Polemik film Soekarno dan kebiasaan kencing sang presiden
Film Soekarno karya Hanung banyak dikritik. Minim detail dan banyak adegan tak sesuai konteks.
Sebelum naik tayang di layar bioskop, film 'Soekarno: Indonesia Merdeka' garapan Hanung Bramantyo diawali dengan perdebatan dengan Rachmawati Soekarno Putri. Bahkan saat film itu ditayangkan di bioskop mulai 11 Desember lalu, perdebatan itu masih terjadi.
Ada beberapa hal yang mengemuka akan perdebatan yang berakhir di pengadilan niaga Jakarta itu. Salah satunya tentang beberapa adegan dalam film itu yang dianggap melecehkan Soekarno .
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, dampak dari polemik itu membuat penonton dirugikan akan distribusinya, termasuk kesan terhadap film itu. Berikut penuturan Asvi saat ditemui Islahuddin wartawan merdeka.com di Gedung Widya Graha LIPI, pada pekan lalu.
Dalam konteks sejarah, bagaimana pendapat Anda melihat film Soekarno yang disutradarai Hanung Bramantyo?
Pertama substansi tentang film itu sendiri, kedua tentang prosesnya yang menimbulkan konflik. Keduanya saling terkait bahkan menurut saya, itu merugikan dengan adanya konflik kedua pihak. Hal itu menyebabkan film yang seharusnya ditonton banyak orang dengan antusias menjadi terganggu pemasaran atau distribusinya, karena diawali dengan sesuatu yang tidak baik dan tidak enak. Konflik yang awalnya saya kira bisa diselesaikan dengan baik-baik. Tapi kemudian berlanjut di pengadilan dan tidak selesai sampai sekarang. Jadi itu satu catatan yang buruk mengenai proses pembuatan film ini yang menimbulkan dampak dan kesan juga terhadap filmnya.
Selain itu film itu sendiri sejak awal mengalami perubahan-perubahan. Banyak sekali perubahannya. Dulu dalam skenario yang awal, ada adegan Soekarno kencing di pesawat, waktu itu diprotes dan diubah. Adegan itu memang dimungkinkan, bahwa Soekarno kencing di pinggir jalan pun juga sebetulnya terjadi. Itu ada di bukunya Okman. Di sana juga diceritakan Soekarno pergi ke Istana Bogor dengan iringan pengawalnya. Kemudian tiba-tiba Bung Karno ingin buang air kecil. Bung Karno sendiri bermasalah dengan ginjalnya, dia kalau kencing harus cepat. Jadi tidak harus menunggu, justru akan sakit.
Bung Karno minta turun, saat itu dalam perjalanan dari Jakarta ke Bogor di tengah jalan. Saat mobil berhenti Bung Karno langsung turun dan langsung kencing. Saat kencing itu terdengar suara penduduk di sekitar situ. Setelah kencing, Bung Karno menemui penduduk itu dan ngobrol sebentar dan naik mobil lagi. Jadi gak ada masalah dengan adegan itu kalau pun ada.
Bahkan dalam pidato Bung Karno pada 1965 sampai 1967 dalam buku kumpulan pidato Bung Karno yang baru diterbitkan belakangan ini. Di situ juga dikatakan, meminta Leimena memimpin rapat karena mau ke belakang mau kencing. Jadi itu sesuatu yang manusiawi saja. Tapi kalau kencing di pesawat, kesannya agak jorok ya dan adegan itu sudah dihilangkan dalam film itu.
Bagaimana dengan mula adanya akan adanya adegan PNI rapat di lokalisasi?
Saya pernah menulis tentang film itu sebelum ditayangkan. Saat itu saya dapatkan skenario film itu yang kesekian. Dalam skenario yang kesekian itu ada rapat Partai Nasional Indonesia (PNI) di kompleks pelacuran. Saya katakan dalam kritik saya, meskipun itu dikutip dari buku Cindy Adams itu harus diperiksa dibaca dengan kritis. Tidak semuanya tepat dalam buku itu.
Hal itu juga sudah ditulis oleh Gatot Mangkoepradja dalam Jurnal Indonesia Universitas Cornell Amerika Serikat, itu tidak mungkin terjadi. PNI sendiri selektif menyeleksi anggotanya. Kemudian ada dua perempuan yang menjadi anggota PNI yang berasal dari prostitusi, bekas pelacur tapi sudah sadar dan taubat, mereka sudah menikah dengan aktivis dan mereka jadi anggota PNI. Jadi tidak benar rapat PNI itu di lokasi pelacuran. Adegan itu juga dihilangkan dalam film itu. Artinya dalam film itu sudah ada perubahan-perubahan.
