Sang Pelopor Pers Nasional yang Mati dalam Kesunyian
TAS merupakan tokoh pers dan dikenal sebagai pelopor persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.
Sang Pelopor Pers Nasional yang Mati dalam Kesunyian
Tirto Adhi Soerjo
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, siapa pelopor pers nasional? Ya, jawabannya adalah Tirto Adhi Soerjo. Namanya mungkin tidak setenar Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau bahkan Haji Agus Salim dalam kronik sejarah Indonesia. Namun, sumbangsih pemikiran dan gerakan politiknya yang dituangkan dalam bentuk tulisan mampu memberikan pencerahan tokoh-tokoh pergerakan yang sudah disebutkan sebelumnya.
Siapa Dia?
Nama lengkapnya adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918). Ia merupakan tokoh pers dan dikenal sebagai pelopor persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. TAS pun menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908).
-
Apa yang dimaksud dengan 'persen'? Persen atau persentase adalah sebuah cara untuk menyatakan perbandingan antara sebagian dan keseluruhan dalam bilangan per seratus.
-
Apa yang dimaksud dengan persen? Persen adalah perhitungan rasio atau proporsi dalam bentuk persentase. Persen merupakan satuan yang digunakan untuk menyatakan bagian di mana 1 persen setara dengan 1 per 100 atau 1/100. Simbol yang digunakan untuk melambangkan persen adalah '%'.
-
Apa yang dimaksud dengan perdamaian? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perdamaian berarti penghentian permusuhan, atau perihal damai.
-
Siapa yang memulai perkelahian? Kemudian sekitar pukul 18.45 WITA, Markus hendak pergi mencari makan dan tiba-tiba di depan minimarket atau di TKP sudah ditunggu oleh kelompok Jony dengan membawa lima orang teman-temannya. Saat itu, Markus diberhentikan oleh Jony dengan kawan-kawannya dan langsung dipukuli oleh kelompok Jony.
-
Siapa yang terpesona dengan penampilan Indah Permatasari? Banyak yang terpesona dengan penampilan istri komedian Arie Kriting ini.
-
Bagaimana preman itu berusaha meyakinkan pengemudi bahwa dirinya terserempet? Saat mengemudi di Perempatan Berdikari pukul 21.00 WIB, keduanya dikejutkan oleh sang preman yang tiba-tiba mengaku diserempet. "Jujur, kita kaget tiba-tiba disuruh minggir padahal engga nyerempet, engga nabrak, engga potong jalan. Posisi jalan santai banget," ujarnya, demikian dikutip dari keterangan pada unggahan akun Instagram @poldametrojaya.
Surat Kabar Pertama
Medan Prijaji yang didirikan TAS dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu, dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Tajamnya Pena
Tirto juga berani dalam mengungkapkan suatu ketidakbenaran. Melalui Medan Prijaji edisi 1909, ia membongkat skandal yang melibatkan seorang pejabat daerah di Purworejo, A. Simon. TAS membongkar kolusi jahat terkait pemilihan lurah di sana. Bahkan, Tirto nggak segan-segan memberi label A. Simon sebagai "Monyet Ingusan".
Tirto Diasingkan
Setelah membongkar praktek culas, Tirto akhirnya diasingkan. Ia diasingkan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan lamanya. Namun, itu tak membuatnya jera. Tirto terus melontarkan kritik lewat tulisannya selepas keluar dari pengasingan.
Jurnalisme Advokasi
Jurnalisme advokasi terus dilakukan oleh Tirto. Ya, ia turun langsung ke lapangan untuk mendengar suara kaum tertindas melalui kerja jurnalistik. Dengan gerakan yang dilakukannya, pada 1912 ia pun diasingkan ke Maluku.
Hidup Seakan di Rumah Kaca
Selepas menjadi manusia buangan, Tirto tidak memiliki kuasa lagi. Pasalnya, hartanya ludes disita Hindia Belanda, segala tindak-tanduknya diawasi oleh mata-mata kolonial, dan yang lebih parah, teman-teman serta relasinya pun menjauh. Hidup Tirto seperti ini merupakan jelmaan dari novel Pramoedya, yakni "Rumah Kaca".
Depresi Berat
Akibat kondisinya yang seperti itu, T.A.S mengalami depresi berat selama bertahun-tahun. Kesehatan fisik dan mentalnya pun semakin menurun. Ia pun nyaris kehilangan ingatan lantaran menderita siksaan fisik dan batin yang berlangsung secara terus-menerus.
“Sebuah kuburan di Mangga Dua, Batavia, yang sedikit pun tak berbeda dari kuburan-kuburan lain di sekitarnya, adalah tempat istirahat terakhir pekerja dan jurnalis ini,"
Tulis De Locomotief pada 1918.
“Tirto Adhi Soerjo telah menjadi korban kerja kerasnya sendiri. Dalam tujuh-delapan tahun terakhir telah sepenuhnya rusak ingatan dan takut orang,”
De Locomotief.
.
Seorang anak didik Tirto Adhi Soerjo lainnya, Mas Marco Kartodikromo, menulis kesan terhadap gurunya itu melalui artikel bertajuk “Mangkat” yang dimuat di surat kabar Djawi Hisworo edisi 13 Desember 1918.
“Boleh dibilang, Tuan T.A.S. adalah induk jurnalis bumiputra di ini tanah Jawa. Tajam sekali beliau punya pena. Banyak pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar suka memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh,” katanya.
Ia lahir seorang diri, kembali pun seorang diri. Kesunyiaan pun selalu menghampiri. Namun, jejak langkahnya abadi, untuk negeri.
Penulis: Fachri