Simon Randa, kisah pahlawan tak dikenal di belantara Irian
Simon Randa aslinya orang Toraja. Dia menjadi pegawai kehutanan Belanda, namun hatinya merah putih.
Ada satu nama yang sulit dilupakan para prajurit Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara (PGT), yang bertempur di Irian Barat. Namanya Simon Randa, seorang pegawai kehutanan Belanda di Irian yang kini bernama Papua.
Simon Randa aslinya orang Toraja. Dia menjadi pegawai kehutanan Belanda, namun hatinya merah putih.
Saat konfrontasi tahun 1962, hampir semua warga Papua dibina Belanda. Mereka pun mau jadi umpan untuk menjebak tentara Indonesia yang diterjunkan di Irian Barat. Hasilnya ratusan tentara Indonesia tewas dan ditangkap karena pengkhianatan.
Simon adalah salah satu yang langka. Dia selalu berusaha membantu gerilyawan RI. Simon dan anak buahnya mengirimkan tembakau dan makanan ala kadarnya pada gerilyawan RI yang tersebar di Sorong.
Hal ini dikisahkan dalam buku 52 Tahun Infiltrasi PGT di Irian Barat, Bertahan dan Diburu di Belantara Irian. Buku Terbitan Majalah Angkasa ini ditulis Beny Adrian dan diluncurkan di Jakarta, Jumat (25/4) lalu di Jakarta.
Ketika mendengar berita tercapai kesepakatan perundingan di New York antara Belanda dan Indonesia, Simon segera memerintahkan anak buahnya mencari enso-enso (sebutan untuk merah putih dalam bahasa Moi). Dia berhasil menemukan beberapa di antaranya.
Ditampungnya para gerilyawan itu di rumahnya dan anak buahnya.
Tim PBB mencium soal Simon dan datang ke rumah. Sesuai isi kesepakatan New York, baru tanggal 1 Oktober 1962, pasukan Indonesia boleh masuk kota. PBB pun memerintahkan pasukan Indonesia kembali masuk hutan sejauh 6 km dari Klasaman, atau dikenal dengan KM12.
Apa jawaban Simon?
"Lebih baik saya dan keluarga ditembak mati PBB daripada bapak dan anak buah kembali masuk hutan. Selama saya masih hidup bapak dan anak buah tidak akan saya izinkan masuk hutan," tegas Simon.
PBB pun melunak. Tiga orang perwira diizinkan berasa di Klasaman untuk mengatur administrasi. Sisanya mundur ke KM12. Simon bisa menerima keputusan ini.
Kemudian para petinggi perwakilan tentara Indonesia meninjau KM12. Mereka juga menggelar pertemuan dengan utusan PBB untuk mengembalikan gerilyawan Indonesia. Semua dilakukan di rumah Simon Randa yang sederhana.
Saat itulah komandan delegasi Indonesia Brigjen Achmad Wiranatakusuma memeluk Simon Randa. Berterima kasih atas kepahlawanan Simon.
Wiranatakusuma bertanya pada Simon, apakah bersedia menampung 300 gerilyawan Indonesia dari seluruh Irian sebelum dipulangkan? PBB berjanji untuk mencukupi makanan dan logistik pasukan.
Dengan mantap Simon menjawab bersedia. Saat ternyata makanan dari PBB tak cukup, Simon pula yang memberikan makanan tambahan.
Begitu mulia hati Simon, pahlawan yang namanya tak tertulis dalam buku sejarah.