Membaca Motif 13 Prajurit TNI Aniaya KKB di Papua, Apa Pemicunya?
Kadispenad Brigjen TNI Kristomei Sianturi mengatakan kedepan Pomdam Brawijaya akan mendalami motif pelaku
Kadispenad Brigjen TNI Kristomei Sianturi mengatakan kedepan Pomdam Brawijaya akan mendalami motif pelaku
- Dipengaruhi Sabu, Ini Motif Pria Lansia Nekat Culik dan Sandera Bocah Perempuan di Pejaten
- Terungkap Motif Pasutri di Kediri Aniaya Anaknya hingga Tewas dan Dikubur di Samping Rumah
- Motif Pelaku Bacok Prajurit TNI Praka S di Bekasi Usai Teriak 'Begal'
- TNI AD Dalami Soal Motif 13 Prajurit Siksa KKB, Inisiatif Pribadi atau Perintah Atasan
Membaca Motif 13 Prajurit TNI Aniaya KKB di Papua, Apa Pemicunya?
Teka-teki motif dibalik penyiksaan yang menimpa anggota KKB dilakukan 13 prajurit TNI AD dari satuan Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya masih menyimpan tanda tanya.
Dengan proses Pomdam III/Siliwangi yang masih berjalan sampai saat ini.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi pun memberikan beberapa analisa kemungkinan dari motif penyiksaan yang dilakukan 13 Prajurit kepada anggota KKB Definus Kogoya.
"Dalam sebuah kekerasan kolektif, yang dilakukan oleh aparat sekalipun, ada beberapa hal yang mereka alami dan kemudian menggerakkan mereka melakukan kekerasan," kata Fahmi saat dihubungi, Selasa (26/3).
Pertama, Fahmi melihat ada sebuah pemicu yang kemudian ada identifikasi dan ada peran sosial yang dirasakan para prajurit. Sehingga dalam konteks video yang viral itu, kekerasan itu pun terjadi.
"Dapat dipicu oleh kegusaran prajurit yang dilatarbelakangi oleh kesulitan yang mereka alami di Papua akibat aksi KKB termasuk bagaimana rekan-rekan mereka gugur berkorban nyawa dalam upaya menumpas aksi," kata dia.
Kemudian, Fahmi mengatakan adanya pandangan dari prajurit yang merasa di hadapan mereka saat itu adalah musuh,
anggota KKB yang selama ini telah mempersulit mereka, mengganggu masyarakat dan mengancam kedaulatan negara.
"Mereka kemudian merasakan peran sosial bahwa orang ini harus dihukum, harus dihentikan dan jera melakukan aksinya. Nah dari sana, terjadilah proses depersonalisasi dibarengi dengan peningkatan emosi, desensitisasi dan dehumanisasi,"
kata Fahmi.
"Itu menjelaskan 'penghakiman' yang dilakukannya. Sama seperti sebagian masyarakat kita yang masih berusaha menghajar maling yang kena OTT. Sudah 'diamankan'-pun masih ada saja yang coba 'nggebuki' sampai remuk," tambahnya.
Meski begitu, Fahmi menyatakan setiap prajurit harus tetap memiliki ukuran yang bijak. Kapan sebuah tindakan atau kekerasan disebut sebagai sesuatu yang heroik dan kapan disebut sebagai gegabah.
"Itulah juga mengapa ada tes mental psikologi dalam rekrutmen personel. Karena mereka memang mestinya tak boleh mudah terpengaruh situasi," tuturnya.
Soal TNI Minta Maaf
Di sisi lain, Fahmi juga menanggapi soal permintaan maaf secara verbal yang diucapkan TNI atas insiden penyiksaan itu bisa berdampak lebih baik.
Asalkan substansial pada tingkat kepercayaan masyarakat terutama di Papua bisa terjaga.
"Dengan menggelar proses hukum yang fair bagi para pelaku dan memberikan sanksi juga pada para pimpinan yang bertanggungjawab," tuturnya.
Fahmi juga menyatakan sebuah kesalahan tetaplah kesalahan. Bahwa KKB juga kerap menyerang anggota TNI dan melakukan kekerasan terhadap warga, itu tidak bisa dianggap wajar.
"Mewajarkan tindak kekerasan oleh anggota TNI. Tindakan KKB memang tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan, tapi caranya adalah dengan upaya penegakan hukum juga," kata dia.
Dalami Motif
Sebelumnya, Kadispenad Brigjen TNI Kristomei Sianturi mengatakan kedepan Pomdam Brawijaya akan mendalami terkait dengan motif penyiksaan yang dilakukan para prajurit tersebut.