Pasien BPJS meninggal usai melahirkan, diduga korban malapraktik
"Setelah itu istri saya merasa sesak napas, mual dan akhirnya muntah. Tapi oksigen tetap terpasang. Hingga akhirnya pada pukul 04.30 Wib, Kamis (4/1) dimasukan ke ruang ICU karena melihat kondisi yang semakin memburuk," jelasnya
Ramdan Sumanta (37) pengemudi ojek online masih belum menerima jika sang istri, Ranita (37) harus meninggal dunia pasca melahirkan secara secsio caesar di Rumah Sakit Bhakti Asih, Karang Tengah, Cieldug, Kota Tangerang.
Dia merasa, kematian sang istri akibat kelalaian pihak Rumah Sakit yang salah dalam menangani pasien. Hal itu terlihat dari kejadian yang berlangsung sebelum almarhumah menghembuskan napas terakhirnya di ruang ICU RS Bhakti Asih, pada 4 Januari 2018 kemarin.
-
Apa itu Program Pesiar BPJS Kesehatan? BPJS Kesehatan resmi meluncurkan program Petakan, Sisir, Advokasi dan Registrasi (PESIAR). Program tersebut dihadirkan untuk mengakselerasi proses rekrutmen peserta dan meningkatkan keterlibatan aktif dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
-
Apa yang dihapus dari BPJS? Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah menjawab pertanyaan publik terkait naiknya iuran ketika Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) berlaku.
-
Bagaimana BPJS Kesehatan menangani pengaduan peserta di rumah sakit? Petugas rumah sakit yang ditunjuk akan bertugas memberikan informasi dan menangani pengaduan peserta JKN terkait pelayanan. Selanjutnya, petugas akan mencatat pada aplikasi Saluran Informasi dan Penanganan Pengaduan (SIPP)," jelas Ghufron saat peluncuran yang terpusat di RSUP Dr. Sardjito, Jumat (29/9).
-
Siapa yang bisa memanfaatkan POROS BPJS Kesehatan? "POROS BPJS Kesehatan dapat diakses oleh peserta JKN yang sedang mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan, baik tingkat pertama maupun tingkat lanjutan melalui x-banner atau poster yang tersedia di area pendaftaran maupun pelayanan," tambah Ghufron.
-
Kenapa kelas BPJS dihapus? Irsan mengatakan, untuk penyesuaian iuran ini masih perlu diskusi lebih lanjut.
-
Bagaimana BPJS Kesehatan meningkatkan layanan kesehatan bagi pesertanya? Salah satu upaya yang dilakukan melalui pertemuan antara Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti bersama Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas'ud.
Ramdan hingga kini masih mencari keadilan, atas dugaan kasus kelalaian rumah sakit tersebut, namun pihak RS tak pernah memberikan data rekam medis pasien selama di RS.
Dijelaskan Ramdan, berawal dari dirinya bersama sang istri Ranita yang merupakan pasien peserta BPJS Kesehatan itu berniat untuk check up kehamilannya di Klinik Bhakti Asih (3/1) kemarin.
Namun, saat dilakukan Ultrasonografi (USG) dengan dr. Rahmadsyah dan satu perawatnya, sang istri disebutkan kehamilannya telah mecapai bukaan tiga. Dan almarhum, disarankan untuk menjalankan operasi seksio caesar di Rumah sakit Bhakti Asih.
"Istri saya ini peserta BPJS, sebelumnya rutin memeriksakan kandungan ke klinik Bhakti Asih, karena memerlukan tindakan operasi, almarhumah dirujuk ke RS Bhakti Asih, yang masih satu manajemen," ucapnya.
Diterangkan Ramdan, semula dirinya dan sang istri hanya ingin check up saja, namun setelah dicek oleh perawat. Diketahui memiliki riwayat darah tinggi, serta minus tiga pada matanya, Ranita tidak diperkenankan melakukan persalinan normal.
"Jadi kita tanda tangan persetujuan untuk lakukan operasi caesar," kata dia Rabu (1/2).
Dalam penandatanganan surat persetujuan itu, lanjutnya, pihak RS Bhakti Asih menerangkan kemungkinan terburuk dari tindakan operasi itu terhadap almarhumah. Pihak RS juga berjanji akan merujuk pasien jika pasien tak mampu tertangani di RS Bhakti Asih.
"Jadi dalam surat itu pihak rumah sakit akan merujuk istri saya jika ada kemungkinan hal terburuk. Karena perawat itu bilang, bahwa di Bhakti Asih ini tidak memiliki peralatan yang lengkap untuk penanganan," bilang dia.
Hingga akhirnya setelah pihak keluarga yang menggunakan BPJS itu diminta untuk bayar saat melakukan uji laboratorium, operasi caesar dilaksanakan. Tak lama sang bayi pun lahir dengan berat 2650 gram dengan panjang 47 centimeter dengan selamat tepat pada pukul 13.36 Wib.
"Setelah operasi caesar itu, istri saya dipindahkan ke ruang persiapan operasi lalu dipindahkan ke ruang perawatan. Sekitar pukul 15.00 Wib, istri mulai kedinginan dan sudah sadar walaupun keadaanya masih lemas," terang dia.
Lalu sekitar pukul 18.30 Wib, sang istri merasa haus dan lapar. Setelah diperbolehkan minum dan makan bubur dari pihak rumah sakit. Obat yang diketahuinya untuk penurun darah tinggi diminum setelah diberikan oleh seorang perawat.
"Dari situ mulai ada kejanggalan. Yaitu muka dan mata istri saya bengkak-bengkak dan akhirnya perawat baru menanyakan, apakah istri bapak mempunyai alergi obat? Di situ saya merasa aneh. Kenapa tidak dicek terlebih dahulu untuk mengetahui jika ada alergi obat," terangnya.
