Mpu Uteun, Kisah Perempuan-Perempuan Penjaga Hutan di Damaran Baru Aceh
Malapetaka pada September 2015 lalu telah mengubah wajah Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Kisahnya bermula pada suatu sore saat hujan deras turun mengguyur kampung.
Malapetaka pada September 2015 lalu telah mengubah wajah Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Kisahnya bermula pada suatu sore saat hujan deras turun mengguyur kampung.
Saat itu, warga lebih memilih berdiam diri di rumah. Guyuran hujan yang dianggap berkah oleh sebagian warga karena batang kopi dan tanaman lainnya bisa jadi subur itu, ternyata malapetaka yang mendera seluruh penghuni Desa Damaran Baru.
-
Apa yang dilakukan di Aceh saat Meugang? Mereka pastinya tidak ketinggalan untuk melaksanakan Meugang bersama keluarga, kerabat, bahkan yatim piatu. Tak hanya itu, hampir seluruh daerah Aceh menggelar tradisi tersebut sehingga sudah mengakar dalam masyarakatnya.
-
Di mana letak Pulau Banyak, gugusan pulau yang mempesona di Aceh? Di ujung barat Indonesia tepatnya di Provinsi Aceh, banyak dijumpai gugusan-gugusan pulau kecil yang indah dengan hamparan pasir putih dibalut dengan deru ombak yang begitu memanjakan mata. Salah satu gugusan pulau itu bernama Pulau Banyak yang berada di Kabupaten Aceh Singkil.
-
Kapan cengkih menjadi komoditas unggulan di Aceh? Komoditas cengkih pernah berjaya dan menjadi komoditas unggulan di Aceh pada era 1980-an.
-
Siapa Abu Bakar Aceh? Abu Bakar Aceh, seorang tokoh intelektual tersohor asal Aceh yang telah melahirkan banyak karya di bidang keagamaan, filsafat, dan kebudayaan.
-
Dimana lokasi petani di Aceh yang sedang panen cengkih? Seorang petani menunjukkan segenggam cengkih atau cengkeh yang telah dipetik setelah panen di sebuah hutan di Lhoknga, Aceh, pada 30 Januari 2024.
-
Apa yang menjadi beban kerja para buruh di perkebunan karet Aceh Timur? Mereka bisa bekerja lebih dari 12 jam dan sangat memberatkan fisik para buruh. Mereka biasanya menyadap getah selama 5 jam, mengurus pohon karet muda selama 3 jam, dan mengolah lateks menjadi bahan karet yang memakan waktu 5 jam.
Sumini (45), waktu itu sebagaimana warga lainnya, juga sedang berdiam di rumah. Sekalipun dingin menusuk-nusuk tulang, dia masih kuat menjalani aktivitas sebagai ibu rumah tangga dengan memberesi pekerjaan rumah. Dua anak bontotnya sedang larut di muka televisi.
Tiba-tiba dari hulu kampung yang berada di kaki gunung merapi Burni Telong mengeluarkan suara gemuruh. Lamat-lamat kian dekat menuju kampung. Banjir bandang tiba. Warga panik sembari coba menyelamatkan diri dan harta benda.
"Alur sungai penuh. Airnya keruh dan bau, seperti bau belerang. Kayu-kayu dari hulu gunung menumpuk terbawa banjir bandang," kenang Sumini saat ditemui merdeka.com.
Peristiwa yang terjadi di sore hari itu membuat warga Damaran Baru harus menanggung keserakahan para pembalak liar yang menebang hutan di sekitar Burni Telong. Beberapa rumah warga hancur dihantam banjir bandang. Kebun kopi rusak. Tanaman palawija juga turut kena dampak.
Trauma bencana ini menggerakkan warga Damaran Baru berubah. Terutama dari kalangan perempuan yang ingin bergerak melindungi kampung agar tak terulang kejadian yang sama.
Mereka mulai membentuk 'rangers' penjaga hutan. Kelompok yang kebanyakan diikuti ibu-ibu tersebut diberi nama Mpu Uteun. Dalam bahasa Gayo, penghuni dominan wilayah di dataran tinggi Aceh ini, Mpu Uteun memiliki arti penjaga hutan.
Berbekal izin yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2019 tentang pengelolaan hutan desa, perempuan-perempuan di Damaran Baru mulai menjaga hutan yang telah rusak.
Lewat komando Sumini, yang menjabat Ketua Lembaga Pengelola Hutan Kampung [LPHK] Damaran, perempuan di sana mulai mengembalikan fungsi hutan.
