Renungan Puisi dan Daya Seniman Hadapi Pandemi
Para seniman secara daring dari kediaman masing-masing membacakan puisi 'Kesunyian Besar Umat Manusia' dalam helatan Bertahanlah di Rumah: Kolaborasi Pembacaan Puisi Penulis & Seniman Indonesia, Rabu (20/5). Kolaborasi pembacaan puisi melibatkan seniman dari berbagai bidang dan cakupan wilayah.
Di Desa Cigaru, di area pesantren Miftahul Huda, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, seorang penyair merenungkan dampak pandemi Covid-19. Ia merenungi dunia batinnya serta kenyataan di sekitarnya ketika orang-orang mengkarantina diri di dalam rumah. Ia pun menulis bait-bait, begini:
"Takdir muram dunia ini. Kebingungan besar sejarah ini. Terimalah dengan kerendahan hati. Kupersembahkan nyanyian panjang ini. Untuk bersama-sama mendengar. Suara-suara senyap dalam diri."
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Kapan Benteng Pendem di Cilacap dibangun? Benteng pendem ini merupakan benteng peninggalan Belanda yang sudah ada sejak tahun 1861. Ini merupakan salah satu tempat bersejarah yang bisa mengedukasi tentang sejarah terutama ketika penjajahan Belanda.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Kapan Sepur Kluthuk Jaladara diresmikan? Kereta api uap ini diersmikan pada tahun 2009 oleh Menteri Perhubungan saat itu, Jusman Syafi'i Djamal.
-
Siapa cawapres termuda di Indonesia? Gibran Rakabuming Raka dan Prabowo Subianto sementara ini menjadi pemenang Pilpres versi quick count. Gibran Rakabuming Raka dan Prabowo Subianto sementara ini menjadi pemenang Pilpres versi quick count. Hal ini membuat Gibran menjadi Wakil Presiden termuda sepanjang sejarah Indonesia.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
Penyair itu, Faisal Kamandobat, berusia 40 tahun. Ia menulis narasi panjang terangkai dalam 43 bait berjudul 'Kesunyian Besar Umat Manusia'. Puisi yang ditulisnya memampangkan kesunyian nan muram akibat pandemi Covid-19. Di baliknya, terselubung pesan tegaknya spiritualitas di dalam lubuk hati meski tempat-tempat ibadah terpaksa dikosongkan.
"Setiap hati adalah kuil. Di mana perasaan-perasaan bersalah. Dibicarakan langsung dengan Tuhan," tulis Faisal yang sekaligus peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH-UI).
Renungan antara yang universal dengan yang partikular itu, tidak hanya menjadi milik Faisal seorang diri. Dari Cilacap di Jawa Tengah melalui konektivitas digital, tujuh puluh seniman dari penjuru Tanah Air tergerak menjalin kolaborasi membacakan puisi tersebut sebagai pesan perlunya kekuatan mental menghadapi masa sulit di tengah pandemi. Di sisi lain, kolaborasi juga wujud daya seni yakni pentingnya kerjasama untuk meringankan beban satu sama lain di masa pandemi covid-19.
Para seniman secara daring dari kediaman masing-masing membacakan puisi 'Kesunyian Besar Umat Manusia' dalam helatan Bertahanlah di Rumah: Kolaborasi Pembacaan Puisi Penulis & Seniman Indonesia, Rabu (20/5). Kolaborasi pembacaan puisi melibatkan seniman dari berbagai bidang dan cakupan wilayah.
Mereka adalah para sastrawan, musisi, aktor dan aktris, perupa serta videografer. Beberapa nama yang berpartisipasi antara lain Prilly Latuconsina, Gunawan Maryanto, Heru Joni Putra, Heliana Sinaga, Frisca Aswarini, Andy Eswe, Irwan Jamal, Zulkifli Songyanan, serta para seniman lain dari Jakarta, Padang, Bandung, Jogyakarta, Denpasar, Papua dan daerah-daerah lain. Inisiator kolaborasi yakni Zulfa Nasrullah dan Yopi Setia Umbara dari komunitas sastra Buruan, Bandung. Kolaborasi dirajut dalam rupa kolase audio visual berdurasi 20 menit yang dipublikasikan di situs web berbagi video.
Faisal Kamandobat mengatakan puisi yang ia tulis mengetengahkan realitas makro berupa karantina massal, perlambatan ekonomi, perlunya kepemimpinan di tengah krisis, dan terakhir terkait peningkatan tensi politik. Medium puisi, ia pilih karena lebih mudah didistribusikan dengan cepat dan gampang, serta bisa menampung banyak renungan. Selain itu puisi juga lebih performatif dan sugestif untuk dipertunjukkan dalam bentuk kolosal.
