Perkuat Hukum dan Jaga Etika Pejabat Negara, Ini Rekomendasi BPIP
Hukum itu ibarat sebuah kapal, etika adalah samuderanya. Maka kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jika samuderanya kering
Hukum itu ibarat sebuah kapal, etika adalah samuderanya. Maka kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jika samuderanya kering.
Adagium itu disampaikan mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dengan tema Budaya Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (17/9).
- Temuan Bangkai Kapal Bajak Laut dari Abad ke-16 Ungkap Harta Karun dan Keganasan Kehidupan Perompak di Laut
- Ternyata, Ini Alasan Kementerian Kelautan Tak Lagi Tenggelamkan Kapal Asing Ilegal
- Kapal Pembawa Kotak Suara Pemilu di Mentawai Kecelakaan Dihantam Ombak, KPU Tidak akan Gelar Pemilihan Suara Ulang
- Kisah Pelayaran Kapal Arimbi, Kirim Gas Elpiji ke Pelosok Negeri
Etika menjadi hulu dari segala problematika terdegradasinya budaya hukum yang berkeadilan, sehingga pada hilirnya terjadi kemerosotan negara di segala aspek, baik aspek demokrasi, sosial, politik maupun perekonomian.
“Sekarang salah satu isu yang paling banyak dibicarakan orang soal etika ini. Ini momentum melakukan pembenahan. Sejak 2009 saya sudah promosikan pentingnya menata sistem etika berbangsa dan bernegara ini,” kata Jimly.
Menurut Jimly, manusia sebagai penggerak hukum harus dipastikan telah bersih dari nilai-nilai niretika jika ingin mewujudkan cita-cita budaya hukum yang berkeadilan.
Sebaliknya budaya hukum yang rapuh dan runtuh disebabkan oleh penggerak hukumnya yang tidak lagi membawa nilai-nilai etika dan moralitas.
Sehingga sistem hukum yang diibaratkan dengan sebuah kapal tidak mampu mencapai dermaga keadilan yang dicita-citakan.Jimly menambahkan, beberapa problematika budaya hukum yang disebabkan oleh perilaku penyelenggara negara yang niretika tersebut adalah sistem politik yang mengarah pada otoritarianisme.
Sistem politik otoritarianisme ini dapat menjebak penyelenggaran negara pada sikap penghambaan kepada presiden, yang terungkap dengan digunakannya istilah ‘raja’ oleh elite politik.
“Sikap penghambaan kepada presiden seperti ini mengakibatkan minimnya pengawasan dan kontrol,” terang Jimly.
Hukum dan Demokrasi
Airlangga Pribadi, Pakar Politik dari Universitas Airlangga menambahkan, lembaga parlemen (legislatif) jauh dari efektif. Karena hanya menjadi alat penguasa (eksekutif), menjadi stempel (rubber stamp) terhadap keputusan eksekutif.
Penyalahgunaan konsep politik kekeluargaan, yang direduksi secara sempit sebagai bagi-bagi kue kekuasaan, menyandera mereka yang berseberangan dan kritis terhadap kekuasaan.
“Paling fatal ialah problem otokrasi legalisme, atau kondisi ketertutupan sistem politik terkait upaya manipulasi hukum. Bisa disebut juga dengan despotisme baru. Bagaimana pemimpin berupaya untuk menempatkan dirinya lebih tinggi dari kekuasaan lain dengan cara manipulasi atau upaya mempermainkan hukum atas nama menghancurkan rule of law itu sendiri,” kata Airlangga.
Dengan menggunakan hukum sebagai instrumen penekan dan pembenar keinginan rezim yang sedang berkuasa, elite politik tidak lagi berdaya untuk berperan sebagai oposisi.
Airlangga mengatakan, resultante dari kekisruhan etika dan tekanan politik seperti ini bermuara pada budaya oligarki dalam prikehidupan berpolitik, bernegara dan berbangsa.
Problematika ini pada akhirnya merambat pada kehidupan demokrasi yang cukup serius. Di antaranya pembatasan dan ancaman terhadap diskusi akademis di kampus-kampus, pembatasan kontestasi pemilu dengan penerapan threshold yang tinggi sehingga menciptakan koalisi gemuk.
Sementara itu, Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjelaskan, praktik politik kolutif seperti ini menyebabkan sistem demokrasi hanyalah bersifat prosedural.