Hingga akhirnya, lanjut Ramdan, perawat itu menyebutkan bahwa ia akan memberikan obat penetralisir dan mengurangi rasa nyeri. Sebab, rasa nyeri pasca operasi dan sesak napas masih terus dirasakan hingga tengah malam sekitar pukul 12.00 Wib lewat.
"Setelah itu istri saya merasa sesak napas, mual dan akhirnya muntah. Tapi oksigen tetap terpasang. Hingga akhirnya pada pukul 04.30 Wib, Kamis (4/1) dimasukan ke ruang ICU karena melihat kondisi yang semakin memburuk," jelasnya
Saat penanganan di ruang ICU, Ramdan pun sempat melihat tindakan dari tim medis yang disitu terlihat ada dua dokter. Yaitu dr. Rahmadsyah dan dr.Ilham selaku dokter jaga serta tiga perawat.
"Istri saya terlihat ditekan-tekan dadanya dan di pompa oksigen melalui hidung. Tidak ada satu jam di ruang ICU, isti saya dinyatakan meninggal," ucap Ramdan.
Dari kematiannya itu, pasangan yang beralamat di Jalan KUD, Kelurahan Sudimara Jaya, Kecamatan Ciledug ini pun merasa pihak rumah sakit dianggap tidak menjalankan sesuai dengan persetujuan awal yang akan merujuk istrinya, jika memang pihak RSU Bhakti Asih tidak menyanggupi penangananinya.
"Dan saat divonis meninggal, yang memberitahukan saya yaitu dokter jaga dr.Ilham. Katanya karena darah tinggi dan ada penyakit jantung. Tapi kenapa tidak pernah ditawarkan rujukan, padahal dalam suratnya minim peralatan akan dirujuk. Pada saat itu, bayi masih di inkubator karena katanya masih sesak karena usia lahirnya belum cukup hari kandungan baru 35 minggu," jelasnya.
Bantahan RS Bhakti Asih Ciledug
Dr Ferdy Kepala Bidang Pelayanan Medis RS Bhakti Asih membantah adanya kelalaian dari pihak RS Bhakti Asih yang menyebabkan korban meninggal Dunia.
Menurut dia, meninggalnya korban bukan karena kelalaian pihak RS, melainkan dua kemungkinan medis yaitu, meninggal karena Preeklamsi berat (PEB) dan curiga Emboli Air Ketuban.
"Yang menjadi masalah adalah kemungkinan terjadi emboli air ketuban. Itu kerjanya cepat dan sulit kita deteksi. Kasus ini jarang, tetapi kasus kematian karena hal itu tinggi mencapai 90 persen," ucap dia saat dikonfirmasi.
Dijelaskan dia, Emboli air ketuban adalah suatu komplikasi dimana ada gelembung udara yang masuk pembuluh darah ke jantung dan berujung ke respiratory distress syndrome atau gangguan jantung.
"Itu kemungkinan penyebabnya. Karena walaupun sebelumnya operasi dilakukan uji laboratorium, hal itu tidak ketahuan," terang dia.
Menurut Ferdy, pihak rumah sakit juga telah menganjurkan untuk ke rumah sakit besar, setelah didiagnosa awal preeaklamsia berat atau risiko tinggi kematian akibat melahirkan.
"Namun dari keluarga dan pasien tidak mau karena sudah tidak kuat, almarhumah ini punya riwayat darah tinggi dan Mata minus lima," ucap dia.
Selain itu, lanjutnya, pihak rumah sakit juga telah menjelaskan kepada pihak keluarga pasien jika dalam proses persalinannya itu beresiko cukup tinggi, hingga hal terburuknya adanya potensi kehilangan nyawa.
"Karena tindakan yang diambil adalah seksio. Tidak mungkin melahirkan secara spontan karena resikonya lebih besar dibanding dengan seksio. Dan akhirnya dilakukan operasi seksio dengan izin dari keluarga pasien," ucapnya.
Sementara, untuk adanya efek alergi obat timbul di wajah pasien saat itu, Ferdy mengaku, pihaknya secara general telah menanyakan kepada pasien tersebut. Pasien pun menyebutkan dirinya tidak memiliki alergi obat.
"Sebelumnya sudah ditanya kepada pasien, dan dijawab tidak ada. Jadi yang masuk itu obat yang umum diberikan kepada pasien sesar, untuk penghilang nyeri. Karena almarhum juga punya riwayat Hipertensi, kita berikan satu obat penurun darah, yang kemungkinan menimbulkan alergi. Karena kami juga tidak tahu kalau almh punya alergi terhadap obat," terang dia.
Untuk pasien sediri, pihak rumah sakit mengaku telah melakukan observasi selama 2x24. Seperti menensi pasien dan menanyakan adanya keluhan atau ada rasa nyeri. "Sampai kita masukin obat berkurang bentol dan bengkaknya. Observasi lagi ada nyeri perut, dan lakukan pengecekan. Saat perawat memberi obat terapi itu dokter mengetahuinya," katanya.
Sehingga, menurutnya, jika karena obat penetralisir atau anti nyeri itu tidak dapat menimbulkan kematian. "Jadi untuk alergi itu secara spesifik belum diketahui, karena obat yang mana oral atau obat anti nyeri. Faktor alergi itu kita juga belum tau," ucapnya.
Baca juga:
Menko PMK: Arahan Presiden tidak menaikan iuran BPJS Kesehatan
INDEF sebut pemerintah keliru gunakan cukai tembakau tambal defisit BPJS Kesehatan
72 Ribu warga Solo belum terdaftar JKN
Aplikasi P-Care BPJS buatan Medico hubungkan semua RS di Indonesia
Semarak hiburan 40 jam bersama BPJS