Pakar soal PK Mardani Maming: Kalau Tidak Ada Novum Baru, Putusannya Jangan Ringan
Sholehuddin mengingatkan, syarat PK sudah jelas tertera di Pasal 263 Ayat 2 KUHAP yaitu adanya novum atau keadaan baru.
Pakar hukum dan akademisi Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara), Sholehuddin memastikan, pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terpidana korupsi Mardani Maming kepada Mahkamah Agung (MA) membutuhkan bukti atau novum baru.
"PK itu peninjauan kembali yang hanya dibatasi dengan adanya novum. Ini yang diawasi, benar-benar ada novum tidak, jangan-jangan kemudian diada-adakan dalam tanda petik kemudian putusan menjadi lebih ringan dan bebas," kata Sholehuddin, Senin (4/11).
Sholehuddin mengingatkan, syarat PK sudah jelas tertera di Pasal 263 Ayat 2 KUHAP yaitu adanya novum atau keadaan baru. Dia pun meminta seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawasi proses perkara tersebut hingga keluarnya putusan.
"Tentunya harus diawasi masyarakat harus mengawal terus, terutama ahli hukum, juga perlu mengawasi jangan hanya banyak berkomentar seperti tidak ada ujung pangkalnya, hanya membuat riak-riak," kata dia, dikutip dari Antara.
Dia juga mengharapkan aparat penegak hukum dapat turun tangan jika memang terindikasi proses pengajuan PK tersebut menjadi obyek permainan dari mafia kasus peradilan.
"Semua perkara yang memang ada indikasi akan dimainkan harus diawasi secara ketat," kata dia lagi.
Dalam kesempatan terpisah, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mendukung adanya pengusutan secara tuntas terkait kasus suap Rp1 triliun yang menjerat eks pejabat MA Zarof Ricar.
Zaenur turut menekankan semua kasus yang diduga diatur Zarof Ricar perlu diusut, termasuk kabar PK Mardani Maming yang akan diloloskan dengan putusan ringan atau bahkan bebas.
"Prinsipnya semua kasus yang diduga diatur oleh ZR perlu dibongkar dan direview. Apakah PK Mardani Maming termasuk? Tugas penyidik kejaksaan untuk selidiki," ujar dia.
Dia menambahkan pengungkapan uang Rp1 triliun yang ditemukan di kediaman Zarof Ricar juga telah menunjukkan buruknya kondisi dunia peradilan di Indonesia.
Sebelumnya, terpidana korupsi Mardani Maming kembali mendaftarkan PK bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024 pada 6 Juni 2024 kepada MA dengan status saat ini dalam proses pemeriksaan majelis hakim.
Padahal, pengusaha asal Kalimantan Selatan tersebut terbukti menerima suap atas penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) dan telah divonis 10 tahun oleh Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin dengan denda Rp500 juta.
Untuk kasus tersebut, Mardani Maming terbukti tidak menerima uang secara langsung, tetapi melalui PT Trans Surya Perkasa (TSP) yang bertugas mengutip fee di pelabuhan milik pengusaha yang mendapatkan IUP tersebut.
Mardani Maming sempat mengajukan proses banding di tingkat pertama pada Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin serta kasasi ke MA, tetapi keduanya ditolak sepenuhnya oleh majelis hakim.
Namun, dugaan adanya permainan untuk proses PK sangat kental, karena tersangka makelar kasus suap dalam putusan tingkat kasasi terhadap Gregorius Ronald Tannur, yang merupakan eks pejabat MA Zarof Ricar mempunyai kedekatan dengan sejumlah pimpinan MA.
Zarof Ricar bahkan sempat mengikuti kunjungan kerja Ketua MA Sunarto, yang merupakan ketua majelis hakim perkara PK Mardani Maming, ke wilayah Madura pada akhir September lalu.
Nama Zarof Ricar tercantum dalam kunjungan kerja pimpinan dan pejabat Mahkamah Agung (MA) bernomor 14/W.K.M.A/Y/SB/H.M2.1.1/XI/2024 bertanggal 17 September 2024 atau merupakan salah satu dari 14 rombongan yang ikut.
Sementara itu, untuk proses pengajuan PK terbaru, Komisi Yudisial (KY) telah menyurati pimpinan MA untuk memantau persidangan guna mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dari majelis hakim.