Mereka menanam pohon sembari berpatroli menjaga hutan dari pembalak liar dan pemburu satwa dilindungi. Beberapa laki-laki di kampung itu pun mulai sadar dan ikut terlibat. Mereka mendampingi perempuan Mpu Uteun saat berpatroli di hutan.
"Kami sadar ini pekerjaan berat. Tak ada pilihan lain, kami tak ingin kejadian (banjir bandang) yang sama terulang," ungkap Sumini.
Hutan di Desa Damaran Baru Aceh. ©2021 Merdeka.com
Menjadi Mpu Uteun bukan hal mudah bagi perempuan Damaran Baru. Mereka harus berkompromi dengan keluarga. Terlebih, kebanyakan anggota Mpu Uteun itu adalah ibu rumah tangga. Mereka harus meyakinkan keluarga bahwa aktivitas menjaga hutan tidak akan mengurangi peran sebagai ibu rumah tangga.
Belum lagi cibiran datang dari warga yang belum mengetahui lebih dalam kegiatan Mpu Uteun. Sumini berkisah, awal mula berdiri, Mpu Uteun malah mendapat penolakan dari warga setempat.
Alasannya sederhana. Perempuan naik gunung didampingi laki-laki itu bisa mengundang maksiat, melanggar syariat Islam.
"Kalau cerita soal maksiat, enggak usah berpikiran itu akan lebih mudah terjadi di hutan, di tempat ibadah pun, kalau orang niat pasti terjadi," kata Sumini.
Tapi kelompok Mpu Uteun tak patah arang. Selain terus berusaha menjaga hutan, mereka juga punya tantangan baru; pelan-pelan mengubah persepsi warga.
Satu persatu warga dirangkul. Dilibatkan dalam aktivitas Mpu Uteun maupun di lembaga LPHK Damaran. Persepsi itu kemudian sirna setelah warga tahu apa yang sebenarnya dilakukan Mpu Uteun dan manfaatnya untuk warga Damaran Baru.
Bentuk Ecovillage
Sukses merangkul warga serta menjaga hutan dengan menanam pohon dan tanaman perdu di sekeliling kampung, LPHK Damaran mulai memikirkan dampak ekonomi lain untuk warga.
Kelompok itu berinisiatif menjadikan Damaran Baru sebagai desa wisata berbasis alam (eco village) dengan tetap menjunjung tinggi kearifan lokal di sana.
Warga diberi pemahaman tentang potensi wisata di Damaran Baru yang bisa dikelola untuk mendatangkan wisatawan. Gunung Burni Telong adalah 'penggoda' utamanya.
Para penghuni Damaran Baru sedikit demi sedikit mulai sadar, desa ini ternyata punya potensi lain yang bisa dimanfaatkan. Warga kian simpati dengan gerakan yang dimulai oleh perempuan itu.
Satu persatu wisatawan yang tertarik mendaki Burni Telong lewat jalur kampung Damaran Baru berdatangan. Warga kena imbas ekonomi yang menguntungkan. Mulai dari pengantar mendaki Burni Telong, sampai penyedia penginapan atau homestay.
"Dulu saya salah satu orang yang berpandangan negatif terhadap Mpu Uteun ini. Tapi malah sekarang saya penerima manfaat kegiatan mereka. Saya menyesal tanpa melihat lebih jauh itu dulu," kata Aliman, warga kampung yang rumahnya kini menjadi salah satu homestay di Damaran Baru.
Aliman menuturkan, kehadiran perempuan penjaga hutan ini selain memberi manfaat ekonomi untuk warga, juga berdampak baik terhadap lingkungan di kampung.
Kampung yang berdiri di tanah subur di kaki gunung berapi Burni Telong itu ditanami berbagai macam bunga oleh Mpu Uteun. Bunga-bunga beragam warna ini tumbuh dan mempercantik kampung yang pernah 'luka' di tahun 2015 lalu.
"Tapi yang paling penting, hutan Burni Telong kami terjaga baik karena perempuan Mpu Uteun ini. Sebab Burni Telong adalah jantung bagi warga kami," ujarnya.
Keberhasilan gerakan sadar lingkungan dan wisata oleh perempuan-perempuan di Damaran Baru ini, rupanya berbuah manis. Kampung tersebut pada 2020 lalu diganjar juara pertama sebagai desa ekowisata terpopuler di ajang Anugerah Pesona Indonesia (API).
Cerita melindungi hutan yang kebanyakan didominasi kisah laki-laki, terpatahkan di Damaran Baru. Melindungi hutan adalah cerita milik semua gender.
(mdk/bal)