Ratusan warga Tionghoa miskin di Aceh gembira dapat angpao
Peunayong dikenal sebagai sudut Pecinan di Banda Aceh. Ada suasana berbeda di sini.
Saat menginjakkan kaki di sekitar Peunayong, Banda Aceh. Ada nuansa lain di banding sudut kota Banda Aceh lainnya. Deretan pertokoan yang ada di Peunayong kesannya seperti bukan di Aceh. Akan tetapi, seperti di negeri tirai bambu, Cina.
Pertokoan yang mayoritas dihuni oleh keturunan Tionghoa, banyak hiasan khas cina berwarna merah terpampang di depan. Sehingga tersirat dalam alam bawah sadar kita bahwa di sini adalah tempatnya bermukim etnis tionghoa.
Ternyata benar adanya, bangunan yang berarsitektur nuansa Cina sebenarnya sudah berada sejak abad 19. Ini menunjukkan bahwa Peunayong yang dihuni oleh Cina sudah lama ada. Kota ini terletak sekitar 5 Km dengan Masjid Raya Baiturrahman, kini menjadi pusat perbelanjaan rempah-rempah dan bahan pokok. Penjual pun mayoritas etnis tionghoa di kawasan itu.
Salah seorang warga tionghoa, Hendry mengaku, dia bersama etnis China lainnya sudah menetap di Aceh sejak dia lahir. Kehidupan mereka pun terbuka dengan masyarakat pribumi. Bahkan mereka saling berkunjung untuk membangun silaturrahmi.
"Mayoritas kita pedagang, kita sangat terbuka dengan pribumi, kita saling bersilaturrahmi," ujar Hendri, Jumat (31/1) di Banda Aceh.
Ternyata tidak semua etnis tionghoa memiliki pendapatan yang cukup. Di Banda Aceh juga terdapat warga Cina yang miskin. Setiap harinya ada diantara mereka yang menjadi buruh kasar, seperti menarik becak, kuli bangunan, berdagang di kaki lima dan sejumlah pekerjaan lainnya.
Kendati demikian, mereka tetap mendapat perhatian dari warga Cina lainnya yang hidup lebih mapan. Sebut saja Yayasan Hakka Aceh. Sehari sebelum perayaan Imlek. Yayasan tersebut membagi-bagikan angpao untuk warga Cina yang miskin.
Sedikitnya ada 120 orang warga Cina miskin mendapatkan rezeki ampau. Setiap angpao yang diberikan berjumlah Rp 200 ribu. Terlihat warga miskin Cina itu antusias menerima ampau tersebut.
"Ini sekedar untuk membantu mereka yang kekurangan, cukuplah untuk sedikit meringankan beban mereka," imbuh Sekretaris Yayasan Hakka Aceh, Sheilisa. Dia juga ikut terjun langsung membagi-bagikan angpao di kantor Hakka.
Menurut literatur yang ada. Masuknya warga China ke Banda Aceh sejak abad 17 lalu. Aceh dan China memiliki hubungan yang baik. Mereka datang ke Aceh pada awalnya sebagai pedagang musiman. Kemudian mereka menetap dan menjadi pedagang permanen.
Etnis Cina yang datang ke Aceh mulanya menetap di Pelabuhan yang tidak jauh dari Peunayong. Lalu mereka memilih untuk menetap berdagang secara permanen di Peunayong.
Vihara Dharma Bhakti yang terletak di jalan T Panglima Polem menjadi saksi keberadaan etnis Cina di Aceh. Vihara tersebut dibangun pada tahun 1937. Mulanya Vihara itu terletak di pinggir pantai Ulee Lheue. Akibat erosi, Vihara itu lalu dipindahkan ke tempat sekarang bersamaan dengan kota Banda Aceh yang dulunya juga berada di Ulee Lheue.
"Benar, dulu di Ulee Lheue, karena erosi, dipindahkan sekitar tahun 70-an gitu, termasuk kota Banda Aceh ikut dipindahkan," ungkap Ketua Vihara Dharma Bhakti, Herman.