Sawah rusak, Salim Kancil tetap banting tulang nafkahi keluarga
Sawah Salim rusak akibat terendam air laut, imbas penambangan liar.
Salim alias Kancil merupakan petani miskin. Namun dia punya tekad untuk menghidupi keluarganya.
Maka dari itu Salim Kancil rela giat bekerja. Namun, sawah dan rawa puluhan tahun menjadi sumber mata pencahariannya terendam air laut. Hal itu disebabkan adanya aktivitas tambang pasir besi ilegal di Pesisir Watu Pecak.
Kegiatan liar itu dikelola Tim 12 di bawah pimpinan Kepala Desa Selok Awar-awar, Hariyono. Bertahun-tahun, keadaan tak juga membaik. Salim Kancil terus merugi, karena harus membeli bibit seharga Rp 3 juta, tetapi hasil panennya tak sebanding. Terakhir, dia hanya dapat hasil panen seukuran satu tempat nasi.
"Sawahnya habis jadi rawa. Kerendam air asin. Dulu itu pertama panen setenong, sewakul. Terakhir juga panennya hanya dapat setenong. Itu gak sampai 2 kilo," kata anak Salim Kancil, Ike Nurillah (21), di kediamannya, Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, Rabu (7/10).
Dulu, kenang Ike, secara rutin selepas dari sawah sekitar usai maghrib, ayahnya sudah siap berangkat mencari bekicot atau siput. Peralatan biasa dia gunakan sederhana. Hanya membawa keranjang besar di punggungnya.
"Kalau malam nyari bekicot, siput. Malam, kalau siang enggak keluar bekicotnya di sawah. Itu nyari sampai ke Gunung Sawo, jauh. Berangkat sore sekitar jam 6, trus jam 6 pagi pulang," ucap Ike.
Sesampainya kembali di rumah, sekitar pukul 06.00 WIB, biasanya Salim Kancil berhasil mendapat antara 5 sampai 10 kilogram bekicot. Setelah itu, Salim Kancil hanya beristirahat tak sampai satu jam, lalu dia kembali mengurus sawahnya. Karena sawahnya terletak di Pesisir Watu Pecak yang berbatasan dengan laut dan tambang, maka energi Salim Kancil lebih banyak dihabiskan meninggikan sawahnya. Jika tidak, tanaman padinya akan terendam air asin.
"Ngangkut pasir buat meninggikan sawah. Ngangkutnya kelihatan kayak sapi bawa barang. Sudah lama kayak gitu, mulai dari saya kecil, kira-kira 20 tahun bapak kerja itu," ujar Ike.
Ike mengatakan, sang ibu, Tijah, biasanya mengantar bekal ke sawah buat bapaknya sekitar pukul 08.00 WIB. Tijah tak membawa lauk mewah buat sarapan Salim Kancil.
"Biasanya lauknya sayur kelor sama sambel. Enggak ada ikannya. Biasanya dimakan sama nasi. Bapak makannya banyak, enggak mikir lauk, pokoknya kenyang. Bukan karena suka, tapi karena enggak ada lagi," kenang Ike.
Seringkali dalam satu hari, Salim Kancil hanya bisa menikmati waktu tidur selama 2 jam saja. Mendesaknya kebutuhan ekonomi membuatnya tak rela membuang waktu buat bersantai.
Sedangkan Ike sudah memiliki anak dan kini bersekolah di Taman Kanak-kanak. Saban hari dia bekerja mencari rumput. Dia juga membantu memelihara empat sapi milik orang lain, dan merawat 12 kambing milik ayahnya dan milik orang. Anak lelaki Salim Kancil lebih sering membantunya di sawah ketimbang bersekolah. Tak hanya Ike, Tijah juga setiap hari bekerja mencari rumput.
"Ibu biasanya nyari rumput. Satu jam perjalanan, membawa tampar, arit, naik sepeda. Rumputnya dua ikat tinggi dibonceng belakang sepeda," imbuh Ike.
Waktu sawahnya rusak, Salim Kancil sudah tidak rutin ke sawah lagi. Dia membantu istrinya mencari rumput dan mencari pekerjaan serabutan yang lain.
"Terakhir ibu saya jual batu karang. Bapak saya juga ikut nyari, tapi enggak bisa berenang. Bapak nyarinya di pinggir pantai, soalnya pernah terpental ombak, terus kakinya luka-luka. Bapak kan enggak bisa berenang," kenang Ike.