Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus Masih Minim, Puan Soroti Kebijakan Pro-Perempuan
Puan pun mengingatkan, Indonesia memiliki berbagai regulasi hukum melindungi masyarakat dari tindak kekerasan seksual.
Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti pentingnya kerja sama antara Pemerintah, institusi pendidikan dan masyarakat dalam menciptakan kebijakan yang melindungi perempuan dan menjamin kampus sebagai ruang yang aman dan adil bagi semua mahasiswa.
Hal tersebut dikatakan Puan karena banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dianggap sebagai betapa kompleks dan mengakarnya masalah ketidaksetaraan gender dalam lingkungan akademis.
- Catatan Ketua DPR pada Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Harus Jadi Peringatan
- Ketua DPR Minta Perguruan Tinggi Serius Tangani Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungannya
- PP Kesehatan Atur Penyediaan Kondom Buat Siswa, Komisi X DPR Anggap Seolah Izinkan Seks Bebas
- Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Pegawai UP Naik ke Penyidikan, Pengacara Harap Eks Rektor Segera Tersangka
"Rendahnya penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus juga menunjukkan kebijakan yang tidak pro-perempuan. Di tengah kemajuan zaman, seharusnya lingkungan pendidikan menjadi garda terdepan sebagai pihak yang mendukung perlindungan dan pemberdayaan perempuan," ungkap Puan, Jumat (13/9/2024).
Puan pun mengingatkan, Indonesia memiliki berbagai regulasi hukum melindungi masyarakat dari tindak kekerasan seksual. Seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan inisiatif DPR. Kemdikbud Ristek pun juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
"UU TPKS juga menjamin perlindungan terhadap para korban. Karena rata-rata kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berkaitan dengan relasi kuasa. Ini yang harus kita putus dengan tindakan tegas," tegas mantan Menko PMK itu.
Puan menyebut relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa, maupun atasan kepada bawahan dalam konteks akademik yang hierarkis menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karenanya, ia menegaskan pentingnya kesetaraan gender untuk menjadi prioritas dalam setiap kebijakan, termasuk dalam lingkungan pendidikan.
"Perempuan tidak boleh lagi menjadi korban dari sistem yang tidak melindungi mereka," sebut Puan.
Pada kasus relasi kuasa seperti ini, mahasiswa sering kali memilih diam saat menjadi korban kekerasan seksual karena takut akan konsekuensi akademis atau sanksi sosial jika melaporkan. Maka Puan menegaskan, UU TPKS pun memastikan korban akan mendapat perlindungan secara komprehensif serta memastikan laporan kasus kekerasan seksual harus ditindaklanjuti.
"Maka korban kekerasan seksual tidak perlu takut untuk speak up. Apalagi saat ini sudah banyak lembaga yang siap memberi pendampingan bagi korban. Masyarakat juga ikut berperan dalam mengawal kasus-kasus kekerasan seksual," tegasnya.
Kepada perguruan tinggi, Puan kembali mengingatkan untuk memainkan perannya yang tak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika yang memastikan bahwa setiap individu, terutama perempuan, terlindungi dari segala bentuk kekerasan.
Menurutnya, institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat kebijakan perlindungan perempuan di lingkungan kampus.
"Sistem penanganan kasus kekerasan seksual harus diperbaiki agar lebih inklusif, dengan melibatkan partisipasi mahasiswa, dosen, serta aktivis hak asasi perempuan. Kebijakan ini harus menjamin akses korban terhadap keadilan, tanpa adanya ancaman atau stigma tambahan," pungkas Puan.