Sejarah Penting di Balik Hotel Yamato, Tempat Anies-Cak Imin Deklarasi Capres-Cawapres
Hotel ini merupakan simbol perlawanan rakyat dan santri Jawa Timur mengusir penjajah.
Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar resmi deklarasi sebagai pasangan capres cawapres pada 2 September lalu.
Sejarah Penting di Balik Hotel Yamato, Tempat Anies-Cak Imin Deklarasi Capres-Cawapres
Deklarasi Anies-Cak Imin
Bakal calon presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendeklarasikan diri sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam kontestasi pemilihan presiden pada 2024 mendatang.
Tempat yang dipilih untuk deklarasi pun, cukup simbolis lantaran menggunakan Hotel Majapahit atau yang dulu dikenal sebagai Hotel Yamato. Ada apa dengan Hotel Yamato?
Ya, salah satu bagian atau tempat di Hotel Yamato, pernah menjadi saksi bisu perjuangan arek-arek Suroboyo, merobek bendera Belanda yang berwarna merah putih dan biru. Bendera tersebut, dikibarkan oleh Belanda, tepat di tiang bendera yang menjadi bagian depan gedung Hotel Yamato.
"Hotel ini merupakan simbol perlawanan rakyat dan santri Jawa Timur mengusir penjajah. Dimana berkibarlah bendera Belanda merah putih biru."
Kata Cak Imin di sela deklarasi.
@merdeka.com
Sejarah Penting di Balik Hotel Yamato
Pengamat sejarah Surabaya, Kuncarsono mengatakan, insiden pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato itu terjadi pada 19 September 1945. Padahal, di tahun tersebut, tepatnya pada 17 Agustus 1945, usai memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia menetapkan bendera Merah Putih sebagai bendera nasional. Pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato itu pun, tak pelak memprovokasi dan menyulut amarah arek-arek Suroboyo. Sejumlah pemuda pun berinisiatif mengganti bendera milik Belanda itu.
Namun rupanya, penggantian bendera itu tak berjalan dengan mulus. Sebab, WVCh Ploegman, salah satu pemimpin delegasi dari Belanda mengamuk dan melepaskan tembakan ke arah arek-arek Suroboyo yang memprotes soal pengibaran bendera tersebut.
"Kematian dari salah satu pemuda Indonesia itu, memicu kemarahan arek-arek Suroboyo, hingga akhirnya melawan Ploegman. Atas keberanian arek-arek Suroboyo itu, bendera Belanda berhasil dirobek hingga tinggal warna merah dan putih. Sementara Ploegman sendiri tewas," kata Kuncarsono.
Kuncarsono lantas bercerita, terkait motivasi Belanda mengibarkan benderanya. Pada saat itu yang terjadi sebenarnya terjadi adalah adanya misi kemanusiaan Sekutu untuk melucuti senjata Jepang dan membebaskan tawanan.
Namun, ada peristiwa yang dianggapnya offside oleh utusan Belanda. Yakni, Belanda merasa sebagai pemenang perang atas Jepang, sehingga terkesan seakan-akan mendapatkan haknya atas tanah jajahannya.
"Padahal belum pada fase pembicaraan soal penyerahan kekuasaan. Tapi saat itu lebih pada masa misi kemanusiaan yakni melucuti senjata Jepang dan membebaskan tawanan perang. Tapi Belanda sepertinya ke pede an (percaya diri) waktu itu, mereka sepertinya kebablasan," cerita Kuncarsono.
Ploegman sendiri, diketahui "bernafsu" untuk menjadi Wali Kota Surabaya. Pria keturunan Belanda yang lahir di Surabaya itu disebutnya memiliki misi sendiri atau memang diplot akan menjadi Wali Kota Surabaya oleh Belanda.
Kuncar menjelaskan, sejarah berdirinya Hotel Yamato sendiri cukup panjang. Sebelum bernama Hotel Yamato, pada tahun 1911, hotel tersebut resmi dinamakan Hotel Oranje.
"Bukan karena hotel itu berwarna oren, tapi memang karena nama Belandanya Oranje."
Kata pengamat sejarah.
@merdeka.com
Hotel Oranje lalu berganti nama pada tahun 1942 menjadi Hotel Yamato. Perubahan nama itu sendiri otomatis terjadi setelah pendudukan Jepang yang berhasil mengusir Belanda dari Indonesia.
Hotel Yamato saat itu langsung digunakan oleh Jepang sebagai pusat komando di Jawa Timur. Hingga pada akhirnya, insiden perobekan bendera pada 1945, menjadikan nama hotel tersebut berubah menjadi Hotel Merdeka.
Namun pada 1946, sang pendiri hotel bernama Lucas Martin Sarkies merubah nama hotel tersebut menjadi kependekan namanya, yakni Hotel L.M.S.
Selanjutnya, pada tahun 1969 kepemilikan hotel berpindah tangan. Seiring dengan hal itu, nama hotel kembali berubah menjadi Hotel Majapahit hingga saat ini.
"Karena hotel ini masuk sebagai cagar budaya tipe A, maka berbagai fungsi ornamen baik itu eksterior hingga interiornya tidak boleh berubah," tambah Kuncar.