Pengobatan alternatif berkedok agama marak, dukun mengaku ustaz
Masyarakat diimbau supaya tak asal percaya. Dukun ini hanya mencari keuntungan dan sering berbuat tak senonoh.
Kasus perdukunan yang mengatasnamakan pengobatan alternatif agama kian marak. Para ustaz yang mengaku bisa mengobati berbagai penyakit itu sebenarnya hanya dukun yang mengenakan pakaian ala pemuka agama.
"Meski dengan dalih sebagai pengobatan alternatif, praktiknya ternyata hanya kedok untuk mengeruk keuntungan. Ironisnya dukun itu disinyalir justru punya pemahaman beragama yang dangkal, kata Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur Abdul Djalil Fattah di Samarinda, Selasa (23/4). Demikian dikutip antara.
Dia mengatakan, banyaknya praktik perdukunan dan aliran sesat saat ini tidak sesuai dengan aturan hukum dan syariat agama, terutama Islam.
"Karena itu saya mengimbau setiap kepala rumah tangga khususnya yang muslim agar membimbing anak-anak dan keluarganya dan terus mengikuti ajaran yang benar dan tidak terpengaruh ajaran sesat. Salah satunya dengan mengikuti pengajian-pengajian resmi dan ceramah-ceramah yang disiarkan stasiun televisi secara rutin," ujarnya.
Menurut Jalil, apabila ingin berobat alternatif, masih banyak cara-cara yang tidak menyimpang dari ajaran agama. Sebaiknya selidiki dulu tempatnya, usahakan di tempat yang terbuka, tidak dengan kamar tertutup.
"Dikhawatirkan oknum-oknum perdukunan memanfaatkan hal ini hanya untuk kepentingan komersil. Ingat jangan mudah terpengaruh oleh kabar yang disebarkan oleh orang," katanya.
Dia berharap Kementerian Agama dapat meminimalkan kekhawatiran masyarakat terhadap isu-isu tersebut. Institusi ini harusnya mengawal jika ada praktik perdukunan seperti itu, jika menyangkut agama harus mendapat pengawasan, karena hal tersebut bersinggungan langsung dengan wilayah komersialitas.
Bila tidak diredam, kata dia, dikhawatirkan kondisi itu semakin mempengaruhi pola berpikir masyarakat terutama generasi muda.
"Harus ada usulan dari Kementerian Agama agar di setiap provinsi seluruh Indonesia para petinggi agama seperti ulama dan para mubalig dari berbagai organisasi kemasyarakatan mengadakan pertemuan rutin, minimal seminggu sekali," katanya.