Ramai Kasus Istri Pasien Mengaku Dicabuli, Ini Kode Etik Profesi Dokter
Dalam pemeriksaan majelis etik, dokter MY membantah telah mencabuli istri pasien.
Istri pasien mengaku dicabuli dokter saat menemani suaminya yang dirawat.
Ramai Kasus Istri Pasien Mengaku Dicabuli, Ini Kode Etik Profesi Dokter
TA (23), seorang wanita hamil mengaku dicabuli seorang dokter berinisial MY di sebuah rumah sakit di Palembang. Peristiwa itu terjadi saat wanita tersebut sedang menemani suaminya yang dirawat.
Kasus ini terungkap usai korban membuat laporan ke Polda Sumatera Selatan pada Kamis (22/2) atau sehari usai kejadian.
"Korban mengaku diperlakukan tak senonoh oleh terlapor sebagai dokter yang merawat suaminya," ungkap Kasubdit PPA Ditreskrimum Polda Sumsel AKBP Riswidiati Anggraini, Rabu (28/2).
- Misteri Kematian Istri Dokter di Lhokseumawe Terungkap, Ternyata Dibunuh Mantan Istri Siri Suami
- Dokter MY Ditahan di RS, Polisi Cuma Pamer Barang Bukti Pencabulan Istri Pasien
- Kasus Dugaan Pencabulan Istri Pasien Dinaikkan Penyidikan, Dokter MY Bakal Jadi Tersangka?
- IDI Segera Panggil Dokter Cabuli Istri Pasien yang Sedang Hamil
Buntut pelaporan itu, MY harus menjalani sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Wilayah Sumsel dan Cabang Palembang. Dalam sidang itu, MY membantah tuduhan korban terhadap dirinya.
Ketua MKEK Wilayah Provinsi dan Cabang Palembang Anang Tribowo mengungkapkan, pemeriksaan berlangsung hampir selama dua jam. Dokter MY bersikukuh tidak melakukan perbuatan itu.
"MY membantah, dia mengaku tidak melakukannya," ungkap Anang, Rabu (28/2).
Banyak hal yang diutarakan MY di MKEK. Semisal bantahan terhadap tuduhan membuka resleting korban dan mengeluarkan kelaminnya.
Kejadian itu juga membuat dokter MY dipecat dari RS BMJ Palembang tempatnya bekerja.
"Bahwa pihak rumah sakit langsung memberhentikan oknum dokter MY setelah mengetahui informasi tersebut. Setelah pemberhentian itu, oknum dokter tersebut tidak lagi praktik di RS BMJ," kata Humas RS BMJ Palembang, Liza.
Reaksi IDI
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumsel juga menanggapi kasus ini. Ketua IDI Sumsel, Abla Ghanie, masih memegang asas praduga tak bersalah.
"Jika bersalah, IDI tidak akan membela sesuatu yang salah. Nanti akan terungkap apakah terjadi pelanggaran etik atau tidak," kata Abla, Rabu (28/2)
Seorang dokter memang memiliki kode etik dalam menjalankan profesinya. Kode etik itu mengatur apa yang boleh dan tidak dilakukan dokter tersebut saat berpraktik.
Lalu apa saja bentuk pelanggaran kode etik dalam kedokteran?
Berikut bentuk pelanggaran kode etik profesi kedokteran yang telah dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber.
Mengutip dari laman resmi IDI Jakarta Selatan, setidaknya ada 28 pelanggaran kode etik profesi kedokteran sebagai berikut:
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi sesuai
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat Kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alas an pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarga dalam melakukan praktik kedokteran
9. Melakukan Tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat Kesehatan
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya
26. Praktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin
Sanksi atas pelanggaran Kode Etik Kedokteran Indonesia berdasarkan Pasal 29 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI dapat berupa pembinaan, penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan, pengendapan dengan pemberhentian keanggotaan dan pemberhentian keanggotaan tetap.
Sedangkan jika tidak terbukti melakukan pelanggaran, akan dilakukan pemulihan hak-hak profesi seperti yang tercantum pada Pasal 31 Pedoman Organisasi dan tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI.