehadiran mereka seakan menjadi pahlawan besar bagi keluarga penumpang AirAsia QZ8501.
Tugas berat diemban tim Search and Rescue (SAR) gabungan, yang terdiri dari ribuan relawan, militer hingga ahli-ahli penerbangan. Berbagai misi mereka jalankan, demi menemukan jenazah, badan pesawat AirAsia, hingga penyebab kecelakaan.
Sejak ditemukan pertama kali di sekitar perairan Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, Tim SAR gabungan terus berjibaku dengan waktu, pencarian yang sebelumnya mengangkat jasad-jasad yang mulai membusuk, keberadaan kotak hitam atau black box harus segera ditemukan.
Kehadiran mereka seakan menjadi pahlawan bagi keluarga penumpang AirAsia QZ8501. Tumpuan harapan disematkan di pundak mereka, demi mengembalikan rekan dan kolega kembali pulang, meski tinggal raganya saja.
Keberhasilan mereka untuk menemukan pesawat yang hilang mendapatkan pujian dari dunia. Pujian itu tak lepas dari kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 18 ribu pulau.
"Indonesia punya banyak pengalaman dengan bencana. Mereka sangat ahli dalam menangani kecelakaan," kata Redaktur FlightGlobal Asia Greg Waldron, seperti dilansir koran the Wall Street Journal, Selasa (30/12).
Tapi, tak sedikit pula yang mencecar mereka dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Padahal, rintangan yang dihadapi cukup berat, mulai dari cuaca yang buruk, gelombang tinggi, hingga arus bawah laut yang sangat deras. Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin nyawa mereka hilang.
Berikut para pahlawan pencari jenazah dan puing pesawat AirAsia yang sempat menjadi buah bibir selama pencarian hingga evakuasi berlangsung:
-
Kapan AirAsia QZ8501 jatuh? Pada 28 Desember 2014, pesawat AirAsia QZ8501 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Singapura.
-
Bagaimana kondisi cuaca saat AirAsia QZ8501 jatuh? Kondisi cuaca yang buruk, termasuk awan tebal dan hujan deras, menjadi faktor yang sangat memengaruhi kejadian tersebut.
-
Kenapa AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata? AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata pada 28 Desember 2014 karena penyebab utamanya adalah kesalahan dalam manajemen penerbangan.
-
Apa yang menjadi penyebab jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501? Selain kesalahan dalam manajemen penerbangan, kurangnya pemahaman awak pesawat terhadap sistem kontrol penerbangan juga menjadi penyebab jatuhnya pesawat.
-
Dimana pesawat AirAsia QZ8501 jatuh? Pada 30 Desember 2014, badan pesawat dan puing-puing lainnya ditemukan di dasar laut Selat Karimata.
-
Kapan pesawat Thai Airways 311 jatuh? Pesawat ini melakukan penerbangan pertamanya pada 2 Oktober 1987. Awalnya beroperasi dalam maskapai Kanada Wardair dengan registrasi C-FGWD, Wardair lalu diakuisisi oleh Canadian Airlines International pada tahun 1989 dan operasi mereka terkonsolidasi dan terintegrasi di bawah panji Canadian Airlines.
Batal cuti Natal dan Tahun Baru
Tragedi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 di perairan Pangkalanbun membuat sejumlah pihak prihatin. Tidak terkecuali para Tim SAR dan relawan yang rela membantu mencari keberadaan para korban meski harus melewati natal dan tahun baru bersama keluarga tercinta.
Komandan Tim Kopaska Teluk Kumai Kapten Laut (P) Danden SatKopaska Edi Tirtayasa menyatakan, tidak masalah meski harus bekerja dalam perayaan Natal dan Tahun Baru. Dia justru merasa sedih apabila tidak bertugas dalam melakukan pencarian Pesawat Air Asia QZ8501 yang hilang.
"Bagi Kopaska lebih sedih kalau nggak bertugas, ada kejadian kita cuma duduk nonton TV," kata Edi di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, Sabtu (3/1).
Edi sudah hampir 21 tahun menjadi anggota Kopaska, banyak korban juga yang sudah diselamatkan. Sehingga menjalankan operasi penyelaman mencari pesawat AirAsia QZ8501 sudah terbiasa.
