Kisah pilu satu keluarga di desa lereng Gunung Agung mengalami buta
Mereka harus bertahan hidup di tengah kondisi yang serba sulit dan terbatas.
Miris melihat kehidupan suami istri I Ketut Subrata (26) dan Ni Wayan Astini (25). Tidak hanya mereka berdua yang alami kebutaan, bahkan bayi yang baru dilahirkan dan kini berumur 10 hari juga mengalami kebutaan.
Keluarga ini sangat dikenal di lingkungan tempatnya tinggal, sebuah desa penuh debu di lereng Gunung Agung bagian timur. Tepatnya di Dusun Tunas Sari, Desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Karangasem Bali.
Di rumah semi permanen ini, mereka tidaklah hidup bertiga. Masih ada tiga saudara Subrata masing-masing I Nyoman Sukarya (29) yang merupakan kakak kandungnya, serta dua saudara tirinya, Ni Ketut Murniati (31) dan Ni Made Merta (27) yang bernasib sama, alami kebutaan sejak lahir.
"Kami berempat sudah buta sejak lahir termasuk istri saya juga buta, namun istri saya mengalami buta sejak sekolah SMA," aku Subrata, Rabu (27/7).
Dia menceritakan awal pertemuan dengan sang istri yang telah memberikannya seorang bayi mungil. Semua bermula saat dirinya menjadi penghuni panti sosial Bina Netra Natwa Mahatnia di Kabupaten Tabanan beberapa tahun silam.
Di tempat itu, selain mendapat pelajaran cara memijat yang kini menjadi sumber penghasilan, Subrata muda berkenalan dengan Ni Wayan Astini hingga akhirnya tahun 2014 lalu keduanya memutuskan menikah.
"Saya lahir di Pulau Sumbawa ikut orang tua yang merantau ke sana, setelah besar baru ke Bali dan menetap di panti sosial selama beberapa waktu. Di panti itulah ketemu dengan istri," ujarnya.
Keputusannya untuk menikah dengan harapan memiliki anak normal agar ada yang bisa menuntun kehidupan mereka pun belum bisa terwujud. Keduanya kini hanya bisa pasrah.
Kondisi kehidupan keluarga Subrata terbilang sangat jauh dari layak, beruntung dirinya mendapatkan bantuan bedah rumah dari paguyuban galian C dan dari ADD desa, sehingga bisa berdiri rumah mungil untuk tempat berteduh.
"Rumah ini bantuan dari desa dan paguyuban, sebelumnya hanya sebuah gubuk saja," ujar Subrata lagi.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia dan istrinya menjalankan profesi sebagai tukang pijat. Sebagai tambahan, dia memanfaatkan pelatihan menggunakan telepon genggam dengan panduan suara yang didapat di panti sosial untuk berjualan pulsa HP dan pulsa listrik.
Namun dari kedua pekerjaan yang digelutinya itu, Subrata mengaku mengalami keterbatasan fasilitas pijat seperti ruangan tempat pijat, tempat tidur khusus pijat dan kelengkapannya, minyak oles pijat, serta kekurangan modal berjualan.
"Saya bercita-cita ingin buka tempat pijat khusus, bukan sekadar sambilan seperti saat ini. Tapi saya tekendala permodalan untuk membuat tempat dan kelengkapannya, termasuk modal untuk jualan pulsa juga sangat minim. Kalau bisa saya dibantu kredit lunak dari perbankan untuk modal untuk membangun usaha," cetus Subrata.
Dia pun berkeluh kesah tentang terhambatnya pengurusan akta perkawinan, karena belum memenuhi aturan yakni datang langsung ke Didukcapil. Aturan itu diharapkan dapat dipermudah, mengingat identitas kependudukan yang sangat penting untuk segala urusan termasuk untuk menerima bantuan-bantuan fasilitas dari pemerintah.
Keprihatinan ini yang membuat istri Gubernur Bali Ayu Pastika mengunjungi langsung keluarga ini, Rabu (27/7). Pastika memberikan santunan berupa paket sembako dan modal usaha sekaligus dua set tempat tidur khusus memijat beserta kelengkapannya.
"Kebetulan mereka kan sudah punya keahlian memijat yang sudah didapat di panti sosial, kami tinggal membantu fasilitas untuk mendukung keahliannya, sehingga keahlian itu pun bisa menjadi lapangan pekerjaan yang memberikan penghidupan bagi mereka sekeluarga," ujar Ayu Pastika.