Pemerintah Tolak Pernikahan Beda Agama, Ini Landasan Hukumnya
Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU Perkawinan terkait pernikahan beda agama. Pemerintah menolak pengesahan pernikahan beda agama.
Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU Perkawinan terkait pernikahan beda agama. Pemerintah menolak pengesahan pernikahan beda agama.
Berdasarkan pandangan pemerintah dalam risalah sidang uji materi, ditegaskan UU Perkawinan yang berlaku tidak bertentangan dengan UUD 1945.
-
Bagaimana pernikahan tersebut dilakukan? Pernikahan tersebut selayaknya yang terungkap dalam video singkat unggahan akun Instagram @undercover.id beberapa waktu lalu. Video berdurasi pendek itu menampilkan momen sakral saat kedua mempelai tengah menjalani proses akad nikah. Diketahui, pernikahan tersebut berhasil digelar melalui jalur pendekatan taaruf dari kedua belah pihak.
-
Kenapa ucapan pernikahan penting? Tak sekedar mengikat janji suci, kedua pasangan juga akan berbagi kebahagiaan dengan keluarga dan orang terdekat mereka.
-
Di mana pernikahan ini dilangsungkan? Dalam acara sakral yang digelar di Desa Long Beluah, Kecamatan Tanjung Palas Barat, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara itu terlihat pengantin pria bernama Mirza Robert MN Pitt mendatangi rumah mempelai perempuan didampingi sang ibu.
-
Apa yang diklaim oleh unggahan yang beredar tentang akad nikah? Beredar unggahan yang mengeklaim per tanggal 1 Januari 2025, akad nikah hanya bisa dilaksanakan pada hari dan jam kerja saja. "PENGUMUMANPertanggal 1 Januari 2025Akad nikah hanya bisa dilaksanakan pada hari dan jam kerja saja," narasi yang beredar.
-
Bagaimana cara melakukan sungkeman pernikahan? Sungkeman dilakukan oleh mempelai pria dan mempelai wanita kepada orang tua. Sungkeman ini merupakan simbol pertanda bahwa mereka sebagai mempelai ingin menghormati dan mengucapkan terima kasih atas segala pengorbanan dan kasih sayang yang sudah diberikan selama ini.
-
Kapan Diah Permatasari dan suaminya menikah? Mereka mengucapkan janji suci pada tanggal 5 April 1997. Kini, mereka telah menikah selama 24 tahun dan diberkati dengan kedua anak mereka.
"Menolak Permohonan Pengujian Pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‑tidaknya menyatakan Permohonan Pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mewakili Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Hukum dan HAM membacakan pandangan pemerintah dalam rapat 6 Juni 2022, dikutip dari risalah sidang, Senin (4/7).
Pemerintah memandang, hukum perkawinan dari agama dan kepercayaan yang dianut di Indonesia berbeda-beda. Sehingga tidak dapat disamakan suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan. UU Perkawinan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh pemeluk agama di Indonesia.
Selain itu, beberapa landasan hukum perkawinan ada yang mengatur larangan pernikahan beda agama. Dicontohkan misalnya dalam Islam yang diatur dalam Alquran, hadis, dan fiqih.
"Bahwa terdapat beberapa landasan hukum perkawinan dari masing‑masing agama dan kepercayaan yang mengatur mengenai larangan perkawinan beda agama," kata Kamaruddin.
Bila hukum perkawinan disatukan dalam satu hukum perkawinan, pemerintah memandang justru akan menimbulkan diskriminasi bagi pemeluk agama.
"Dan melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan apabila terjadi penyimpangan dengan melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan justru akan memberikan perlakuan yang diskriminatif bagi salah satu pasangan perkawinan dengan tunduk dan meliputi salah satu hukum agama dan kepercayaan pasangannya yang lain dalam melangsungkan perkawinan."
"Kendati dari masing‑masing pasangan tetap pada agama dan kepercayaan yang dianutnya. Padahal hak beragama dan tunduk pada hukum agama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, Pasal 28 ayat (1) Undang‑Undang Dasar 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," kata Kamaruddin.
Dalam konteks itu, menurut pemerintah, hak melaksanakan perkawinan merupakan bagian dari ibadah agama yang dianut juga merupakan hak asasi yang perlu dipenuhi. Pernikahan berbeda agama juga tidak diperbolehkan karena melanggar hak asasi manusia dan kebebasan. Pemerintah berpendapat si negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 atas hak asasi manusia dan kebebasan setiap orang dapat sebebasnya melakukan perkawinan beda agama karena melanggar hak konstitusional orang lain.
"Karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‑undang dengan maksud semata‑mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‑nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," ujar Kamaruddin.
Pemerintah membantah dalil pemohon UU Perkawinan menghambat orang untuk menikah dan diskriminasi.
"Justru sebaliknya apabila yang dilakukan oleh Pemohon merupakan tindakan diskriminasi dengan melaksanakan pernikahan beda agama yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan dianut, tidak sesuai dengan Pancasila, dan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945, dan ketentuan peraturan perundang‑undangan lainnya," tegas Kamaruddin.
Sebelumnya, seorang pria bernama E E Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan ajukan gugatan tersebut, karena dirinya merasa dirugikan dengan Undang-undang yang berimbas terhadap dirinya gagal menikah. Akibat perbedaan agama dengan pasangannya yang beragama muslim, sementara dirinya menganut katolik.
"Pemohon adalah Warga Negara Perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam," bunyi uraian dalam draft permohonan gugatan yang telah terdaftar dalam situs MK, dikutip Senin (7/2).
Namun, ketika hendak melangsungkan pernikahan usai jalani hubungan selama tiga tahun, upaya itu dibatalkan, karena persoalan perbedaan agama antara mempelai pria dan wanita.
"Mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan yang beragama," katanya.
"Jumlahnya dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan akan tetapi tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda," lanjutnya.
Oleh karena itu, telah berdampak pada ketidakpastian secara aktual yang melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki Ramos. Sehingga ia tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara.
"Hal ini tentunya menyebabkan pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena apabila hendak melakukan perkawinan adanya paksaan salah satunya untuk menundukkan keyakinan," ucapnya.
Adapun dalam gugatan ini, Ramos mengajukan uji materiil terhadap pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin dalam ketentuan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945.
"Serta tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga bertentangan pula dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945," kata dia dalam permohonan gugatannya.
(mdk/rnd)