KPK kantongi bukti BCA diuntungkan terkait kasus pajak Hadi Poernomo
Keuntungan itu didapatkan dari pengabulan keberatan pajak yang diajukan Bank BCA pada tahun 1999.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menemukan bukti jika Bank Central Asia (BCA) diuntungkan dari skandal korupsi bekas Dirjen Pajak, Hadi Poernomo. Keuntungan itu didapatkan dari pengabulan keberatan pajak yang diajukan Bank BCA pada tahun 1999.
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha dalam perkara yang menjerat Hadi, bank BCA diuntungkan sesuai dengan pasal yang menjerat bekas Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tersebut. Hadi dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana oleh KPK.
"Kalau unsur di pasal 2 dan 3 kan menguntungkan orang lain atau korporasi, masuk di sana," kata Priharsa saat dikonfirmasi, Jakarta, Sabtu (23/5).
Untuk itu, lembaga antirasuah terus menelisik dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus itu. Termasuk dugaan keterlibatan Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja.
Priharsa pun tak menampik dalam penelusuran kasus ini, KPK tidak mengabaikan dugaan keterlibatan bos Bank raja Asia tersebut. Terbukti, Jahja masuk sebagai salah satu pihak BCA yang digarap KPK untuk dimintai keterangan. Jahja diperiksa lantaran diduga kuat mengetahui rentetan skandal korupsi yang dilakukan Hadi.
"Dikonfirmasi tentang dugaan peristiwa pidana yang terkait dengan pajak BCA 1999," jelas Priharsa.
Disinggung apakah lembaga antirasuah bakal menjerat pihak BCA dengan kapasitasnya sebagai koorporasi yang diuntungkan dari perbuatan Hadi. Priharsa hanya menegaskan pihaknya terus mendalami dugaan penyalahgunaan kewenangan yang berakibat menguntungkan satu pihak dan merugikan keuangan negara tersebut.
"Iya, terkait dengan diterimanya keberatan BCA soal pajak 1999," tandasnya.
Sebelumnya, bos Bank BCA Jahja Setiatmadja diperiksa oleh KPK pada ?Jumat (22/5). Pemanggilan terhadap Jahja untuk diperiksa merupakan yang kedua kalinya dilakukan oleh KPK. Diduga kuat, Jahja mengetahui rentetan skandal korupsi yang dilakukan Hadi.
Sejak menetapkan bekas Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan ini sebagai tersangka korupsi persetujuan surat keberatan transaksi non-performasce loan (NPL), atau kredit macet sebesar Rp 5,7 triliun diajukan BCA, KPK menegaskan bakal memeriksa sejumlah pihak termasuk Bos BCA, Jahja Setiaatmadja? guna mengungkap kasus korupsi tersebut.
Tak hanya itu, dikabarkan KPK menggandeng PPATK untuk menelusuri jejak harta kekayaan Hadi guna mengambil bukti adanya keterlibatan? pihak BCA dalam proses pelolosan permohonan keberatan pajak Bank BCA. Dari hasil penulusuran itu, PPATK menemukan sesuatu yang ganjal.
Saat itu, KPK pun berjanji bakal menjadwalkan pihak-pihak BCA untuk mengungkap adanya temuan dari penyelidikan PPATK tersebut. Namun, beredar kabar petinggi BCA melakukan upaya meredam informasi muncul ke publik dengan meminta KPK tidak mencantumkan nama-nama pihak BCA dalam jadwal pemeriksaan.
Hal itu dilakukan dengan dalil melindungi saham BCA agar tidak anjlok akibat terseret kasus korupsi pajak. Tapi, KPK menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengabulkan permohonan BCA. Menurut pihak KPK anjloknya saham BCA akibat terseret pidana korupsi merupakan resiko yang harus diterima.
Diketahui, KPK menjerat Hadi dengan dua pasal penyalahgunaan wewenang. Yakni Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah UU 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 kesatu KUHPidana.
Perbuatan melawan hukum dilakukan HP yaitu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas SKPN PPH PT BCA Tbk tahun pajak 1999 diajukan pada 17 Juli 2003. Padahal saat itu bank lain juga mengajukan permohonan sama tapi semuanya ditolak.
Hadi selaku Dirjen Pajak 2002 sampai 2004 mengabulkan permohonan keberatan pajak BCA melalui nota dinas bernomor ND-192/PJ/2004/ pada 17 Juni 2004. Menurut Hadi, BCA dianggap masih memiliki aset dan kredit macet yang ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional sehingga koreksi Rp 5,5 triliun itu dibatalkan. Karena pembatalan tersebut, negara kehilangan pajak penghasilan dari koreksi penghasilan BCA sebesar Rp 375 miliar.