"Aku di Kopaska sudah hampir 21 tahun, mengalami hal yang begini sudah biasa. Tapi saya belum menyelam saat ini," ujarnya.
Dia juga menceritakan yang tidak bisa menjalankan perayaan Natal dan Tahun Baru 2015. Padahal ia sedang menjalankan cuti untuk liburan, namun harus menerima tugas pencarian AirAsia QZ8501 ini.
"Saya nggak Natalan dan Tahun Baruan, tapi keluarga saya sudah terbiasa dengan ketidakberadaan saya di rumah. Nggak ada keberatan dari anak, pertama nikah empat hari sudah ditinggal, kadang tugas Kopaska nggak lama sebulan, dua bulan pulang, di rumah sehari berangkat," jelasnya.
Menurut dia, anak dan istri sudah tidak menanyakan keberadaan tugasnya lantaran sudah terbiasa ditinggal kerja. "Kalau nggak tugas malah anak nanya, Ayah kok nggak tugas sedih banget. Kalau istri dan anak sudah nggak kaget. Gimana lagi sudah resiko, namanya tugas negara ya sudah," pungkasnya.
Terobos badai demi dapatkan jenazah
Tim Basarnas mengaku kesulitan saat mengevakuasi jenazah penumpang Pesawat Air Asia QZ 8501 yang berada di KRI Bung Tomo. Salah satu Tim Basarnas Kapten Laut (P) Pangops Skuadron 400 Wings Udara 2 Candra Budiarjo menceritakan ketika kondisi evakuasi jenazah penumpang Air Asia QZ 8501 di KRI Bung Tomo pada Rabu (31/12) siang tadi.
"Iya kita tadi waktu menuju ke KRI Bung Tomo untuk melaksanakan evakuasi terkendala cuaca ekstrem," kata Candra saat berbincang dengan Merdeka.com usai mengevakuasi jenazah di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, Rabu (31/12).
Namun kondisi cuaca yang masih ekstrem, Tim Basarnas terus menerjang awan gelap pekat dengan menggunakan helikopter Dolphin yang mempunyai radar cuaca dan auto pilot yang canggih.
"Tapi untungnya saat ini heli kita tercanggih dilengkapi dengan radar cuaca untuk auto pilot-nya proaksis. Jadi kita bisa kesana, kita dipandu juga dengan radar dari KRI Bung Tomo," ujarnya.
Dia menceritakan saat kondisi di atas ketinggian 5000 kaki yang cuaca sangat ekstrem. Tim Basarnas diarahkan oleh radar KRI Bung Tomo untuk bisa mendarat.
"Tadi digaet dengan KRI Bung Tomo. Ya kita ikuti prosedur pendekatan dengan cuaca buruk. Ya tadi kita menggunakan radar KRI Bung Tomo untuk lending," jelasnya.
Ketika mendarat di KRI Bung Tomo, menurut dia helikopter Dolphin bergoyang lantaran cuaca buruk dengan curah hujan yang sangat deras.
"Ya pastinya goyang karena cuaca ekstrem," katanya.
Dia menambahkan, ketika mengevakuasi jenazah di KRI Bung Tomo, pihaknya langsung membawa 2 jenazah sekaligus dengan menggunakan tandu. Selain itu, jenazah sudah dibungkus oleh kantong mayat.
"Sudah dikantongi. Kita ambil yang sudah dievakuasi di KRI Tom jadi kita tinggal ambil saja. Langsung ambil dua jenazah, tapi kita sebenarnya ada tiga tapi karena tempat terbatas."
Tak hanya itu, Tim Basarnas yang melakukan evakuasi juga mengajak Pasukan Katak TNI AL untuk membantu proses evakuasi di bawah laut.
"Tadi crew 3 dan rescue 1 dan membawa 3 Kopaska untuk tinggal di KRI Tomo."
Tak akan berhenti sampai pesawat dan isinya ketemu
Dalam pencarian kapal AirAsia QZ8501 yang hilang kontak sejak Minggu (28/12) kemarin, TNI AL akan memanfaatkan waktu 20 hari untuk menemukan pesawat. Delapan unit KRI TNI AL pun dikerahkan untuk membantu pencarian pesawat AirAsia tersebut, dan tidak akan kembali ke daratan sampai pesawat AirAsia itu ditemukan.