Saya kritik juga di adegan Bung Karno melamar Noni Belanda itu. Itu kritik saya, dalam adegan itu tidak sampai melamar. Bung Karno datang ke rumah Noni itu dan diusir, jadi tidak salah betul adegan itu. Dalam kritik saya, mungkin lamaran ke Noni itu dalam mimpi Bung Karno kemudian diwujudkan dengan datang ke rumah Noni dan tidak sampai melamar.
Tanggapan Anda tentang adegan Bung Karno berinisiatif mendatangkan pelacur untuk pasukan Jepang?
Ada masalah juga dalam hal itu, itu soal Jugun ianfu. Itu suatu fakta kalau Jepang menggunakan perempuan sebagai pemuas nafsu untuk serdadunya. Itu terbukti ada dan Jepang memberi ganti rugi akan hal itu. Mereka mengakui hal itu. Tapi dalam film itu dikatakan bahwa Bung Karno meminta agar tentara Jepang tidak mengambil gadis-gadis dari desa.
Kemudian Bung Karno memprakarsai menyediakan pelacur untuk tentara Jepang. Bahkan juga digambarkan Bung Karno mendengarkan sendiri rintihan perempuan-perempuan itu yang digilir oleh tentara Jepang itu dengan cara yang sadis.
Adegan ini apakah betul apa tidak? Kenapa? Kalau tidak ada kenapa diciptakan hal itu. Bahwa Jugun ianfu itu ada, iya ada. Bahwa Bung Karno tidak setuju dengan itu, iya. Bahwa Soekarno mengambil prakarsa untuk mendatang pelacur untuk tentara Jepang, itu menurut saya suatu pelecehan juga.
Apa betul itu tidak ada dalam catatan sejarah?
Tidak ada sumber itu. Kalau sumber itu dari Cindy Adams maka buku itu perlu dikritisi. Saya katakan kita harus kritis pada buku itu. Jangan gunakan itu. Saya menganggap upaya Hanung dalam menggambarkan Bung Karno dalam dua sisi, Bung Karno sebagai negarawan atau politisi dan laki-laki yang flamboyan itu oke. Itu sudah cukup dengan adegan ketika dia berpidato dan ada gadis yang memberikan semacam surat itu sudah oke karena Bung Karno yang gagah seperti itu.
Tapi tidak menggambarkannya dengan inisiatif mendatangkan pelacur untuk melayani tentara Jepang agar tidak mengambil gadis-gadis desa. Tentara Jepang juga melakukan itu. Serdadu Jepang itu melakukan hal itu di mana-mana terhadap Jugun Ianfu. Itu bukan pelacur, itu perempuan baik-baik yang diambil dan dipaksa melayani serdadu Jepang.
Saya menyayangkan adegan semacam itu ditampilkan. Ada hal-hal lainnya seperti penyebutan tulisan Muso, harusnya Musso. Hal kecil lainnya, soal properti yang digunakan dalam film itu misalnya Soekarno menggunakan mobil dalam masa Jepang. Sebetulnya mobil itu baru dibuat baru ada setelah tahun 1950-an. Itu soal-soal yang juga harusnya diperhatikan juga oleh Sutradaranya dan produsernya. Propertinya harus sesuai dengan zamannya.
Baca juga:
Polemik Film Soekarno, citra kemerdekaan hadiah Jepang
Polemik Film Soekarno, sang playboy di antara dua wanita
Ibu-ibu pendemo film SOEKARNO tahunya diajak dangdutan
Pendemo film 'soekarno' ancam usir Hanung Bramantyo dari jakarta
-
Dimana Soekarno diasingkan? Penganan Pelite rupanya juga menjadi kue favorit Bung Karno saat berada dipengasingan di Kota Muntok sekitar tahun 1949.
-
Kapan Presiden Soekarno berorasi di bioskop Garuda Theatre? Dilansir dari kanal Liputan6.com, waktu itu Presiden Soekarno pernah menggunakan gedung bioskop bernama Garuda Theatre sebagai panggung untuknya berorasi di depan khalayak banyak.
-
Bagaimana reaksi Soekarno saat bertemu Kartika? Bung Karno yang mengetahui kedatangan istri dan putrinya, seketika mengulurkan tangan dan seolah-olah ingin mencapai tangan Kartika.
-
Bagaimana cara Soekarno meresmikan Hotel Indonesia? Sukarno menggunting pita sebagai tanda peresmian hotel ini, setelah merencanakan pembangunannya selama 2 tahun.
-
Bagaimana Soekarno mempelajari bahasa Sunda? Inggit didapuk jadi penerjemah Bahasa Sunda masyarakat, dan membantu Soekarno saat kesulitan mengucap Bahasa Sunda.
-
Apa yang dilakukan Presiden Soekarno di Pesanggrahan Kotanopan? Presiden Soekarno kala itu sempat melakukan pidato singkat untuk mempersatukan masyarakat Sumatra yang ingin merdeka.