Mengenang Kegigihan Mbah Marto Rintis Warung Mangut Lele hingga jadi Kuliner Legendaris di Jogja
Mbah Marto tutup usia di umur 96 tahun pada hari ini karena sakit.
Warung Mangut Lele Mbok atau Mbah Marto berada di kawasan Sewon, Kabupaten Bantul, DIY. Warung Mangut Lele Mbah Marto ini menjadi salah satu ikon kuliner yang wajib dikunjungi jika sedang berwisata.
Bagi sebagian wisatawan, tak lengkap rasanya berwisata ke Yogyakarta tapi tak mampir untuk mencicipi Mangut Lele racikan dari Mbah Marto.
- Sejarah Gudeg, Makanan Manis Gurih Legendaris Yogyakarta yang Menggugah Selera dan Bikin Ketagihan
- Legenda Kuliner Yogyakarta Mbah Marto Tutup Usia
- Mencicipi Sate Sapi Bumbu Kacang Pedas Legendaris di Mojokerto, Tak Pernah Sepi Pembeli sejak 50 Tahun Silam
- Mencicipi Lontong Tuyuhan, Kuliner Khas Rembang Simpan Makna Filosofis
Mbah Marto Ijoyo merupakan sosok di balik warung tersebut. Perempuan yang tutup usia diumur 96 tahun pada Rabu 6 November 2024 ini menjadi cikal bakal rintisan mangut lele di Yogyakarta.
Putra kelima Mbah Marto Ijoyo, Poniman menceritakan bagaimana perjuangan Mbah Marto merintis warung makannya. Poniman menyebut Mbah Marto mulai berjualan Mangut Lele sejak tahun 1969.
Saat itu, Mbah Marto menjajakan mangut lele sambil berkeliling dengan jalan kaki. Dari Sewon, Mbah Marto berjalan kaki hingga Pasar Beringharjo dan Kraton Yogyakarta untuk menjajakan Mangut Lele.
"Simbok (Mbah Marto) itu orang kampung dari keluarga sederhana. Jadi dulu tidak punya sepeda. Jualannya ya jalan kaki sambil menggendong dagangan. Keliling gitu," kata Poniman.
"Dulu jalan kaki dari sini sampai Pasar Beringharjo, sampai Keraton Yogyakarta," sambung Poniman.
Poniman menerangkan, saking larisnya dagangan Mbah Marto, kadang baru sampai Plengkung Gading sudah habis dibeli pelanggan.
Tahun 1986, Mbah Marto kemudian memutuskan untuk tak lagi berkeliling dan membuka warung. Saat itu, Mbah Marto membuka warung sekitar 300 meter dari rumahnya di Sewon yang tak jauh dari ISI Yogyakarta.
"Dulu sempat buka 300 meter dari rumah. Waktu itu jualannya sudah ramai dan sering habis. Terus memutuskan untuk pindah dan jualan di rumah saja. Ternyata
malah makin ramai," ungkap Poniman.
Poniman mengungkapkan hingga lima tahun yang lalu, Mbah Marto masih memasak sendiri. Namun seiring bertambahnya usia dan keterbatasan kondisi fisik, Mbah Marto kemudian memercayakannya kepada anak dan cucunya untuk mengelola warung itu.
"Jadi simbok sudah melemparkan, mewariskan ke anak cucu sejak lima tahun lalu. Kadang simbok masih sering ke dapur utama. Kita sering minta pertimbangan," urai Poniman.
Meski tak lagi memasak, namun Mbah Marto masih tetap bekerja untuk warung. Mbah Marto masih membantu untuk mengupas bawang merah, bawang putih maupun memotong cabai.
"Setelah tidak kuat masak, si Mbah sempat ikut bikin tusukan lele. Setelah tidak kuat lagi lalu memotek cabai dan mengupas bawang merah dan bawang putih," kenang Poniman.
Poniman mengungkapkan sebelum kesehatannya menurun sejak beberapa bulan lalu, Mbah Marto masih mampu mengupas bawang hingga 12 kilogram perhari.
Poniman menjelaskan jika keluarga sebenarnya sudah meminta Mbah Marto untuk lebih banyak istirahat namun permintaan itu ditolak oleh Mbah Marto.
"Empat bulan lalu si Mbok sudah sedikit mengupas bawangnya. Biasanya 10-12 kg tapi dua tiga bulan ini hanya 1-2 kg saja. Anak-anak bermaksud agar biar Simbok tetap gerak dan sehat. Simbok itu marah kalau gak dikasih kerjaan," tutur Poniman.