Ketika dikonfirmasi mengenai hal itu, Komandan Kapal KRI Banda Aceh 593, Letnan Kolonel laut (P) Arief Budiman pun mengakui bahwa kesatuannya memang bertekad untuk melaksanakan misi pencarian dan evakuasi ini sampai selesai.
"Perintah dari atasan kita mencari selama 20 hari. Kalau dalam rentang 20 hari dan belum ditemukan, kita tidak akan kembali," kata Letkol Arief di Mako TNI AL Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (29/12).
Arief mengatakan, kapal yang dikomandaninya ini akan berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah yang menjadi tujuan pencarian, di sekitar perairan kawasan Belitung Timur, mulai Senin sore ini.
Dirinya juga menjelaskan bahwa jika setelah 20 hari ke depan pencarian ini belum juga membuahkan hasil, pihaknya akan kembali mendapat arahan dari atasan mereka untuk melanjutkan atau menghentikan pencarian.
Komando ini, lanjut Arief, nantinya juga akan berlaku serupa untuk tujuh kapal lain, yang sebelumnya sudah diberangkatkan sebelum KRI Banda Aceh 593 ini melaksanakan misi pencarian yang sama.
"Intinya kita siap saja, tergantung penugasan," ujar Arief.
Pesawat Airasia QZ8501 ini diketahui membawa 155 orang penumpang yang terdiri dari 138 orang dewasa, 16 orang anak-anak, dan 1 orang balita. Di dalam pesawat itu, ada pula warga negara asing penumpang dan awak kabin yakni Singapura 1 orang, Inggris 1 orang, Malaysia 1 orang, Korea Selatan 3 orang, dan Prancis 1 orang.
Menyelam di tengah pekatnya air laut
Ikut terjun menjadi salah satu tim penyelam oleh Basarnas dalam misi evakuasi korban AirAsia QZ8501 merupakan pengalaman paling tersulit yang dirasakan Yusniar Amara. Apalagi, medan yang dihadapi cukup berat yakni cuaca yang buruk, serta gelombang tinggi.
"Gelombang tinggi sampai empat meter, arus di bawah air sangat kuat dan zero visibility. Benar-benar tidak tampak sejengkal pun, kami cuma mengandalkan senter tapi itu pun cuma bisa dua meter saja," ungkap Yus kepada BBC Indonesia.
Beratnya cuaca tak hanya dirasakan dari atas permukaan lau, setiap kali menyelam, cuaca buruk langsung menerjang dia dan timnya. Kondisi itu membuat mereka hanya bisa melakukan pencarian di dalam laut dalam waktu yang sangat singkat.
"Maksimal kami menyelam di kedalaman 30-40 meter cuma boleh 18 menit, jadi sebelum turun kami berdoa agar dimudahkan. Sedih kalau kami menyelam tidak dapat jenazah, kami sudah anggap korban seperti keluarga sendiri," ujar Yus.
Menjadi tim penyelam dalam pencarian korban bukan tugas yang mudah baginya. Dia kerap berdoa setiap kali menemukan jenazah dengan menatap wajahnya sembari berdoa. Meski berat, namun dia tetap berjuang keras demi mengembalikan jasad tersebut kepada keluarganya masing-masing.
"Awalnya berat ya, karena kita kan lihat muka jenazah tapi kita berdoa saja, kita bilang dalam hati ke mereka kalau kita ingin menolong mereka, membawa mereka bertemu keluarga, memang kuncinya kesiapan dan kekuatan mental," kata dia.
Berkali-kali terlibat operasi penyelamatan dan pertolongan bencana, Yus mengatakan ketika bencana terjadi di kampung halamannya, dia justru tidak bisa menolong orang yang dicintainya.
"Tahun 2004, itu tugas saya menjaga Pantai Ule Leueu, tapi hari Kamis dua hari sebelum tsunami (26 Desember 2004), tunangan saya di Ule Leueu suruh saya pulang tengok orang tua dan balik lagi hari Minggunya. Tapi ternyata Sabtunya ada tsunami dan tunangan saya hilang," kenang Yus pelan.