Muhammadiyah sebut posisi umat Islam dalam kebangsaan harus jelas
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, menegaskan bahwa umat islam merupakan bagian penting dari persatuan Indonesia, bahkan sebagai pembela bangsa. Sehingga posisinya harus jelas perannya dalam konteks kehidupan berbangsa di Indonesia ini.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, menegaskan bahwa umat islam merupakan bagian penting dari persatuan Indonesia, bahkan sebagai pembela bangsa. Sehingga posisinya harus jelas perannya dalam konteks kehidupan berbangsa di Indonesia ini.
Untuk mencapainya, Haedar mengajak semua pihak untuk berdialog membahas kondisi umat Islam di Indonesia saat ini.
"Satu sama lain harus berdialog. Dalam konteks inilah dicari bagaimana formula dan posisi dan peran umat Islam Indonesia termasuk dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan," kata Haedar di gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/5).
Saat ini, kata Haedar, PP Muhammadiyah tenah menyiapkan konsep besar mengenai hal tersebut. Serta ingin melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaannya.
"Ini agenda yang tidak boleh diabaikan dan harus jadi PR (Pekerjaan Rumah) kita semua. Umat islam ini secara kolektif, satu sama lain tidak bisa bernegosiasi," ujar Haedar
"Kalau mau, kekuatan-kekuatan organisasi islam, parpol-parpol islam berdialog dan mendialogkan gimana posisi umat islam yang jelas di Republik Indonesia ini. Ini agenda besar kita," pungkas Haedar.
Sementara soal Pilkada DKI Jakarta, dia menyebut telah melahirkan banyak dimensi. Di antaranya dimensi politik dan dimensi keagamaan.
"Dan berbagai problem lain yang saling silang kepentingan dan menyatu menjadi sebuah gumpalan politik yang cukup tinggi tensinya secara regional DKI dan lebih dari itu secara nasional," ujarnya. Bahkan, kata Haedar, masalah tersebut meluas hingga menjadi skala global dan mendapatkan perhatian luar biasa dari dunia.
Dia menceritakan, ketika PP Muhammadiyah menerima kunjungan 23 orang duta besar Uni Eropa, semunya menanyakan hal sama. Terutama tentang kondisi Pilkada DKI Jakarta.
Tidak hanya itu, Haedar juga mengatakan bahwa Pilkada DKI telah memunculkan sebuah fenomena baru. Di mana artikulasi umat islam atas ketidakpuasan tertentu, baik karena isu penistaan agama, maupun karena masalah lain bersifat politik ekonomi budaya telah memunculkan New Islamic Movement.
"New Islamic Movement ini gerakan islam yang sifatnya baru dan tidak tercover oleh partai islam sekalipun. Lahirnya gerakan islam 212 dan sebagainya nanti tambah lagi, ini merupakan sebuah isyarat," tandas Haedar.
Haedar mengungkapkan bahwa PP Muhammadiyah telah mengatakan kepada berbagai bukan mewakili sekelompok kecil Islam dicap radikal. "Boleh jadi ini merupakan wujud dari artikulasi yang tidak tersalurkan dan akhirnya memperoleh momentum," kata Haedar.
Lebih jauh, Haedar mencontohkan, kondisi umat islam di Indonesia ini ibarat orang sedang memakai baju kekecilan. "Umat islam yang seperti punya pakaian atau baju kesempitan dan merasa tidak pas untuk dirinya dan akhirnya baju itu robek dan kalau baju robek bawaannya jengkel, gampang marah dan sensi," ungkapnya.
"Ini perlu dibaca oleh banyak kekuatan agar tidak salah paham memposisikan tentang kekuatan mayoritas ini tanpa mengancam relasi sosial dengan seluruh komponen bangsa dalam suatu kesatuan yang disebut kebhinekaan karena pada dasarnya umat Islam itu selain punya rasa keagamaan sesungguhnya umat Islam itu sangat cinta kebhinekaan," tambahnya.