"Saya ikut bersyukur puisi ini menjadi kegembiraan bagi banyak orang di masa pandemi," kata Faisal, Kamis (22/5).
Proses kreatif penulisan puisi, dikatakan oleh Faisal, ditulis dalam waktu singkat. Namun sebelumnya ia telah mengikuti informasi tentang wabah Corona sejak terjadi di Wuhan. Sebelum menulis puisi, ia juga memperkaya pengetahuan dengan melakukan diskusi dengan beberapa ahli untuk memprediksi dampak pandemi.
"Kendati ditulis di masa awal wabah, keseluruhan temanya tak jauh dari realitas makro yang diakibatkan oleh wabah ini," kata penulis buku puisi Alangkah Tolol Patung Ini (2007).
Faisal mengatakan di masa pandemi terjadi karantina terhadap miliaran manusia di seluruh dunia. Masyarakat dengan "suka rela" menerima anjuran untuk didomestifikasi dari ruang-ruang publik. Situasi ini telah mengubah interaksi sosial secara langsung menjadi lebih berjarak dengan menggunakan wahana teknologi komunikasi.
"Ini merupakan rekayasa ruang, model sosialisasi, dan penerimaan kepatuhan terbesar dalam sejarah umat manusia," kata Faisal mengurai pandangannya soal dampak pandemi covid-19.
Kreativitas Tak Boleh Mati
Inisiator kolaborasi pembacaan puisi, Zulfa Nasrullah menjelaskan sebagai respons terhadap pandemi, para seniman Indonesia dari berbagai genre kesenian dan daerah merasa terpanggil untuk ikut memberi sumbangan berupa empati, semangat dan visi pada masa pandemi yang tengah menguji kualitas dan kapasitas kemanusiaan. Salah satu fungsi seni, ia tegaskan untuk memberi kekuatan mental di tengah masa-masa sulit. Seni memberi renungan yang segar dan mencerahkan agar dapat bertahan dan melewati tragedi yang sedang terjadi.
"Kerja kolaborasi dari para seniman ini untuk menunjukkan bahwa di tengah cobaan wabah, kita perlu untuk saling bekerja sama satu sama lain agar beban yang kita tanggung menjadi lebih ringan dan mudah," katanya.
Puisi Kesunyian Besar Umat Manusia ia nilai memiliki kandungan mengungkai berbagai tema yang saling berkaitan satu sama lain, mulai alam, sosial, sains dan teknologi, serta spiritualitas terkait pandemi. Dengan kekayaan renungan dan nuansanya, diharapkan publik luas dapat memperoleh makna sesuai minatnya masing-masing.
Kolaborasi pembacaan puisi secara kolosal ini memakan waktu selama 2 bulan. Dimulai dengan pengenalan puisi kepada para pembaca, perekaman video, editing dan penciptaan musik latar. Mewujudkan kerja kreatif ini tak mudah, terutama mengajak kesertaan puluhan seniman yang terpisahkan ruang.
"Aditya Saputra bekerja melakukan editing video di belakang layar, dan Syarif Maulana beserta para musisi membuat komposisi sebagai latar puisi," kata Zulfa melalui press release, Rabu (20/5) malam.
Tajuk dari karya kolosal ini #bertahanlahdirumah, sebagai pesan agar senantiasa displin, sabar dan tegar dalam menghadapi pandemi. Penting pula sikap serta saling menjaga dan membantu satu sama lain sambil memperkaya renungan, memperkuat mental dan meningkatkan kreativitas di tengah masa sulit.
"Tentu, di tengah masa pandemi yang berat ini, kolaborasi ini hanya sebuah sumbangan sederhana dari para seniman, namun semoga dapat memberi makna dan kegembiraan bagi bangsa ini," kata inisiator komunitas sastra Buruan, Yopi Setia Umbara menjelaskan tujuan kolaborasi seni ini.
Baca juga:
Dampak Pandemi Covid-19: 'Kalau Pagi Hujan, Kami Tidak Punya Penghasilan'
Sepi Pelanggan Akibat Covid-19, WTS di NTT Hanya Makan Pisang Rebus
Kementerian PPA Ajak Dunia Usaha Bantu Kebutuhan Perempuan & Anak Terdampak Corona
Menolak Berdamai dengan Corona
Mahasiswi Buka Lapak Sayuran Serba Rp5.000 di Depok