Masalah pagar sulut lagi ketegangan petani vs TNI di Urut Sewu
Pada 16 April 2011 lalu konflik sempat menewaskan beberapa petani dan melukai warga.
Jalan Desa Tlogodepok, Kecamatan Mirit, Kebumen, Jawa Tengah, yang berada di kawasan jalur Daendels masih basah setelah hujan mengguyur sore itu. Rimbunan pohon yang ditanam, menyambut senja sepanjang jalan desa yang berujung pada kawasan pantai selatan.
Meski suasana wilayah perkampungan relatif adem, nuansa tegang masih terasa di sana. Ketegangan itu setidaknya nampak dari tuntutan warga yang dituangkan dalam potongan bahan plastik bekas karung beras di sepanjang jalan desa.
Pesan yang ditulis di antaranya berbunyi begini: "Ojo Dipager Tanduri Cikar Bae", "Tanah Belum Jelas Stop Pagar !!" dan beberapa tulisan lainnya, menemani perjalanan menuju lokasi pemagaran.
"Ini sisa kemarin saat aksi warga yang menolak aksi pemagaran tanah di (desa) Tlogodepok. Tadinya, semua tulisan ini ada di sepanjang jalan raya depan," ujar Ketua Organisasi Tlogo Wira Putra, Slamet Riyadi.
Namun, spanduk yang dipasang setelah aksi pada Kamis 7 November silam tersebut diturunkan beberapa orang yang pro-pemagaran.
"Setelah aksi tersebut spanduk diturunkan, dan kami pasang di jalan-jalan desa. Kami sebenarnya tidak ingin ada bentrok antarwarga sendiri. Karena pada dasarnya, kami memiliki hubungan saudara juga," ujarnya saat ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu.
Keresahan Slamet juga diungkapkan warga desa lainnya, Muhammad Sahwi (46) yang mengaku tidak senang dengan adanya pemagaran sepihak. Selama ini, Sahwi tidak mengetahui adanya sosialisasi pemagaran sejak semula.
"Saya nggak pernah diberikan sosialisasi. Tahu-tahu sudah dibangun saja. Kalau seperti ini, saya yang punya pohon di sebelah selatan menjadi susah, tidak seperti dulu," ujarnya.
Menurutnya, selama ini memang tanah pertanian yang digarapnya bersama petani dan penderes lainnya kerap menjadi tempat latihan TNI. Dia mengatakan, selama ini, kerap bingung kalau ada latihan perang.
"Kalau ada latihan perang, kami harus cepat-cepat ke kebun. Kalau biasanya jalan dari rumah jam 8-9 pagi, saat dipakai latihan kami harus datang sekitar pukul 7 pagi atau bisa lebih pagi lagi," ujarnya.
Selama latihan perang, petani praktis tidak bisa memasuki kawasan pertanian yang digarapnya. Latihan perang yang dilaksanakan didekat permukiman warga tersebut, jelas Slamet juga menyebabkan warga terganggu.
"Kadang kaca rumah sampai bergetar, bahkan suara senjata berat sampai malam hari," ujarnya.
Slamet menambahkan, saat ini kondisi masyarakat tidak bisa tenang hidup di desa berpenduduk 850 kepala keluarga. Dia meyakini, konflik antarwarga akan meruncing pada suatu saat.
"Beberapa waktu lalu saja ada konvoi yang dilakukan preman, masa tandingan warga. Kalau sudah seperti ini, kami sudah tidak bisa hidup tenang karena perpecahan ini," jelasnya.
Koordinator Urut Sewu Bersatu, Widodo Sunu Nugroho mengatakan, selama ini warga yang berada di 15 desa kawasan Urut Sewu masih terus memperjuangkan hak atas tanah yang dahulu diklaim milik TNI.
"Kami meyakini, tanah yang saat ini dipakai untuk latihan perang adalah milik warga. Karena ada bukti leter C dan ada beberapa orang tua yang meyakini memang tanah di sini milik warga," ujarnya.
Sunu menegaskan, saat ini warga akan terus memperjuangkan hak mereka. "Beberapa waktu lalu tanah ini diklaim TNI, tetapi baru-baru ini malah diakui negara. Anehnya, mereka selalu menggunakan perda tata ruang sebagai dasarnya. Padahal, kalau mengacu perda tata ruang, harusnya tidak menghilangkan hak milik warga," ujarnya.
Komandan Kodim 07/09 Kebumen, Letkol Inf Dany Rakca Andalasawan mengatakan, lahan yang dipagari sudah sesuai peraturan daerah tata ruang Kebumen. Menurutnya, dalam Perda dijelaskan batas teritorial yang selama ini dipakai untuk latihan TNI, berasal dari tanah atau lahan yang ditarik 500 meter dari bibir pantai ke utara.
"Batas itu yang kami pagar, dan sepanjang 500 meter tersebut tidak ada tanah milik warga," katanya.
Pemagaran tersebut, menurut Dany, merupakan kebijakan pemerintah untuk menertibkan aset negara berupa kawasan Hankam di Urut Sewu yang luasnya 1.150 hektare. Pembangunan tahap pertama dilakukan di tahun 2013 sepanjang 6 kilometer dari panjang kawasan Hankam yang mencapai 22,5 kilometer.
"Pemagaran pertama dimulai dari Tlogodepok ke arah barat sepanjang enam ribu meter," katanya.
Kawasan Urut Sewu, jelas Dany, merupakan aset negara yang digunakan TNI untuk meningkatkan profesionalisme TNI. Bukti tanah itu tanah negara, salah satunya dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 23 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen Tahun 2011-2031.
Konflik yang terjadi di kawasan Urut Sewu Kebumen Selatan sempat diwarnai pertumpahan darah warga yang melakukan perlawanan terhadap TNI pada 16 April 2011. Tragedi tersebut sempat menjadi sorotan karena beberapa petani tewas dan banyak yang terluka.