Memori Mei 1998: Melawan Hegemoni Soeharto dari Desa Cendono
Ini adalah cara halus menghancurkan hegemoni Soeharto. Sebab tidak mungkin melakukan perlawanan kepada Soeharto secara frontal.
Ada banyak peristiwa dari daerah yang tidak terekspos di balik lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Berakhirnya era orde baru setelah berkuasa selama 32 tahun. Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah sebelumnya terpilih kembali untuk ketujuh kalinya.
Sebulan sebelum Soeharto lengser keprabon, pada April 1998, sekitar 200 anggota Ansor dan Banser Kabupaten Kediri berkumpul di Masjid Desa Cendono, Kecamatan Kandat. Desa Cendono dipilih sebagai tempat untuk berkumpul bukan karena alasan.
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.
-
Kapan Soeharto dipanggil 'monyet'? Saat Perang kemerdekaan, Kolonel Gatot Soebroto memerintahkan Mayor Soeharto untuk bertahan di puncak sebuah bukit yang strategis.
-
Kapan Soeharto hampir diracun? Di Blitar Selatan, TNI juga menggelar Operasi Trisula. Saat Itulah, Soeharto Mengaku Sempat Mau Dibunuh Dengan Racun Tikus
-
Kenapa Soeharto ragu untuk melamar Ibu Tien? “Apa dia akan mau? Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat, ayahnya wedana. Pegawai Mangkunegaraan,” tanya Soeharto ragu.
-
Bagaimana reaksi Soeharto saat dipanggil 'monyet'? "Hei monyet, berani engkau melawan perintah," canda Pak Gatot. Tentu saja dia senang anak buahnya semua selamat.
-
Kenapa Soeharto diawasi ketat setelah Peristiwa G30S/PKI? Angkatan Darat tak mau Soeharto diculik oleh kekuatan PKi yang masih tersisa.
"Kalau rumahnya Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta, itu baru. Ini Cendana asli" canda pengasuh Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin, Kabupaten Malang,Kiai Ngabehi Agus Sunyoto (Ketua PB Lesbumi PBNU) saat itu.
Acara dimulai tengah malam, diawali bacaan 'mendoakan' agar Soeharto lengser. Ini adalah cara halus menghancurkan hegemoni Soeharto. Sebab tidak mungkin melakukan perlawanan kepada Soeharto secara frontal.
Kiai Ngabehi Agus berkisah. Upaya menghadapi Pak Harto harus menggunakan cara seperti menghadapi Prabu Salya dalam cerita pewayangan Perang Baratayudha. Prabu Salya adalah panglima perang Negara Astina. Dialah yang memiliki ajian Canda Bhirawa.
Dikisahkan dalam kisah pewayangan, Prabu Salya memiliki kesaktian mengubah diri menjadi raksasa. Bahkan, jika terkena senjata tajam dan meneteskan darah, tetesan darahnya itu akan menjelma menjadi raksasa serupa. Tidak heran Werkudara dan Arjuna, kedua senapati Negara Amarta, kalah dan lari dari gelanggang Payudan Kurusetra. Keduanya dikeroyok ribuan raksasa kecil, jelmaan dari ajian Canda Bhirawa milik Prabu Salya.
Prabu Salya kalah dan binasa ketika berhadapan dengan Prabu Puntadewa. Puntadewa adalah ksatria yang memiliki hati suci, ikhlas, dan memiliki kepasrahan total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari kisah pewayangan itu para kiai dan santri di Kediri menggunakan pendekatan doa untuk melawan hegemoni pemerintahan orde baru.
"Waktu reformasi, kekuatan Pak Harto lumpuh sampai lengser ketika menghadapi gelombang tekanan mahasiswa yang berjuang ikhlas, tanpa pamrih," terang Kiai Ngabehi Agus Sunyoto.
Saat itu, anggota Ansor dan Banser juga mengangkat Gus Dur menjadi Panglima Tinggi Banser di Masjid Cendono. Panglima yang akan berhadapan dengan Pak Harto.
"Kita perlu mengangkat KH Abdurrahman Wahid, Gus Dur, sebagai Panglima Tertinggi Banser," ucap Kiai Ngabehi yang langsung disambut teriakan serentak. "Siap!" kata hadirin yang datang.
Setelah Soeharto lengser, Gus Dur terpilih menjadi Presiden Indonesia. Gus Dur benar-benar menjadi Panglima Tertinggi.
Baca juga:
Setelah 23 Tahun, Reformasi Belum Selesai
Penjual Kopi Dadakan dan Mobil Misterius saat Pergerakan Mahasiswa Bandung 1998
Cerita Haji Embay Cegah Kerusuhan Mei 98 Meluas ke Banten Bagian Barat
Tragedi Mei 98: Surat Ancaman itu Datang Setiap Hari
Keluarga Korban Tragedi Semanggi I dan II Tempuh Kasasi atas Putusan PT PTUN