Semakin menjauh dari demokrasi substantif yang seharusnya mengandung unsur representasi publik, rule of law, right and responsibility, dan partisipasi publik.
“Sistem pemilu kita melemahkan budaya politik dan budaya hukum sekaligus karena memang begitu rumit, mahal, sibuk dan juga tidak sempat bicara politik gagasan dan akhirnya menjauhkan akses politik minoritas dan marjinal,” ujar Titi.
Tak Ada Rasa Malu
Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) menilai, kerapuhan etika juga terjadi pada aspek hukum. Hukum tidak disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat, tetapi kepentingan politik praktis dan modal.
Hal ini dapat dilihat dari, misalnya, pengesahan Omnibus law lebih cepat daripada UU Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang belum disahkan hingga saat ini.
Dalam penegakan hukum sendiri, sistem reward dan punishment tidak dilakukan dengan efektif di lingkungan peradilan Indonesia sehingga mendegradasi integritas penegak hukum.
Koruptor pun tidak benar-benar diberikan hukuman yang mengisolasi mereka dari akses kepada publik sehingga membuat mereka tetap bisa tampil di depan publik tanpa rasa malu.
“Salah satu poin penting sistem hukum ialah independensi peradilan dan integritas aktor peradilan. Hari ini kita bisa saksikan bagaiman hukum apa kata tujuan pemegang kekuasaan,” ujar Danang.
Rekomendasi Perbaikan
Berdasarkan problematika tersebut diperoleh beberapa rekomendasi sebagai berikut :
Hukum:
1. Perlu dibentuk undang-undang Lembaga Kepresidenan yang mengatur etikaPresiden sebagai Kepala Pemerintahan, khususnya etika pada masa transisi jabatan (lame duck period).
2. Dalam merumuskan hukum harus mengedepankan supremasi etika, bukan sekedarsupremasi hukum sehingga yang tercipta benar-benar rule of law yang berkeadilan dansesuai dengan nilai-nilai etika, bukan rule of man by using law, bukan hukum dibuatsebagai sarana perselancaran niat terselubung atas kepentingan tertentu.
3. Perlu pembentukan UU tentang Etika Berbangsa dan Bernegara dan Mahkamah Etika Nasional. Keduanya menjabarkan 6 substansi etika dalam TAP MPR 6/2001 daninfrastruktur pendukungnya.
Politik dan Kebijakan:
1. Pembentukan sistem yang terpisah antara peradilan hukum dan peradilan etikasehingga tidak terjadi fenomena peradilan hukum mengoreksi dan mendistorsi putusanperadilan etika seperti yang terjadi pada kasus penetapan sanksi etis oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yangdianulir putusannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
2. Mengkonseptualisasi sistem etika pejabat publik mulai dari etika penyelenggara negarasampai pada organisasi profesi, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi sosial keagamaan, organisasi politik, lembaga pendidikan, organisasi kebudayaan, dunia usaha, serta para pemangku kepentingan dalam segala aspek kehidupan masyarakat diIndonesia.
3. Mengembalikan politik dan kebijakan berbasis intelektualitas dengan pelibatan paraintelektual, scholars, cendekiawan, bukan kebijakan berbasis viralitas dan hegemoni parabuzzer.
4. Memberantas pemborosan impor dan kapitalisasi sumber daya pangan secara besar-besaran yang membunuh produksi dalam negeri dan kesejahteraan produsen dalamnegeri karena imbalan ekonomi dari importir asing yang diberikan kepada para elit politik.
5. Perlu adanya sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk membahasisu-isu lingkungan hidup dan sumber daya alam seperti pemanasan global, eksploitasitanah, bahan bakar fosil dan lain sebagainya.
6. Perlu mengembangkan daya kritis masyarakat sebagai upaya pengawasan terhadappemerintah dan penyelenggara negara, jangan ada pengkultusan terhadap pemimpinsehingga rakyat membabi buta dalam penghambaan diri terhadap pimpinan denganharapan balas budi dari pemimpin.
7. Pemiskinan sosial secara sistemik perlu dihentikan, jangan sampai ada sekelompok orangyang karena terlalu kaya bisa membeli suara mereka yang terlalu miskin.
8. Perlu sinergi antara aktivisme sosial, hukum dan digital sehingga terhubung antara issuedan sector sebagai upaya sinergitas dan pendekatan sistematis yang tidak sporadisdalam menghadapi kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat.
