Korban lumpur minta MK perintahkan negara talangi utang Lapindo
Alasan korban lumpur karena sampai sekarang Lapindo masih menunggak sisa ganti rugi.
Merasa lelah menagih ganti rugi ke PT Lapindo Brantas, para korban lumpur Lapindo yang berada di wilayah Peta Area Terdampak (PAT) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mursyid, kuasa hukum korban atau pemohon mengatakan, sudah tujuh tahun lebih perusahaan milik keluarga Bakrie itu belum menuntaskan sisa pembayaran kepada korban.
Karena tidak ada kepastian dari Lapindo Brantas, kata dia, korban mengajukan gugatan undang-undang APBN agar pemerintah menanggung sisa pembayarannya. Ini tidak lain karena area di luar PAT ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah untuk semua kerugian warga, bahkan sistem pembayaran sudah lunas.
"Gugatan ini bukan masalah PT Lapindo bebas atau tidak menyelesaikan tugasnya untuk menyelesaikan ganti rugi. Namun ini sudah terlalu lama untuk pelunasannya. Kami kira negara bisa mengambil alih untuk pembayarannya. Toh negara tidak akan rugi juga," kata Mursyid di Gedung MK, Kamis (28/11).
Sebagai informasi, dalam penanganan lumpur Lapindo pemerintah menggunakan dua pola penanganan. Untuk yang masuk area PAT menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas untuk ganti rugi tanah dan bangunan. Sedangkan di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Mursyid mengatakan, luas area PAT yang menjadi tanggungan Lapindo lebih dari 800 hektare. Itu terbagi dalam kawasan industri dan kawasan permukiman. Menurut dia, dalam skema pembayaran PT Lapindo sudah membayarkan Rp 3 triliun dan sisanya Rp 1,5 triliun.
"PT Lapindo Brantas sudah membayarkan Rp 3 triliun. Sisanya Rp 1,5 triliun. Warga yang menerima bervariasi persentase pembayarannya. Namun PT Lapindo bilang sudah mengeluarkan uang Rp 7 triliun. Bahkan dalam sms yang beredar warga bilangnya mereka memberi uang ke warga itu sebagai bentuk sedekah saja. Belum ada keterangan juga kalau Lapindo akan melunasi atau tidak," ujar Mursyid.
Hari ini hakim MK menggelar sidang pendahuluan untuk membahas hal itu, khususnya pengujian terhadap Pasal 9 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN. Mahkamah tadi pagi baru selesai mendengarkan keterangan saksi dari pemohon dan pemerintah hari ini.
Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan Pasal 9 UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak memasukkan wilayah PAT yang terdiri dari Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Ketapang, dan Renokenongo. Pemohon juga meminta MK memerintahkan Negara, Pemerintah dan DPR, memasukkan wilayah tersebut dalam UU APBN/APBN-P tahun berikutnya sebagai pertanggungjawaban Negara/Pemerintah.