Komisi IX DPR Desak Polisi Usut Tuntas Dugaan Mafia Alkes
Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo mendesak Polisi membongkar dugaan praktik mafia alat kesehatan (Alkes) impor. Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya tracing covid-19 dan mahalnya alat untuk tes PCR dan Swab Antigen itu.
Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo mendesak Polisi membongkar dugaan adanya praktik mafia alat kesehatan (Alkes) impor. Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya tracing covid-19 dan mahalnya alat untuk tes PCR dan Swab Antigen itu.
"Ini perlu didalami pihak kepolisian, tinggal panggil importir-importir itu. Agar terang kasusnya maka perlu pendalaman," ujar Rahmad kepada wartawan, Kamis (26/8).
-
Bagaimana Kejagung mengusut kasus korupsi impor emas? Di samping melakukan penggeledahan kantor pihak Bea Cukai, tim juga masih secara pararel melakukan penyidikan perkara serupa di PT Aneka Tambang (Antam).
-
Siapa yang dituduh melakukan korupsi? Jaksa Penuntut Umum (JPU) blak-blakan. Mengantongi bukti perselingkuhan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).
-
Apa yang ditemukan KPK terkait dugaan korupsi Bantuan Presiden? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya dugaan korupsi dalam bantuan Presiden saat penanganan Pandemi Covid-19 itu. "Kerugian sementara Rp125 miliar," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika, Rabu (26/6).
-
Siapa yang diperiksa KPK terkait kasus korupsi SYL? Mantan Ketua Ferrari Owners Club Indonesia (FOCI), Hanan Supangkat akhirnya terlihat batang hidungnya ke gedung Merah Putih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (25/3) kemarin. Dia hadir diperiksa terkait kasus tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Syahrul Yasin Limpo (SYL).
-
Kenapa Hanan diperiksa KPK? Dirinya pun dicecar penemuan sejumlah uang pada saat penyidik KPK menggeledah rumah CEO PT Mulia Knitting Factory itu. "Pada saksi, tim Penyidik mengkonfirmasi antara lain kaitan temuan sejumlah uang saat dilakukan penggeledahan di rumah kediamannya," kata Ali kepada wartawan, Selasa (26/3).
-
Siapa yang ditahan KPK terkait kasus dugaan korupsi? Dalam kesempatan yang sama, Cak Imin juga merespons penahanan politikus PKB Reyna Usman terkait kasus dugaan korupsi pengadaan software pengawas TKI di luar negeri.
Menurut Rahmad, pengusaha boleh saja mencari untung dari penjualan alat-alat kesehatan termasuk PCR dan swab antigen. Namun meraup keuntungan tersebut janganlah berlebihan dan menyusahkan rakyat.
"Saya bilang silakan untung, tapi untung yang wajar dan sesuai dengan kantongnya rakyat. Jangan malah memberatkan. Karena itu, yang paling utama ini tugas pemerintah untuk mendalami," katanya.
Legislator Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menuturkan, memang seharusnya Indonesia bisa memproduksi alat kesehatan sendiri. Bahkan, dari tahun 2020 lalu DPR telah merekomendasikan bahwa Indonesia ketergantungan impor hanya 70 persen dari sebelumnya 90 persen.
"Kalau idealnya kita bisa produksi sendiri. Bahkan, Komisi IX DPR bahkan dalam rapat-rapat memerintahkan di tahun 2020 untuk menaikan produksi dalam negeri 20 persen, jadi ketergantungan kita impor 90 persen dikurangi 20 persen jadi tinggal 70 persen," ungkapnya.
Rahmad juga menegaskan, jika ada pihak-pihak yang sengaja mempermainkan harga alat-alat kesehatan jauh di bawah standar. Maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisa bertindak.
Sementara jika ada mafia alat kesehatan seperti yang melakukan pengelapan ataupun melakukan penyelundukan. Maka dia meminta polisi untuk turun tangan.
"Jadi kalau usaha apapun yang berlawanan dengan hukum ya tetap polisi akan mengambil tindakan," pungkasnya.
