Kisah perebutan Don Bosco, gudang peluru terbesar di Asia
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno membuat sejumlah pemuda bergerak untuk mendapat senjata.
Serangan bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) di Hiroshima dan Nagasaki pada 9 dan 15 Agustus 1945, membungkam ambisi Jepang untuk menguasai kawasan Asia Pasifik. Negeri Matahari Terbit menyerah tanpa syarat pada 2 September sekaligus mengakhiri perang dunia kedua.
Menyerahnya Jepang membuat daerah jajahannya di berbagai kawasan Asia, termasuk Indonesia mulai bergolak. Dwitunggal Soekarno Hatta langsung memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus, serta membuat sejumlah pemuda ikut mengangkat senjata.
Dalam buku yang diterbitkan Balai Pustaka berjudul 'Pertempuran Surabaya' tahun 1998 milik Pusat Sejarah ABRI menceritakan perjalanan panjang rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan.
Di saat bersamaan, pemerintah Jepang di Hindia Belanda berupaya melucuti tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri dari para pemuda pribumi. Untuk memenuhi keinginannya, mereka membohongi serdadu PETA agar menyerahkan senjatanya ke polisi Jepang, atau Keibodan.
Ternyata, rencana itu diketahui Moestopo, seorang dokter gigi yang juga pejuang. Dia menghubungi Moh Yasin selaku kepala polisi agar tak tertipu rayuan serdadu Jepang untuk melucuti tentara PETA.
Tak hanya itu, dia juga menyadari kemampuan persenjataan para pejuang masih kalah jauh dibandingkan tentara sekutu. Sebab, sebagian besar senjata yang dimiliki hanya bambu runcing, klewang, celurit dan senjata tajam lainnya.
Salah satu cara untuk mendapatkan senjata adalah dengan merebut persenjataan milik Jepang. Apalagi, mereka mengetahui balatentara Jepang memiliki gudang peluru terbesar se-Asia Tenggara di Don Bosco. Gudang ini dijaga Dai 10360 Butai Kaitsutiro Butai di bawah pimpinan Mayor Hazimoto dengan kekuatan 16 orang Jepang, 1 peleton pasukan heiho.
Keberadaan ini diketahui setelah 150 karyawan pribumi bekerja untuk menginventarisir persenjataan yang akan diserahkan kepada sekutu. Dari mereka, para tokoh mengetahui gudang tersebut bersifat strategis karena menyimpan banyak senjata dan peluru.
Mengetahui isi di dalam gudang, sekelompok pemuda, pelajar dan rakyat lantas melakukan pengepungan. Sebelum terjadi tembak-menembak tiga pemuda yang terdiri dari Subianto Notowardojo, Mamahit dan seorang wartawan Sutomo (Bung Tomo) yang ditemani perwakilan guru datang menemui Mayor Hazimoto. Mereka bernegosiasi agar Jepang menyerahkan senjata kepada rakyat Indonesia.
Permintaan lantas diamini Hazimoto. Namun dengan syarat, disaksikan polisi.
Syarat itu dipenuhi oleh ketiganya dengan memanggil Kepala Polisi Istimewa, Moh Jasin serta anak buahnya. Tak butuh waktu lama, Mayor Hazimoto menyerahkan kekuasaan gudang dengan menandatangani surat penyerahan.
Di tempat lain, tentara PETA yang dilucuti senjatanya marah. Bekas Cudanco (komandan kompi), Suryo bersama Shudanco (komandan peleton), Isa Idris menuju Kohara Butai di Gunungsari, Surabaya. Mereka menemui Kolonel Kohara untuk menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki Jepang.
Kohara langsung mengiyakan, namun tetap meminta agar pedang samurai miliknya tidak ikut dibawa. Mendengar permintaan itu, keduanya sepakat untuk memenuhinya. Alhasil, 100 pucuk senjata berat dan ringan dibawa pasukannya.
Tak berhenti, keduanya juga menuju ke bekas markas tentara PETA di Gunungsari. Bersama pasukannya, mereka membawa 514 pucuk senjata yang terdiri dari 400 pucuk karabin, 14 pistol vickers, 50 mortir, 50 granat, dan 30 senapan berat dan ringan.
Berbeda dari ketiga tempat di atas, upaya diplomasi lain yang dilakukan Moestopo kepada pimpinan Tobu Jawa Butai (Komando Pertahanan Jawa Timur) menemui kegagalan. Padahal, di saat bersamaan lokasi tersebut sedang dikepung rakyat demi merebut senjata milik Jepang.
Moestopo lantas mengancam tidak akan bertanggung jawab serangan rakyat jika hingga pukul 10.00 WIB pasukan Jepang tetap pada pendirian. Namun, ancaman itu ditanggapi dingin.
Serangan itu pun terjadi, tembakan pertama terjadi tepat pukul 10.00 WIB usai Moestopo dan rombongannya meninggalkan kantor yang ditempati Jenderal Iwabe. Saat pertempuran terjadi, Iwabe menyadari kekuatan pasukannya tak sebanding, dia pun memohon agar tembak menembak dihentikan dan ikut berunding.
Dalam perundingan, Iwabe tetap berpendirian tidak akan menyerahkan senjata tanpa ada yang bertanggung jawab. Namun, Moestopo menjawab sembari menunjuk dirinya. "Ya ini, pemimpin Jawa Timur, yang mewakili gubernur, yang bernama Moestopo, bekas daidanco, ini yang bertanggung jawab," tegasnya.
Mendengar itu, staf Iwabe lantas menyodorkan surat penyerahan dalam bahasa Jepang. Surat itu ditandatangani secara bergantian oleh Moestopo, Soeyono, Moedjoko, Moh Jasin, Abdul Wahab dan Rahman. Setelah itu, gudang dibuka dan para pemuda berhamburan masuk sekaligus membagi-bagikan senjata.
Perebutan gudang senjata ini membuat arek-arek Suroboyo punya modal senjata melawan sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Baca juga:
Siapa habisi Jenderal Mallaby?
Baru 5 hari di Surabaya, Inggris kehilangan jenderal
Kegigihan arek-arek Suroboyo tewaskan dua jenderal Inggris
Perebutan Gedung Setan, puncak kemenangan terhadap Jepang
3 Tokoh masyarakat dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh SBY
-
Bagaimana cara memperingati hari pahlawan? Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperingati Hari Pahlawan. Mulai dari upacara, mengheningkan cipta, dan membagikan kata-kata ucapan.
-
Apa yang dikisahkan di dalam puisi hari pahlawan? Puisi hari pahlawan singkat ini mengenang jasa para pahlawan yang gugur dalam mempertahankan Tanah Air. Puisi Hari Pahlawan singkat bisa dibagikan di media sosial atau dibacakan dalam rangkaian upacara.
-
Kapan Hari Pahlawan diperingati di Indonesia? Setiap tanggal 10 November, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Siapa Pratama Arhan? Lemparannya Nyaris Jadi Goal, Simak Deretan Fakta Pratama Arhan Siapa Pratama Arhan? Lemparan dalam nyaris jadi goal Pertandingan Indonesia vs Argentina yang digelar kemarin (19/6) membawa nama Pratama Arhan jadi sorotan.
-
Kenapa Harun Kabir dianggap layak menjadi Pahlawan Nasional? Melihat kiprah dan perjuangannya, seharusnya ada penghormatan dari negara untuk jasa dan pengorbanan beliau.