Notaris di Surabaya dipolisikan ahli waris karena dituduh memeras
Ahli waris mengaku diperas Rp 200 juta untuk bisa mendapatkan kembali surat-surat rumah warisan almarhumah ibunya.
Dokumen rumahnya ditahan notaris berkantor di Jalan Bubutan/117 A, Surabaya, Jawa Timur, Rainny Deborawati Elim bersama lima saudaranya mengadu ke Polda Jawa Timur. Perempuan 61 tahun ini juga mengaku diperas Rp 200 juta untuk bisa mendapatkan kembali surat-surat rumah warisan almarhumah ibunya tersebut.
Diceritakan saudara sepupu sekaligus juru bicara keluarga, Lies Setiyadi, persoalan itu bermula ketika ibu dari Rainny, Kristina Dewi meninggal pada 6 Januari 2015 lalu. Dewi meninggal di usia 80 tahunan.
Sebelum meninggal, Dewi sempat menitipkan wasiat dan dokumen rumahnya di Perum Kris Kencana Sari XI/2, Mayjen Sungkono, Surabaya kepada notaris Sugiharto.
"Saat Ibu Dewi meninggal, Sugiharto ini datang di Adiyasa menemui semua anak-anak Ibu Dewi dan meminta semuanya datang ke kantornya di Jalan Bubutan. Kemudian Sugiharto mengatakan, surat-surat rumahnya ada padanya dan Ibu Dewi menitip wasiat," terang Lies, Jumat (22/5).
Anehnya, lanjut dia, saat dokumen rumah itu diminta anak-anak Dewi, Sugiharto tidak mau memberikannya. "Dia justru meminta uang tebusan Rp 200 juta. Ada rekamannya, dia melakukan pemerasan. Dia juga melaporkan kita ke Polsek Bubutan, dengan tuduhan membuat kekacauan di rumah orang," sambung Lies.
Selanjutnya, pihak keluarga (enam anak Dewi) memberi toleransi waktu hingga 19 Mei. Jika surat-surat rumah itu tidak diberikan, persoalan tersebut akan dibawa ke ranah hukum. "Tapi dia (Sugiharto) malah nantang ketemu di pengadilan. Ya sudah, saat deadline waktu yang kita berikan habis, kita membuat laporan ke Polda Jawa Timur," akunya.
Laporan itu bernomor: TBL/818/IV/2015/UN/ Polda Jatim, tertanggal 19 Mei dan ditandatangani Ka Siaga C SPKT Polda Jawa Timur, Kompol Djuwadi. Dalam laporan itu, anak-anak almarhum Kristina Dewi melaporkan Sugiharto atas tuduhan pemerasan, penipuan dan penggelapan dokumen rumah.
Sementara anak kedua dari alamarhum Dewi, Rainny Deborawati Elim menceritakan, dia dan kelima saudaranya tidak tahu bagaimana ceritanya dokumen rumah ibunya itu bisa berada di tangan Sugiharto.
"Kita enam bersaudara ini kan tidak tinggal di Surabaya, ada yang di Malang, ada yang di Amerika, dan lainnya. Waktu mami (Dewi) meninggal kita disuruh datang ke kantornya Sugiharto. Dia mengaku dapat wasiat dari mami dan dititipi surat rumah," cerita Rainny mewakil lima saudaranya.
Karena Rainny dan kelima saudaranya sudah tinggal dan memiliki rumah masing-masing, akhirnya diputuskan untuk menjual rumah ibunya tersebut.
"Kita sepakat mau jual rumah itu, tapi bagaimana mau menjual kalau surat rumahnya tidak ada, saat kami minta tidak diberikan sama Sugiharto. Dia malah minta tebusan Rp 200 juta, ini kan namanya memeras," sesal Rainny.
Nah, masih cerita Rainny, saat pihaknya masih ingin menyelesaikan masalah tersebut secara baik-baik dengan kembali mendatangi kantor tempat Sugiharto bekerja, Rainny dan saudara-saudara malah dituduh membuat huru-hara. Si notaris memanggil petugas dari Polsek Bubutan untuk menangkap Rainny dan keluarganya.
"Lima hari sebelum batas akhir, yaitu tanggal 19 Mei kami datang menemui Sugiharto, tapi tetap tidak ada itikad baik mengembalikan surat hak waris kami. Dia justru melaporkan kami ke Polsek Bubutan dan meminta KTP saya," akunya.
Saat itu juga, masih kata Rainny, dia langsung mendatangi Polda Jawa Timur untuk membuat laporan atas kasus yang dihadapinya.
Sementara dalam rekaman video yang disimpan pihak Rainny, terekam jelas Sugiharto menantang 'perang' pihak Rainny di pengadilan. "Saya nggak mau serahin, kita ke pengadilan saja," tegas Sugiharto seperti rekaman video yang ditunjukkan keluarga Rainny.