9. Pemberian hukuman berupa pencabutan hak-hak politik tanpa toleransi dan pembatasanhak-hak keperdataan kepada koruptor sehingga meminimalisasi akses koruptor untuktampil dan berkontestasi menjadi pejabat publik.
Sistem Politik
Pendidikan:
1. Meningkatkan efektivitas bonus demografi dengan perbaikan kualitas generasi emasmelalui pembekalan pada kompetensi kognitif dan afektif (etika dan moralitas) secara integral.
2. Perlunya pendidikan kritis dan reflektif yang membangun kepercayaan terhadap nilai-nilaiyang lebih objektif, terbuka dan memancing dialektika dibandingkan kepercayaan absolut membabi buta terhadap orang/individu atau buzzer. Konsekuensinya adalah terjalinhubungan yang egaliter dan terciptanya kebebasan mimbar akademik di universitas,sekaligus memulihkan makna kepakaran.
Partai Politik dan Sistem Pemilu:
1. Revisi UU Partai Politik untuk mengakomodir Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), menegakkan desentralisasi politik, dan mengembalikan kedaulatan anggota partai.
2. Reformasi sistem pendanaan politik melalui alokasi anggaran negara yang lebihtransparan dan akuntabel untuk pembiayaan parpol guna menopang program kaderisasi, rekruitmen politik melalui pemilihan internal, serta penerapan syarat minimal sebagaikader selama waktu tertentu untuk pengisian jabatan politik.
3. Kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang menuju koherensi dan konsistensi pengaturan hukum pemilu di Indonesia.
4. Evaluasi sistem pemilu dan model keserentakan pemilu. Pemilu dilakukan dengandua model keserentakan: Pemilu Serentak Nasional (memilih presiden dan wakilpresiden, anggota DPR, serta anggota DPD) dan Pemilu Serentak Lokal (memilih kepaladaerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota),dengan masa jeda 2 (dua) tahun. Agar mesin partai selalu bekerja serta pemilih bisamengevaluasi kinerja partai dan elite politik secara berkesinambungan.
5. Menetapkan ambang batas jumlah anggota pendukung koalisi partai hingga tidak terciptaoligarki politik yang membahayakan proses berpolitik dan pengambilan kebijakan yaitudengan ambang batas paling besar 60% dari seluruh partai politik yang mengisi parlemen.
6. Pengesahan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk memotong mata rantai jualbeli suara di pemilu dan pilkada.
7. Rekonstruksi persyaratan ambang batas pencalonan presiden untuk mengurangi danmenghilangkan hambatan dalam pencalonan dan menghadirkan kontestasi elektoral yanglebih inklusif.
8. Mengatur masa transisi kepemimpinan nasional (lame duck period) guna mencegahkesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan pada masa transisipascapemilu nasional. Masa jeda antara hasil pemungutan suara dan pelantikan calonterpilih dibuat tidak terlalu lama.
9. Partai-partai politik diharapkan memprioritaskan kader-kader yang memahami persoalandaerah dan mewakili daerahnya dalam sistem meritokrasi.
BPIP
1. Tidak optimalnya badan kehormatan dan dewan etik pada berbagai lembaga negaramendorong BPIP untuk menginisiasi rancangan UU Etika yang merumuskan pokok-pokok etika secara materil hingga instrumen formilnya, seperti sistem penegakan hukum padaperadilannya hingga sanksi yang dikenakan.
2. BPIP perlu melakukan pembinaan ideologi Pancasila dan bela negara baik kepadakepada para pekerja migran, pelajar/mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikandi luar negeri, dan WNI lainnya yang tinggal di luar negeri maupun masyarakat Indonesiayang ingin kembali ke Indonesia, untuk memastikan WNI tersebut tidak terpengaruh olehideologi-ideologi asing/transnasional.
3. Perlu dilakukan Pembinaan dan Pendidikan Pancasila bagi seluruh ASN secaraberjenjang dan berkelanjutan.
4. Perlu melakukan kajian terkait implementasi dari substansi pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 tentang Bela Negara dalam konteks pembinaan ideologi Pancasila di segala lapisan masyarakat Indonesia.
5. BPIP perlu mendorong pembumian Pancasila dalam konteks budaya hukum danindependensi peradilan agar semangat kesetaraan yang diusung dalam Pancasila dansolidaritas seluruh rakyat bisa menjadi pintu masuk untuk meningkatkan integritaspenegak hukum dan independensi lembaga peradilan.