Kisah Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, Gelombang Rekrutan Kuli dari Masyarakat Jawa
Perkembangan perkebunan karet di Aceh Timur kerap menggunakan kuli yang berasal dari luar daerah, seperti Jawa hingga Tiongkok.
Perkembangan perkebunan karet di Aceh Timur kerap menggunakan kuli yang berasal dari luar daerah, seperti Jawa hingga Tiongkok.
Kisah Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, Gelombang Rekrutan Kuli dari Masyarakat Jawa
Masuknya bisnis kebun karet di tanah rencong ini tak lepas dari penjajah Belanda yang melihat potensi besar apabila komoditas yang satu ini dikembangkan lebih lanjut. Seiring berjalannya waktu, tanah-tanah perkebunan karet di Aceh Timur tepatnya di Langsa makin meluas. Beberapa lahan tanah tersebut secara mutlak dikuasai bangsa barat atau orang kulit putih. Mengutip buku "Mengadu Nasib di Kebun Karet: Kehidupan Buruh Onderneming Karet di Aceh Timur, 1907-1939" karya Mawardi Umar (2015), kebanyakan orang kulit putih di perkebunan Aceh Timur mayoritas menggeluti bidang pekerja administrasi di perkebunan atau di pabrik sebagai teknisi.
Hampir seluruh perkebunan yang ada di Sumatra Timur hingga Aceh, memiliki banyak kuli yang didatangkan dari luar pulau. Mayoritas hampir dari Pulau Jawa dan beberapa lagi ada yang dari Tiongkok bahkan India. Kelas pekerja di sektor pertanian pada awal abad ke-20 khususnya dari luar Jawa sebagian besar mengadu nasib di perkebunan karet. Mereka ini sangatlah penting untuk pengembangan perkebunan karet dan tentunya bisa menghasilkan komoditi yang berkualitas.
Gagal Rekrut Masyarakat Lokal
Ketika pembukaan perkebunan karet di Langsa, Gubernur Sipil dan Militer bernama van Daalen sudah berencana merekrut para pekerja dari masyarakat lokal. Tujuannya agar terbentuknya sikap anti terhadap pemerintah kolonial.
-
Kenapa Belanda datangkan buruh Jawa? Minimnya pekerja di perkebunan maupun di pabrik membuat produksi semakin tersendat. Minimnya tenaga kerja di Pulau Sumatera membuat para pengusaha memutar otaknya. Akhirnya muncul inisiatif mendatangkan tenaga kerja langsung dari Pulau Jawa.
-
Bagaimana buruh Jawa bekerja di perkebunan? Hampir seluruh kuli yang didatangkan ini rata-rata masih di usia yang cukup muda. Mereka yang berangkat ke Pulau Sumatera adalah orang-orang yang siap bekerja di perkebunan dengan sistem kontrak atau biasa disebut dengan istilah Koeli Kontrak.
-
Mengapa perusahaan kayu jati Belanda mengeksploitasi kayu jati di Jawa? Salah satu potensi kekayaan alam di Pulau Jawa adalah kayu jatinya. Hal inilah yang membuat Belanda menduduki dan membangun pusat pemerintahan di pulau ini. Sejak saat itulah kayu jati yang berada di daerah pelosok Jawa itu dieksploitasi habis-habisan.
-
Siapa yang menjadi buruh di perkebunan? Adapun beberapa wilayah di Jawa yang menjadi pemasok utama para pekerja buruh perkebunan, mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.
-
Kapan Belanda mulai mengelola perkebunan karet di Langsa? Kemudian dibukalah perkebunan karet di Langsa pada tahun 1907 dengan tanah seluas 5.000 hektare.
-
Contoh akulturasi apa di Jawa Tengah? Adanya rumah-rumah dengan arsitektur nuansa China Kuno yang terdapat di daerah Tembang dan Lasem, Jawa Tengah.
Tak hanya itu, mereka juga cenderung memilih menjadi petani atau nelayan karena lebih bebas dan dianggap lebih ringan. Secara politik, masyarakat Aceh masih terpengaruh dalam perang sabil melawan Belanda.
Datangkan Buruh Migran
Sedikitnya tenaga kerja lokal untuk sektor perkebunan karet mengakibatkan perusahaan memilih mendatangkan pekerja dari luar daerah. Memang, saat itu kuli Jawa cukup dicari oleh perusahaan swasta sebagai pekerja perkebunan.
Perkembangan perkebunan karet ini juga bertepatan dengan penggunaan buruh-buruh di luar Jawa dari buruh Cina ke buruh Jawa. Ada beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan buruh, salah satunya adalah larangan pemerintah Tiongkok untuk merekrut warganya menjadi buruh.
Meningkatnya Buruh Jawa
Pada tahun 1910, telah didatangkan buruh Jawa ke Aceh Timur sebanyak 858 orang. Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada Perang Dunia I, jumlah buruh meningkat menjadi 7.869 orang.
Pada tahun 1917, jumlah imigran Aceh terus melonjak tajam. Diperkirakan sudah mencapai angka 14.000 orang dan dalam satu dekade, menjadi 20.000 orang. Pada puncaknya, pekerja buruh di Aceh sudah mencapai 30.000 orang.
Namun, dengan adanya depresi ekonomi awal tahun 1930-an, pekerja dari Jawa ini semakin menurun.
Beban Jam Kerja
Pada praktiknya, pekerja buruh di perkebunan karet tak jauh berbeda dengan pekerja yang ada di perkebunan lainnya terutama di Sumatra Timur. Mereka bisa bekerja lebih dari 12 jam dan sangat memberatkan fisik para buruh.
Mereka biasanya menyadap getah selama 5 jam, mengurus pohon karet muda selama 3 jam, dan mengolah lateks menjadi bahan karet yang memakan waktu 5 jam.