Baca juga:
Masyarakat Diminta Mengawal Tarif Baru PCR
Palsukan PCR, Dua Mahasiswa Pekanbaru yang Kuliah di Turki Ditangkap Polisi
KPPU Sumut Temukan Harga Tes PCR di Kota Medan masih Tinggi
Polisi Tangkap Pemalsu Surat Keterangan Hasil Swab Antigen di Tangerang
Varian Delta Masuk Riau, Pemprov Kirim Hasil PCR ke Pusat
Korea Utara Klaim Kembangkan Alat PCR Sendiri untuk Tes Covid-19
Untung Besar Bisnis PCR
Meski sudah turun, harga tes PCR di Indonesia masih tergolong mahal. Penilaian ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan dunia kesehatan. Terutama para supplier Alat Kesehatan (Alkes). Alibi harga tinggi karena ada komponen impor, seharusnya tak lagi jadi pembenaran. Mengingat sejumlah komponen kit tes realtime PCR sudah tersedia di negeri sendiri. Hanya satu komponen yang harus didatangkan dari luar negeri. Yaitu reagen.
"Janganlah pura-pura. Hanya reagen yang susah dimonopoli, tapi reagen sendiri sekarang harganya sudah tidak mahal," ungkap Direktur Marketing Hamera Lab Esa Tjatur Setiawan saat berbincang dengan merdeka.com, pekan lalu.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy Hendarto punya pendapat berbeda. Biaya impor bahan baku yang mahal menentukan harga PCR di Indonesia. Sebab, bahan baku tetap harus diolah lagi di dalam negeri. Itu membutuhkan biaya. Sehingga tidak bisa membandingkan harga tes PCR di Indonesia dengan India. Mengingat India sudah menggunakan alat produksi dalam negeri. Selain itu, komponen bahan bakunya juga buatan sendiri.
"Kalau kita impor bahan baku komponen itu masih ada pajak dan sebagiannya. Sedangkan kalau kita impor barang jadinya akan dibebaskan pajaknya," ungkap Randy.
Tarif tes PCR yang ditetapkan pemerintah masih membuka ruang lebar kepada para pengusaha laboratorium untuk mendatangkan untung. Meski komponen reagen harus didatangkan dari China, Korea, Singapura. Bahkan Eropa sekalipun.
Esa Tjatur Setiawan melihat, dengan harga tes PCR Rp500.000, pengusaha fasilitas kesehatan sudah untung besar. Hamera Lab pernah melakukan feasibility study. Dengan tarif PCR saat ini, maka keuntungan yang didapat fasilitas kesehatan bisa menyentuh hampir 150 persen. Bisa dibayangkan ketika sebelumnya seluruh laboratorium di dalam negeri, menerapkan harga PCR Rp900.000.
Kata Kemenkes
Kementerian Kesehatan membuka data. Biang keladi mahalnya tarif PCR di awal pandemi yakni alat-alat kesehatan masih dibanderol tinggi. Selain itu, pemerintah tidak menutup mata memasukkan komponen perhitungan keuntungan untuk laboratorium atau fasilitas kesehatan. Tapi tidak terlalu besar.
"Pada saat itu kita melakukan perhitungan unit cost berdasarkan kepada harga pada saat itu. Didapatkan harga unit cost sekitar Rp 800.000 lebih. Kemudian kita berikan keuntungan kepada laboratorium sekitar 20 persen. Akhirnya didapatkanlah harga Rp900.000," jelas Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir.
Esa melanjutkan. Permainan harga dilakukan pihak fasilitas kesehatan melalui penawaran kecepatan menerima hasil tes PCR. Jika ingin memperoleh hasil hanya 12 jam, harga lebih mahal. Padahal, alat PCR yang dimiliki sejumlah rumah sakit sudah cukup canggih untuk memperoleh hasil lebih cepat.
Tarif ideal tes PCR ada di kisaran Rp350.000. Dari sisi perhitungan investasi dan biaya operasional sudah terpenuhi. Bahkan, pengusaha sudah mendapat keuntungan dari harga tersebut. Esa hanya bisa tertawa. Ketika laboratorium dan fasilitas kesehatan tes PCR menjamur. Dengan dalih turut serta dalam penanganan pagebluk Covid-19.
"Jangan merasa sudah berkontribusi tapi di balik itu untungnya besar," tegasnya.