KPK belum terima surat permintaan datangkan Miryam dari Pansus DPR
"Sampai saat ini kami belum terima surat permintaan tersebut. Nanti kami lihat dulu surat itu dasarnya apa, kami akan pelajari lebih lanjut kebutuhannya apa. Sebagai lembaga penegak hukum, kami ingin memastikan dulu apa pun yang dilakukan harus sesuai aturan hukum yang berlaku," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menerima surat permintaan dari Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket yang berniat mendatangkan mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani.
"Sampai saat ini kami belum terima surat permintaan tersebut. Nanti kami lihat dulu surat itu dasarnya apa, kami akan pelajari lebih lanjut kebutuhannya apa. Sebagai lembaga penegak hukum, kami ingin memastikan dulu apa pun yang dilakukan harus sesuai aturan hukum yang berlaku," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, seperti dilansir Antara, Jumat (16/6).
Soal kemungkinan KPK terkena Pasal Penyanderaan dalam KUHP jika tidak mengizinkan Miryam datang dalam rapat Pansus, Febri menyatakan KPK tetap akan membaca terlebih dahulu surat permintaan itu.
"Kami belum terima suratnya, tentu kami harus baca dulu isi suratnya seperti apa dan baru kami pertimbangkan lebih lanjut," ucap Febri.
Sementara terkait tindakan hukum yang akan diambil menyikapi hak angket itu, Febri mengatakan KPK akan memutuskannya setelah mengambil kesimpulan dari semua masukan dari para ahli hukum yang mengkaji keabsahan hak angket itu.
"Dengan satu catatan penting KPK harus mematuhi peraturan Undang-Undang yang berlaku dan yang terpenting aspek independensi KPK tidak terganggu. Tindakan hukumnya apa nanti akan kami tentukan lebih lanjut," jelas Febri.
Menurut Febri, KPK tetap menghormati seluruh kewenangan yang dimiliki oleh DPR, namun KPK sebagai lembaga hukum harus bertindak sesuai aturan hukum yang berlaku.
Sebelumnya, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menilai pembentukan Panitia Khusus Hak Angket di DPR RI merupakan cacat hukum.
"Cacat hukum karena tiga hal pertama karena subjeknya yang keliru, kedua karena objeknya yang keliru, dan ketiga prosedurnya yang salah," kata Ketua Umum DPP APHTN-HAN Mahfud MD saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/6).
Soal subjeknya yang keliru, Mahfud mengatakan secara historis hak angket itu dulu hanya dimaksudkan untuk pemerintah.
"Dulu kan pertama kali di Inggris itu untuk pemerintah. Lalu di Indonesia diadopsi pada 1950 ketika sistem parlementer untuk keperluan mosi tidak percaya kepada pemerintah lalu diadopsi di dalam UUD yang sekarang hak angket itu tetapi tetap konteksnya pemerintah karena tidak mungkin DPR itu mengawasi yang bukan pemerintah," tuturnya.
Selanjutnya terkait objeknya yang keliru, ia menilai bahwa di dalam Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MD3 menyebutkan hak angket itu untuk menyelidiki pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah.
"Di situ disebut dipenjelasannya bahwa siapa itu pemerintah mulai presiden, wakil presiden, para menteri, jaksa agung, kapolri, dan lembaga pemerintah nonkementerian. Basarnas, LIPI, Wantimpres itu lembaga pemerintah nonkementerian. Tetapi di luar itu bukan lembaga pemerintah seperti KPK itu bukan lembaga pemerintah," kata Mahfud.
Terakhir menyangkut masalah prosedur, Mahfud menyatakan prosedur pembuatan Pansus Hak Angket itu diduga kuat melanggar undang-undang.
"Karena pertama menurut yang disiarkan di media massa pada waktu itu dipaksakan prosedurnya. Ketika itu masih banyak yang tidak setuju tiba-tibak diketok. Seharusnya di dalam keadaan belum bulat suaranya mestinya kan divoting ditanya dulu, nah itu dianggap sebagai manipulasi persidangan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Menurut dia, Pansus Hak Angket itu juga terkesan dipaksakan karena baru ada tujuh fraksi di DPR RI yang mengirimkan wakilnya. "Padahal menurut Pasal 201 Ayat 3 Undang-Undang MD3 harus semua fraksi ada di dalam panitia itu, kalau itu dipaksakan berari melanggar juga prosedur yang ada," ucap Mahfud.
KPK juga telah mengundang ahli hukum pidana Indriyanto Seno Adji untuk membahas keabsahan Hak Angket KPK itu.
Indriyanto menyatakan yang menjadi salah satu pembicaraan dengan KPK tadi adalah mengenai keabsahan hak angket karena belum terwakilinya semua fraksi tersebut.
"Pembicaraan ini masih kami tunggu dari ahli lainnya. Jadi soal keabsahannya masih kami bicarakan. Persoalan ini masih kami dalami," ucap mantan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK tersebut.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel.
KPK telah menetapkan Miryam sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-e) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Baca juga:
Pansus angket surati KPK minta Miryam dihadirkan pada Senin
Pansus bakal panggil paksa Miryam jika KPK tak beri izin
Kehadiran Miryam dinilai penting, kunci utama pansus hak angket KPK
DPR dinilai wajar bikin angket untuk melihat tugas KPK
Aktivis antikorupsi Yogyakarta demonstrasi tolak hak angket di DPRD
DPR desak KPK hormati konstitusi dan datangkan Miryam
Sys NS soal angket KPK: DPR sedang mengalami sindrom gagal paham
-
Mengapa DPR memiliki hak angket? Tujuan dari hak angket ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan terkait kebijakan pemerintah. Dengan adanya hak angket, DPR dapat memastikan bahwa kebijakan pemerintah yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
-
Bagaimana DPR menggunakan hak angket? DPR memiliki wewenang penuh untuk melakukan pemeriksaan, memanggil saksi, dan mengumpulkan bukti terkait hal yang menjadi objek hak angket.
-
Apa yang diusulkan oleh Baleg DPR terkait dengan DKJ? Baleg DPR mengusulkan agar Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi ibu kota legislasi. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi alias Awiek mengusulkan agar Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi ibu kota legislasi.
-
Bagaimana cara DPR mendorong KPK untuk mengungkap terduga pelaku pembocoran informasi OTT? Bahkan Sahroni merekomendasikan KPK untuk berkolaborasi dengan instansi-instansi terkait, jika ingin serius mengungkap dugaan ini.
-
Apa yang jadi dugaan kasus KPK? Pemeriksaan atas dugaan pemotongan dan penerimaan uang, dalam hal ini dana insentif ASN Bupati Sidoarji Ahmad Muhdlor Ali diperiksa KPK terkait kasus dugaan pemotongan dan penerimaan uang, dalam hal ini dana insentif ASN di lingkungan BPPD Pemkab Sidoarjo.
-
Apa itu DPK? DPK adalah singkatan dari Daftar Pemilih Khusus. DPK adalah daftar pemilih yang memiliki identitas kependudukan tetapi belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).