Koalisi Masyarakat Sipil Minta DKPP Berpihak pada Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
Mereka meyakini, DKPP akan menunjukkan komitmen terbaiknya.
Mereka meyakini, DKPP akan menunjukkan komitmen terbaiknya.
- Komitmen Kapolri Lindungi Perempuan dan Anak, Brigjen Desy Ditunjuk Jadi Dirtipid PPA dan PPO
- DPR Imbau Kejagung Konsisten Tangani Kasus 'Kakap'
- Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Hasyim Asy'ari Ungkap Hasil Pemeriksaan di DKPP
- PKS soal Putusan DKPP: Rakyat Tentu Tidak Ingin Orang yang Dipilih Bermasalah Etika
Koalisi Masyarakat Sipil Minta DKPP Berpihak pada Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
Kelompok Masyarakat Sipil menyampaikan dukungan dan dorongan untuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang saat ini sedang menangani sejumlah kasus berkaitan dengan dugaan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan penyelenggara pemilu dari tingkat pusat maupun daerah.
Dalam surat terbuka yang diterima Merdeka.com, mereka mendukung DKPP untuk terus konsisten dan teguh dalam menjaga integritas, kehormatan, kemandirian dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Tentunya melalui penegakan kode etik dan pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu secara profesional, kredibel dan berintegritas.
“Dalam praktik demokrasi, nilai-nilai kebebasan, keadilan, kesetaraan, kejujuran, integritas, akuntabilitas, pemenuhan hak asasi manusia, dan perilaku antikorupsi harus dijunjung tinggi. Bukan hanya sebagai sebuah komitmen nilai, tapi juga panduan sikap dan perilaku yang harus dipraktikkan secara konsisten dan bertanggung jawab,” tulis kelompok masyarakat sipil.
Mereka mengingatkan, perilaku, sikap dan tindak tanduk penyelenggara pemilu bukan hanya menjadi perhatian para pemangku kepentingan, baik pemilih ataupun peserta pemilu. Namun juga menjadi teladan bagi seluruh pemangku kepentingan pemilu dan demokrasi di Indonesia.
Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang tidak dapat dimaafkan apalagi dibenarkan karena menciderai nilai-nilai demokrasi. Karena melanggar hak asasi manusia, serta amat tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam kode etik dan pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu.
“Untuk itu, penyelenggara pemilu yang melakukan kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu pelanggaran berat terhadap kode etik dan pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu yang harus mendapatkan hukuman maksimal berupa pemberhentian tetap dari keanggotaan penyelenggara pemilu,” tulis dalam surat tersebut.
Mengingat penyelenggara pemilu dalam tugas dan kewenangannya berinteraksi intensif dengan banyak perempuan, maka pelaku kekerasan terhadap perempuan tidak layak, tidak boleh dan tidak sepantasnya mendapat tempat dalam keanggotaan ataupun menjadi bagian dari kelembagaan penyelenggara pemilu.
“DKPP sudah seharusnya tidak membiarkan lingkungan kerja kepemiluan membahayakan perempuan melalui kehadiran penyelenggara pemilu pelaku kekerasan terhadap perempuan,” tulisnya.
Mereka meyakini, DKPP akan menunjukkan komitmen terbaiknya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan korban dan pencari keadilan. Sehingga, DKPP diharapkan menjatuhkan putusan optimal dalam rangka mewujudkan perlakuan yang adil dan setara gender serta menghadirkan ekosistem pemilu yang bebas dari berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
“Kami mendukung penuh DKPP untuk menciptakan lingkungan pemilu yang steril dari penyelenggara pemilu pelaku kekerasan terhadap perempuan,” tutupnya.
Koalisi masyarakat sipil ini terdiri atas: Prof. Ramlan Surbakti, PhD, Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga; Mike Verawati, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI); Indonesia Corruption Watch (ICW); Misthohizzaman, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID); Ika Agustina, Kalyanamitra; Listyowati, Kalyanamitra.
Kemudian Hadar Nafis Gumay, Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT); Anggota KPU RI Periode 2012-2017; Evi Novida Ginting Manik, Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU); Wahidah Suaib, Maju Perempuan Indonesia (MPI); Wirdyaningsih, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI).
Selanjutnya, Khoirunnisa Nur Agustyati, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); Titi Anggraini, Maju Perempuan Indonesia (MPI); Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera; Valentina Sagala, Institut Perempuan dan Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia.